19

3.4K 295 2
                                    

🗻 Rinjani

Mas Juna sudah pulang, aku dan papa berjalan untuk kembali masuk ke rumah dan disaat yang bersamaan itu aku melihat mama yang tiba-tiba berpegangan pada daun pintu seakan oleng "Ma, gak apa-apa?" Tanyaku khawatir diikuti dengan papa.

"Buset dek, pacar kamu, pacar kamu cakep abis!" Seru mama gemas, aku dan papa sama-sama sudah memutar kedua bola mata kami, harusnya kamu tidak perlu heran mama begini tapi tetap saja tingkahnya selalu terasa ajaib bagiku.

"Tolong kamu sering-sering sadari mama kalo dia pacar kamu, mama takut nanti malah mama yang macarin!"

"Sadar Hera! Sadar Hera! Kamu tuh udah tua bukannya banyak-banyak tobat, berdoa malah ganjen! Suami kamu gak pernah ya ngajarin sesat istrinya gini!" Aku tertawa mendengar ocehan papa padahal aku tahu mama bercanda.

"Jangan mengingini milik sesama mu! Ingat 10 perintah Allah!" Imbuh papa dan mama sekarang malah memeluk pinggangnya dari samping "Bercanda aja loh suamiku! Anak kamu kalo gak digodain gini kan gak afdol!"

"Iya papa tahu, tapi emang Juna cakep jadi papa wajar ketar-ketir di dalem, takut gak anak ku doang yang kegaet tapi istriku juga! Enak aja buy 1 get 2, gak ada!" Kini giliran mama yang meminta papa untuk segera sadar.

"Ngomong-ngomong motor Juna apa dek, mobilnya cakep gitu, papa kepo motornya apa?"

"Royal Enfield," jawabku enteng dan papa langsung melotot tidak percaya "Kayak punya papa? Kamu tahu motor papa yang....." Aku mengangguk.

"Iya, cuma beda tipe,"

"Telpon Juna, bilang tahun depan nikah juga gak apa-apa, mumpung calon mantu papa seleranya bagus!"

"Udah siap kamu jadi mbah-mbah?" Tanya mama enteng.

"Loh ya siap, nanti aku beli motor sama mobil lagi khusus buat momong cucu kalo rewel jadi bisa aku ajak muter-muter komplek!" Mama memukul lengan papa gemas karena bukan jawaban itu yang mama harapkan.

"Mobil motor, mobil motor terus!" Mama masih kesal, sepertinya akan bertahan selama 30 menit kedepan.

"Eh daripada buat nyawer biduan yang kayak pejabat-pejabat! Kan sayang duitnya!" Seakan benar-benar ingin trial merasakan neraka karena mulut papa semakin jadi, kini mama sudah dengan suka cita menjewer telinga papa dan berjalan masuk ke dalam.

"Berdoa aja ya pak Ares, anaknya gak bisa bantu!" Aku sedikit teriak agar papa mendengar dan segera tobat, minimal mengunci sementara bibir terlalu jujurnya itu.

Oh jangan ingatkan aku soal tadi dia secar spontan menyinggung nama Jack-jack saat ngobrol dengan mas Juna, for your information saja, Jack-Jack bukanlah dokter kandungan mama melainkan adik kecilnya papa yang berada di antara selangkangannya itu, iya memang papaku itu ajaib, untung kaya dan tampan, mas Juna semoga kamu lebih baik ya, aku minta tolong banget jangan sableng kayak bapak Ares!

🏔️ Arjuna

Setelah selang seminggu aku bertemu dengan keluarga Rinjani, kali ini aku yang membawa Jani ke rumah ibu dan ayah, ibu sudah balik dari Bandung dan menurutku ini waktu yang cocok.

Ibu sebenarnya sudah tahu Rinjani tapi hanya sebatas dia salah satu anak yang menyewa kos di tempat eyang, bukan sebagai kekasihku.

Aku menggandeng Jani pasti menuju ke ruang keluarga, aku tahu dia nampak sedikit grogi, bagaimana pun kali ini aku mengenalkannya sebagai kekasih bukan anak kos biasa kepada ibu kos nya sendiri.

"Bu....." Aku menyapa ibu yang tengah sibuk membaca sebuah buku, ibu langsung menoleh ke sumber suara dan meninggalkannya kesibukannya itu.

"Kamu balik rumah to mas?" Ibu berdiri kemudian aku mendekat bersama Jani.

"Loh, ini Rinjani kan? Anak kosan eyang?" Aku dan Jani sama-sama mengangguk.

"Mas ajak Jani main kesini buat ketemu ibu, mas mau kenalin, ini pacar mas yang sekarang," aku menepuk kedua bahu Jani, dan benar saja dia ternyata tegang, karena kedua pundaknya terasa kaku.

"Serius?"

"Iya bude," jawab Jani.

"Eh kalau gitu jangan panggil bude lagi mbak, panggil ibu, gimana?" Ibu nampak tersenyum kemudian menepuk kedua punggung tangan Rinjani yang sudah dia raih.

"Kalian cinlok ya di kosan? Pantes Juna suka tidur sana, ternyata demi dapat pacar toh!"

"Ketemu di gunung Bu awalnya," aku mencoba meluruskan dugaan ibu.

"Gunung? Yang kapan mas?"

"Terakhir mas naik, yang terus ke tempat eyang,"

"Oalah, astaga ibu kira cinlok, maaf-maaf salah dugaan,"

"Sudah makan kalian?"

"Sudah bude, eh Bu, tadi kesini sekalian cari sarapan dulu,"

"Makan apa kamu? Kamu dikasih makan apa sama mas Juna mu? Soto pinggir jalan ya? Ayo makan lagi!" Ibu menarik tangan Jani untuk mengikutinya dan benar ternyata mereka menuju ke ruang makan.

Kami sibuk menyantap makanan kami, ibu tidak makan karena sudah makan, ibu nampak memperhatikan ku dan Jani secara bergantian sambil tersenyum.

"Kenapa sih Bu?" Tanyaku mulai risih, takut Jani merasakan hal yang sama.

"Gak apa-apa, lucu aja lihat kalian,"

"Apanya yang lucu?"

"Jani kan seumuran adik kamu mas, tapi kalian cocok aja gitu di mata ibu, eh mas Juna gak pernah resek kan ke kamu mbak?" Jani menggeleng.

"Dia kalau sama adiknya aduuh ibu kadang pusing, mana ibu sudah janda kadang migren kalau mereka debat, dulu ada ayah mah ayah yang jadi wasit, sekarang ibu mah pasrah ajah mbak,"

"Jani kira mas Juna mas yang penyayang sama adiknya Bu,"

"Oh iya emang, saking sayangnya kadang ngalahin ayahnya, makanya Sekar ibu minta kuliah yang agak jauh aja biar mas nya gak resek terus," Jani tersenyum mendengar penjelasan ibu.

"Kamu sudah ijin orang tua Jani mas?"

"Sudah Bu, Minggu lalu,"

"Terus hasilnya?"

"Ya dikasih ijin lah Bu, kan aku datangnya baik-baik,"

"Bilang aja Juna punya kosan, biar papa mama kamu senang mbak!"

"Iya Bu Jani bilang gitu ke mama sama papa, awalnya mereka kira Jani berencana ngerebut suami orang karena yang terlintas di otak mama tuh bapak kos Jani ya pak Ujang,"

"Astaga......." Ibu tertawa bersama dengan Jani, sepertinya mereka satu frekuensi, sebelum-sebelumnya ketika aku membawa perempuan untuk aku kenalkan pada ibu sebagai pacar ibu tidak pernah tertarik seperti ini, bahkan yang terakhir saja ibu benar-benar menunjukkan ketidaksukaan nya pada Ratih.

"Oh ya ibu dengar kemarin kamu sudah lulus sidang akhir, memang iya?" Jani mengangguk kemudian ibu memberikan selamat dan Jani berterimakasih.

"Rencana mau lanjut kerja atau apa mbak?"

"Kerja Bu, sudah masukin beberapa lamaran, doakan keterima satu ya Bu,"

"Aminn!" Seru ibu.

"Dia juga mau buka kedai pastry gitu Bu katanya,"

"Oh ya? Serius?" Jani mengangguk.

"Bagus, bagus, dia emang jago banget mas bikin kue kue lucu gitu, ibu dua kali kayaknya bikin kue sama Jani di kosan, iya kan mbak?"

"Waktu itu cheesecake sama iseng bikin croissant kalau gak salah ya Bu?"

"Iya, iya benar, itu pulang-pulang ibu bawa ke arisan tahu! Eh teman-teman ibu pada suka, terus bilang ibu jago, ih padahal kan kamu ya mbak yang ngadon!"

"Besok kalau sudah siap buka bilang ibu ya pokoknya, biar ibu ajak teman-teman ibu buat ngelarisin kedai kamu mbak!"

"Oke Bu, siap!"

"Seru nih mas pacar mas yang ini!" Aku tersenyum menanggapi kalimat ibu.

Juna Jani, I Love You Pak Kos! [Hiatus]Where stories live. Discover now