7

1.8K 86 9
                                    

Tuhan tak pernah salah melabuhkan rasa, memberi perasaan tanpa diminta, menyutukan dua hati berbeda, hingga merajut apa arti bahagia.

Cinta adalah anugerah, dan benci menciptakan duka. Sama-sama bertolak rasa, tapi hati tak akan bisa menolak itu semua. Semuanya berpacu menunjukkan perasaan.

Namun takdir memaksa dua rasa itu menyatuh dalam hubungan keluarga, berlomba menjadi dominan, mengenyahkan arti ketulusan, hingga cinta hanyalah sebuah kenaifan.

Dulu, Ellen mengutuk takdirnya. Memendam amarah demi buah cintanya, melampiaskannya kepada Elang yang selalu memberikannya ketulusan.

Rasa ketidaksukaan dan jijik meledakkannya untuk menuruti egonya, setitik iba pun padam melihat Elang yang berusaha mengambil hatinya yang ia jaga untuk Fero.

Ia belum bisa melepaskan kenangan bersama sang Kekasih yang telah mendahuluinya, bayang-bayang kebersamaan mereka masih tergambar jelas di benaknya. Sampai hari itu tiba, Elang dengan lancangnya masuk ke dalam hidupnya.

Butuh puluhan tahun berdamai dengan keadaan, bahkan ketika Elang berusaha menyembuhkan luka di hatinya, hanya penolakan ia lontarkan.

Suaminya itu sangat bodoh, bahkan jika ada yang lebih dari kata itu, ia akan mengumpatinya berkali-kali karena mau bertahan dengannya selama ini.

Sebelum Elang datang ke kehidupannya, tak seorang pun yang mampu memahami hatinya selain Fero. Ia hanya belum siap menerima Elang dengan segala ketulusannya, karena hanya menimbulkan rasa bersalah.

Bahkan, sekalipun ia menolak keras Elang yang selalu menghiburnya, rasa bersalah itu semakin besar melihat Elang tersenyum sendu menerima perlakuan kasarnya.

Ia benar-benar istri durhaka, dan Tuhan menghukumnya tanpa memberikannya harapan untuk bisa memperbaiki itu semua.

Sekarang ia dihadapkan sehancur-hancurnya, tak sekalipun ia ingin beristirahat memastikan jantung itu tetap berdetak pada semestinya. Tarikan napas lambat di dada terekspos itu seakan ikut menyeretnya dalam kesesakan, sangat sakit, sampai ia lupa untuk bisa hidup jika dada itu tidak bergerak lagi.

Tangan rampingnya tak kenal lelah mengusap tubuh ringkih Elang, merasakan dinginnya kulit putih pucat itu diiringi isakan. Sesekali ia mencium tangan terkulai dalam genggamannya.

Dion yang berada di samping mamanya, tak jauh berbedah dengannya. Air matanya terus keluar memperhatikan kondisi ayahnya yang jauh dari kata baik.

Selama ia hidup, ia belum pernah berbakti kepada ayahnya, hanya hinaan dan perlakukan kasar yang berikan, dan sekarang Tuhan menegurnya dengan rasa takut kehilangan.

“Dulu, Mama pernah berpikir kamu lebih baik digugurkan setelah kematian Papa kandungmu,” ucap Ellen tanpa mengalihkan pandangan, membuat Dion sibuk dengan pikirannya menoleh kearahnya.

“Mama takut kamu akan menanggung derita karena dosa Mama dan Papa Fero … hiks … Mama tidak sanggup mendengar cemooh orang-orang hamil di luar nikah. Rasanya, Mama begitu putus asa tidak mempunyai tumpuan. Hingga hari itu tiba, Mama melihat Papa Fero pada ayahmu ….”  Ellen menatap Dion yang membeku, dan detik berikutnya memandangi Elang yang terlelap damai.

“Ayahmu ini begitu bodoh, dan begitu polos menerima Mama yang selalu menolak cintanya.” Mencium tangan terbebas jarum infus. “Tidak peduli dengan kondisi Mama yang sedang berbadan dua, dan mau bertanggung jawab menjadi ayahmu.”

Mata Dion berkaca-kaca mendengar ucapan mamanya, tidak menyangka ayahnya banyak berkorban untuk mereka.

Ellen kembali terisak menatap wajah kuyu suaminya. “Wajah lelah ini, tak pernah sekalipun mengeluh untuk kebahagiaan kita, Nak.” Mengusap pipi pucat yang semakin mengurus.
Bahu Dion bergetar mengingat bagaimana begitu memperhatikan mereka.

“Mama takut … ayahmu menyerah ….”

Dion menggeleng cepat. “Ayah pasti kembali, Ma!” bantahnya. “selama jantung Ayah masih berdetak, Ayah pasti akan membuka matanya.” Berdiri mencium kedua mata ayahnya yang terpejam. “Aku tahu Ayah kuat.”

Perasaan Ellen sedikit menghangat melihat Dion berubah menyayangi Elang seperti dulu. “Dengarkan, sayang? Aku dan Dion percaya kamu akan kembali, ” bisiknya ke telinga Elang.
Mereka sama-sama merayu Elang untuk kembali, di tengah kehancuran di depan mata.

Berbeda dengan ruangan rawat lain, Mahendra tetap setia menunggu isitrinya bangun. Sudah satu jam Launa pingsan setelah mendengar vonis Dokter.

Tangan terbaring lemah di brangkar, bergerak dengan mata yang perlahan terbuka. Membuat Mahendra dapat bernapas lega. “Sayang, ini aku,” ucapnya melihat istrinya linglung.

Launa menyerngit memegangi kepalanya, memfokuskan arah pandang di sebelahnya.  “Mas … Fano, Mas,” racaunya, teringat putranya.

Mahendra berusah menghentikan istrinya yang berusaha bangun. “Kamu istrihat dulu, ya? Nanti kita temui putra kita.”

Launa menggeleng brutal, bergerak duduk. “Aku mau menemuinya sekarang!” isaknya.

Terpaksa Mahendra mengiyakan keinginan istrinya, mengambil kursi roda, membantunya duduk disana, lalu mendorongnya menuju  ruang ICU.

Sesampainya disana, mereka di sambut Herlambang dan Yumita yang tampak khawatir. Launa mengacuhkan mereka dan memilih fokus melihat kaca tembus pandang di depannya. 

Hatinya berdesir melihat Ellen dan cucunya menemani anaknya, ia tidak terima mereka berada di dalam. Entah tenaga dari mana, ia berdiri dan berjalan masuk ke dalam, tidak mengindahkan teriakan Mahendra dan yang lain, menerobos masuk ke dalam tanpa mempedulikan prosedur memasuki ruang ICU. Bahkan perawat tak mampu menghalangi langkahnya mendekati Ellen.

PLAK

Tamparan keras Launa menyatu bisingnya peralatan medis, membuat Dion terperanjat kaget melihat mamanya tertoleh dengan bekas merah di pipinya. Tidak sampai di situ, Launa menyentak tangan Ellen yang terus menggengang tangan putranya.

“Jangan mendekati putraku lagi!”
tunjuk Launa di depan muka Ellen.

Dion tentu tidak tinggal diam melihatnya. “Jangan sakiti mamaku! Apa salahnya Mama menjaga Ayah!” belahnya, menyembunyikan mamanya di belakang punggungnya.

“Kau juga, sama saja dengan mamamu! Walaupun kau cucu Grandma, Grandma nggak akan toleransi dengan kelakuan kurang ajarmu selama ini!” sanggahnya.

Selama ini, Launa memantau Dion dari jauh, ia masih teringat jelas, cucunya ini begitu kurang ajar memperlakukan putra bungsunya.

Mahendra yang menyaksikan aksi nekat istrinya di dalam, langsung bergerak cepat, apalagi perawat disana tak mampu menghentikan perdebatan mereka.

“Launa, jangan seperti ini, sebaiknya kita keluar.” Menyeret istrinya yang memberontak.

“Lepaskan aku!” menepis tangan kekar Mahendra. “Aku tidak akan pergi! Mereka yang harus pergi dari sini!”

Ellen memegang kaki Launa. “Maafkan aku, Ma … hiks … biarkan aku berbakti kepada suamiku.”

Launa menyentak dengan kasar hingga membuat Ellen terjengkang kebelakang. “Mulai sekarang kau bebas, dan bukan tanggung jawabmu merawat anakku.”

“Launa!” ucap Mahendra tidak percaya.
Ellen melotot tidak percaya, menggeleng ribut bersimpuh di hadapan mama mertuanya.

Belum usai perdebatan mereka, nyaringnya EKG berbunyi tidak beraturan, bersama tubuh Elang mengejang hebat, disertai darah kembali keluar dari hidung dan mulutnya.

Mereka terpaku, dan kehancuran menyambut mereka tanpa aba-aba. 


TBC

Stay With MeWhere stories live. Discover now