10. Kissmark

12 1 0
                                    

Cuplikan:

Malam itu, Mara benar-benar dibuat menggigil. Dengan tega dan seenaknya Aksara mengguyur tubuh menggunakan air dingin di kamar mandi ruang tengah. Kali ini kakak tirinya tersebut sungguh terlewat batas.

"Ini hukuman karena lo udah berani main-main sama gue," ujar Aksara seraya mencengkeram dagu Mara. Dia sama sekali tidak menaruh belas kasihan kepada sosok yang berusaha keras menahan rasa dingin akibat guyuran lima gayung barusan.

°°°
Di luar sana, hujan sedang turun dengan cukup deras. Sialnya kini Mara hanya seorang diri di rumah, mengingat yang lain masih berada di luar. Pasalnya ternyata sang ibu dan Fathan ikut pergi bersama Ivy serta Kaisar guna menuruti keinginan mengidam wanita hamil tersebut. Sedangkan Mia, perempuan lanjang itu sedang sibuk mengurus pekerjaan di butik miliknya.

"Mamah kapan pulang? Mara takut sendiri di rumah," kata Mara saat sambungan telepon terhubung dengan sang ibu.

"Aksara nggak ada? Soalnya ini bunda Ivy kondisinya kurang memungkinkan buat balik. Di sini juga hujan deres soalnya," jawab Iza dari seberang sana.

Mendengar respon demikian, perempuan si berjaket abu-abu dibuat mendesah. Alhasil dia hanya bisa pasrah, memilih berdiam diri di sofa depan televisi. Daripada bosan dan kesepian, Mara memilih menyalakan benda elektronik di depannya. Namun, dia spontan mematikan kembali ketika geledek sengit terdengar saling bersahutan di luar sana.

"Kalo tau gini mending gue tadi ke kos Bulan!" monolog Mara seraya memeluk diri sendiri, menaikan kedua kaki ke atas sofa, sehingga posisi tubuh tampak meringkuk.

Bukan karena takut, tetapi suasana malam ini mendadak menjadi mengerikan ketika geledek terdengar beberapa kali pun hujan justru bertambah deras. Dia khawatir apabila listrik padam tanpa aba-aba, sehingga membuat keadaan semakin mencekam.

"Buatin gue makan malam."

Mara terlonjak kecil kala secara tiba-tiba suara rendah ini terdengar, padahal dia tak tahu sejak kapan sosok berpakaian basah itu masuk ke dalam rumah.

"Lo habis keluar, tapi kenapa nggak sekalian beli makan aja?" Mara yang awalnya masih terduduk, kini pun berangsur berdiri. Memperhatikan sosok Aksara dengan jarak sekian langkah di seberang sana.

"Nggak usah banyak omong, gue juga ogah balik kalo nggak disuruh nyokap lo. Gue tunggu di meja makan, awas aja kalo nggak mau masakin gue. Dasar beban!" Setelah berkata seraya melirik sinis, Akara pergi menjauh, meninggalkan Mara yang memandangnya disertai sorot kesal.

Jika sahaja Mara tidak ingat hanya ada mereka berdua, dia sudah memaki-maki lelaki menyebalkan itu. Alhasil, terpaksa dia bergerak menuju dapur. Mau bagaimanapun, dia tidak tega membiarkan anak orang kelaparan. Memang, ibu sempat berkata akan membawakan makanan ketika pulang. Namun, menahan rasa lapar terlalu lama bukanlah perkara mudah, ditambah dirinya sendiri jua belum melahap apa pun sedari tadi.

"Gue masakin nasi goreng," ucapnya pada Aksara yang terlihat keluar dari kamar.

Mengingat bahan di dapur tersisa sedikit pun Mara tipikal perempuan kurang jago memasak, pilihan menu malam ini adalah nasi goreng. Sialnya dia terlalu banyak memasukkan garam, sehingga hasilnya menjadi terasa asin.

"Gue cuma bisa masak ini kalo lo emang mau makan." Mara meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja makan. Meski ragu terhadap rasa, tetapi supaya perut terisi, dia tetap melahap lalu berusaha menelan.

"Semoga lo nggak ngasih gue racun. Soalnya tampilan nggak meyakinkan."

Mara berdecih saat kalimat tersebut terlontar dari bibir Aksara. Akan tetapi, dia memang merasa tak yakin apabila lelaki di sampingnya kini akan menyukai masakannya. Hingga detik berikutnya suara pecahan piring terdengar, seiring tetesan air hujan di luar sana perlahan mereda.

"Lo bisa masak nggak, sih?! Makanan asin gini lo kasih ke gue?!"

Sumpah demi apa pun, detak jantung Mara seketika menggila. Dia sampai refleks mengangkat kaki, takut terkena pecahan piring kaca yang telah berceceran di lantai.

"Sa, kalo lo memang nggak suka nggak perlu ngamuk kaya gini ...." Mara menatap prihatin hasil masakan yang terbuang percuma. Dia sama sekali tidak menyangka akan reaksi berlebihan Aksara. "Lagian lo sendiri 'kan tau kalo gue nggak jago masak."

"Bacot lo! Sini ikut gue!"

Terlebih setelahnya Aksara menarik tangan Mara secara sepihak. Membawa perempuan itu menuju kamar mandi lantas memaksanya agar terduduk di lantai lembab nan dingin.

Byur!

"Sa!"

Malam itu, Mara benar-benar dibuat menggigil. Dengan tega dan seenaknya Aksara mengguyur tubuh menggunakan air dingin di kamar mandi ruang tengah. Kali ini kakak tirinya tersebut sungguh terlewat batas.

"Ini hukuman karena lo udah berani main-main sama gue," ujar Aksara seraya mencengkeram dagu Mara. Dia sama sekali tidak menaruh belas kasihan kepada sosok yang berusaha keras menahan rasa dingin akibat guyuran lima gayung barusan.

Sialnya Mara justru melakukan kesalahan untuk kedua kali. Dia menampar pipi kiri Aksara, sehingga sukses memancing kembali gejolak dalam benak.

"Lo emang nggak bisa dikasih ampun!"

Pada akhirnya, teriakan tertahan Mara berujung sia-sia. Dia hanya bisa membungkam mulut menggunakan telapak tangan sendiri kala bibir Aksara mendarat bebas di leher jenjangnya.

°°°
Hujan malam itu benar-benar reda pada pukul 9 malam. Tak berselang lama, Ivy serta lainnya tiba di rumah dengan membawa makanan khusus teruntuk dua insan. Akan tetapi, tatkala Iza memanggil sang putri, sang empu nama tidak kunjung menyahut.

Alhasil, dia lebih dahulu membawa sang anak bungsu yaitu Nathan ke dalam kamar. Anak itu sudah tertidur semenjak di perjalanan pulang. Mengingat selama mereka di luar, dia senantiasa mengoceh dan sesekali bermain.

"Mara? Kamu di kamar, Sayang?"

Hingga saat Iza beralih masuk ke dalam kamar Mara, wanita tersebut menemukan keberadaan si perempuan pemilik tempat sedang terlentang di atas kasur. Raga sosok berbaju tidur itu ditutupi selimut sampai sebatas leher. Pun kedua kelopak matanya tertutup rapat, menandakan bahwa Mara terlelap nyenyak.

"Ra? Tumben jam segini udah tidur?" tanya Iza mendudukkan diri di sisi ranjang.

Niat awal dia ingin membiarkan putrinya ini, tetapi begitu teringat jika Mara belum menyantap makan malam, alhasil terpaksa tangan menyibakkan selimut di atas daksa. Alhasil kala menyentuh salah satu lengan Mara, Iza dibuat terkejut. Pasalnya kulit buah hatinya tersebut terasa hangat.

"Mara, kamu sakit, Nak?" tanya Iza khawatir, beralih menyentuh dahi Mara, sehingga dia dibuat yakin jika putrinya jatuh sakit.

Sedangkan Mara sendiri perlahan membuka kelopak mata saat merasakan keberadaan orang lain di sisi. Dia berkedip beberapa kali, sehingga netra mampu melihat jelas keberadaan sang ibu.

"Mah, baru pulang, ya ...," kata Mara lirih.

Tubuh terbaringnya perlahan bangun guna berganti posisi menjadi bersandar di kepala ranjang. Membuat mata leluasa menatap sosok ibu di sebelah kanan.

"Kamu habis hujan-hujanan? Kok, bisa demam gini?"

Mendapati pertanyaan amat menjebak, Mara bungkam seribu bahasa. Dia tak langsung membalas, sebab mustahil apabila dirinya berkata jujur.

"Ini gara-gara kecapean aja, Mah. Sama tadi 'kan sempet hujan deres, jadi hawa kerasa dingin," jawabnya kemudian, memilih opsi berbohong daripada memicu pertikaian.

"Ya, udah. Kalo gitu kamu makan malam dulu aja, ya. Nanti baru minum obat penurun panas. Mamah udah beliin kamu makanan."

Mara menurut. Menyantap nasi ayam bakar yang dibawakan menuju kamar. Walau kurang enak badan, tetapi napsu makan si perempuan berambut pendek tetap sama, mengingat makan malam bersama Aksara beberapa menit lampau belum terselesaikan.

"Habisin, ya. Mamah mau ambilin obat buat kamu." Iza lagi-lagi beranjak. Namun, kali ini pergerakannya terurungkan tatkala dia menyadari sesuatu.

Meskipun sudah berkepala tiga, tetapi penglihatan Iza masih berfungsi baik. Dia melihat jejak merah di leher jenjang sang putri. Jejak merah yang diyakini sebagai kissmark.

°°°

Bersambung

Asmaraloka dan Lukanya {On Going}Where stories live. Discover now