11

1.5K 106 3
                                    

Tak ada yang paling membahagiakan mendapatkan kabar yang dinantikan, melegakan semua beban yang menyesakkan, melepaskan semua kekalutan yang dari kekhawatiran.

Tama, berjalan cepat keluar kantornya, masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan. Wajah yang selalu menampilkan datar, mengendur membentuk senyuman setelah mengetahui cucu kesayangannya bangun dari tidur panjangnya.

Tapi dilain sisi, Tama sedikit kesal lambat mendapat kabar dari Fahri mengenai kondisi cucu bungsunya yang sudah sadarkan diri satu hari yang lalu. Salahkan dirinya baru mengecek hanphone-nya, bukan tanpa sebab, beberapa hari belakangan, ia kembali sibuk mengurus perusahaannya, dan memberantas tikus-tikus yang bermain-main dengannya.

Banyak yang harus Tama selesaikan, agar bisa menemani cucu bungsunya kembali, dan menjadi orang pertama kali menyambut mata tertutup itu terbuka. Namun semesta enggan membiarkannya, ia disibukkan, hingga tak tahu cucu bungsunya sudah siuman.

Walaupun begitu, Tama bersyukur, Juan telah melewati masa kritisnya.
Hatinya menghangat melihat foto Juan berada diantara Fahri dan Citra di tengah brangkar. Senyum itu sudah lama tak melihatnya. Jika dulu ia benci memperhatikannya, sekarang ia sangat candu untuk tidak mengalihkan pandangannya.

Butuh satu jam Tama menuju rumah sakit, tidak bisa ia pungkuri ingin cepat-cepat bertemu dengan cucu bungsunya. Sesampainya area rumah sakit, Tama buru-buru masuk lift, menuju lantai paling atas tempat Juan berada.

Ketika ia menginjak kakinya di depan ruang Juan, hanya keheningan menyapa, berdiam diri sebentar, menyiapkan diri masuk ke dalam.

Knop pintu di tekan, tungkai panjangnya ia langkahkan ke dalam, mengedarkan pandangan di mana Juan berada. Tama mengerutkan keningnya, Juan berbaring telentang dengan mata terpejam tanpa ditemani anak dan menantunya.

Dengan langkah lebar, Tama mendekati brangkar. Menyapu pandangannya keseluruh ruangan. Hanya Juan sendirian, membuatnya marah karena tidak ada penjagaan. Musuhnya banyak, akan sangat berbahaya jika Juan ditinggal sendirian, akan menjadi kelemahan bagi keluarganya.

Dengan gerakan pelan, Tama duduk di tepi brangkar, mengusap sayang rambut Juan yang lepek karena dibanjiri keringat. Dapat Tama saksikan, cucunya kesayangannya itu tidak benar-benar tenang dalam pejamnya, bibir pucat dibalik masker oksigen selalu merintih kesakitan, dan sesekali tubuh ringkih itu tersentak kecil.

Tama yang tak tega, mengusap seluruh tubuh Juan yang terbuka, terutama perut Juan yang mengembung dan keras.

Juan yang merasakan usapan lembut, membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya memburamkan penglihatannya.

Tama tersenyum lebar melihat Juan membuka mata, berdiri, mencondongkan wajahnya ke Juan, mencium kedua kelopak mata yang berkedip lemah.

“Pelan-pelan sayang.”

Juan yang belum jelas penglihatannya, merasa familiar dengan suara berat itu. Itu bukan suara papanya, tapi siapa? Pikirnya.

Hingga jantungnya berdetak kencang melihat orang di hadapannya, tubuhnya bergetar berada di dekat orang yang mengusap tubuhnya, napasnya semakin memberat mengingat kilasan masalalu menyakitkan.

Anak sialan!

Kau hanya orang sialan!

Kau bukan cucuku!

Jangan pernah memanggilku kakek!

Lebih baik kau mati saja dari pada menyusahkan seperti ini!

Bayang-bayang cacian kebencian menusuk-nusuk kepala Juan, tubuh tak bisa ia kendalikan, ditambah tangan yang dulunya selalu menampar dan memukulnya mengusapi perutnya.

Tama dibuat khawatir melihat respon Juan jauh dari perkiraan. Cucu kesayangannya itu terlihat tidak baik-baik saja melihat dirinya. Tama frustasi menahan tubuh Juan yang menghentak-hentak tak terkendali.

“Juan! Jangan seperti ini sayang, Kakek nggak akan menyakiti kamu.”

Namun Juan tetap terjebak  pada traumanya. Beside monitor memberikan peringatan detak jantung Juan meningkat dua kali lipat dengan napas berantakan, tubuh ringkih itu mengejang tak terkendali dengan guliran mata ke atas memperlihatkan putihnya saja. Mulut yang selalu terbuka lebar itu mengeluarkan suara mengi bersama busa dan cairan kuning bercampur bercak darah.

Tama berteriak kesetanan memanggil perawat, menekan brutal nurse call di atas brangkar. Hatinya begitu sakit melihat kondisi Juan kembali menurun karena dirinya. Ia kehiangan akal melihat Juan kejang-kejang.

Perawat yang mendapat alarm peringatan di ruang rawat Juan, berlarian masuk ke dalam, bertepatan saat itu Fahri dan Citra yang baru selesai makan di kantin rumah sakit, ikut mengikuti perawat yang tampak tegang, hingga mereka melihat dengan mata kepala sendiri, Juan berada di pelukan Tama dengan keadaan mengkhawatirkan.

Reza yang sebagai penanggung jawab keselamatan Juan, melepaskan paksa Juan dari ayahnya, beside monitor semakin menunjukkan detak jantung semakin meningkat melebihi batas normal.

Dengan cepat Reza memberikan suntik anti kejang kepada Juan, perawat lain membantu memiringkan tubuh Juan yang masih mengejang.

Lagi-lagi mereka dibuat tegang, kejangnya Juan belum berhenti selama 15 menit. Menit berikutnya, tubuh Juan langsung terdiam dengan dada tanpa pergerakan, membuat Reza membuka kasar baju kimono Juan, naik ke atas brangkar, lalu menekan dada Juan berulang kali, sementara suster mengganti masker oksigen Juan dengan ambu bag.

Pemandangan menyakitkan itu tak lepas dari Tama, Fahri dan Citra. Kaki mereka terasa seperti jeli tidak kuat melihat penanganan mempertahankan kesayangan mereka. Bersama dengingan panjang dan garis lurus monitor, tubuh ringkih itu tersentak kasar di beri alat kejut jantung, membuat tangis keluarga pecah dalam bersamaan.

Reza sekuat tenaga mengembalikan detak jantung yang hilang, dengan cepat ia berganti posisi dengan perawat laki-laki agar menggantikannya melakukan CPR. Reza mengambil selang ventilator yang sudah disiapkan suster, memasukkan ke dalam mulut Juan yang mulai membiru, lalu ia sambungkan pada oksigen dengan tekanan tinggi.

Menyenter mata Juan yang kembali terpejam, menekan pupil mata yang tidak menunjukkan respon berarti. Reza menggeleng frustasi, berteriak kepada perawat yang masih melakukan CPR untuk menyingkir. Lalu tanpa di duga, tangan terkepal Reza diayunkan sekuat tenaga ke dada juan.

BUK

BUK

BUK

Fahri dan Tama memberontak melihat Reza memukul keras dada Juan, Citra sampai tidak sadarkan diri melihat betapa kejamnya Reza memukul dada Juan. ini sangat menyakiti perasaan mereka. Perawat yang lain menghalanginya untuk tidak mendekat.

“Lepaskan! Apa yang kalian lakukan?!”

“Cucuku kesakitan, brengsek! Kalian malah menambah kesakitannya!”

Perawat yang menghalangi  Fahri dan Tama hanya bisa bersabar. “Maaf Tuan, silahkan keluar, agar tidak mengganggu tindakan.”

Belum sempat mereka membantah, perkataan suster yang memantau vital Juan membungkam mulut mereka.

“Dok, pasien tidak kembali.”

Runtuh sudah pertahanan Fahri dan Tama, telinga mereka hanya dipenuhi dengingan panjang monitor, bersama Reza yang masih memukul dada Juan. Hari ini, mereka kembali dijatuhkan oleh keadaan, hancur bersama detak yang hilang.

TBC





Batasan LukaWhere stories live. Discover now