2

7.5K 519 0
                                    

🏔️ Arjuna

Akhirnya aku bisa menikmati sunrise lagi setelah sekian lama tidak mendaki Arjuna, aku tersenyum membingkai memori ini, lautan awan di hadapanku nyatanya benar-benar menjadi penyegar untuk rasa lelah yang sedari kemarin aku ciptakan sendiri.

Arjuna, gunung pertamaku yang dikenalkan ayah ketika aku masih SMP, ayah memilih gunung ini menjadi gunung pertamaku mendaki karena sama dengan namaku, Arjuna.

Aku memejamkan mata sesaat, berdoa untuk ayah yang sudah tiada sekitar 3 tahun yang lalu, aku berdoa semoga ayah sudah bergembira di atas sana.

"Juna kesini lagi yah ditengah hiruk pikuk dunia Juna yang sekarang." Ujarku dalam hati.

Sinar matahari yang semakin naik, membuat lingkungan disekitaran sini semakin terang, aku mendengar suara riang dari arah lain.

Senyuman manis milik seseorang, aku memfokuskan pandanganku lagi ternyata gadis yang kemarin tidak sengaja aku temui saat mengisi air.

Walau bertemu hanya beberapa detik, nyatanya senyuman itu sudah terbingkai di memori kepalaku.

"Sini mas fotoin kalian." ujar seorang laki-laki yang berada dalam rombongannya.

"Yang bagus mas! Biar papa tahu kalau Jani bisa!" Aku tersenyum, jadi namanya Jani? Mereka sibuk berfoto sedangkan satu sentuhan pada pundakku berhasil menarik kembali ke duniaku sendiri.

"Masih mau berapa jam disini?" Tanya Pram.

"Ikut kalian aja sih aku, besok juga udah balik kerja."

"Oke deh, bentaran lagi balik ya kita?" Aku mengangguk, aku mendaki bersama 3 orang temanku, ada Pram, Bas, dan Wira, mereka teman-teman SMA ku semasa dulu bersekolah di Surabaya.

Aku kembali ke kota ini setelah dipindah tugaskan dan akhirnya bisa berkumpul kembali bersama mereka, banyak yang aku syukuri dalam hidupku.

.

Ketika sudah turun kembali ke pos awal dan kami mengisi data aku menyalakan data pada ponselku.

Seketika banyak sekali pesan masuk dan telpon yang gagal tersambung saat sedari kemarin aku memulai pendakian.

Aku dengan tenang mengeceknya satu per satu, aku hanya mengira ini pekerjaan tapi rasanya bukan, karena ada nama Ibu, bude Dari, dan jajaran sepupuku yang lainnya.

Semua pesan itu berkata "Jun, eyang meninggal." Deg, debaran jantungku langsung tidak karuan, perubahan ekspresiku yang mendadak tegang ini sepertinya dirasakan oleh para sahabatku.

Wira langsung mengecek keadaanku "Kenapa Jun?"

"Aku balik duluan, kalian naik ke mobil Bas semua bisa kan?" Kami memang sengaja membawa 2 mobil kesini, milikku dan juga Bas.

"Kenapa? Ada apa?" Tanya Wira lagi.

"Eyang meninggal, semalam." Aku menjelaskan.

"Kalau gitu kita semua antar kamu ke eyang." Ujar Bas.

"Iya lah, kita ke eyang dulu, kamu jangan sendirian."

"Kalian yakin?" Mereka mengangguk.

"Aku telpon ibu dulu kalau gitu." Aku melipir sebentar dan segera menghubungi ibu, beberapa kali dering sebelum telpon dariku akhirnya ibu angkat.

"Jun......." Sapa ibu dengan nada lirih.

"Juna baru turun Bu, mau langsung sama anak-anak, eyang jam berapa dimakamkan?"

"Pakde minta kami nunggu kamu dan Om Tio, mungkin masih besok."

"Ya sudah Juna berangkat sekarang."

"Jangan buru-buru, makan dulu." Aku segera menutup telpon ini dan meminta anak-anak bergegas turun.

"Mobil kamu aku aja yang setirin." Kini Pram lebih dulu menyambar kunci mobilku.

.

Sekitar 3 jam perjalanan dan kami sampai juga di rumah eyang yang berada di kota lain.

Ibu meminta kami beristirahat dulu, dengan diantar Bagas, adik sepupuku yang paling kecil teman-temanku diantar menuju ke kamar yang bisa mereka gunakan selama disini.

Rumah eyang sangat asri, sejuk dan nyaman, tapi kali ini rasanya berbeda, banyak duka yang menyelimutinya, aku masuk ke rumah utama dan berjalan menuju ruang tengah tempat dimana peti eyang diletakan untuk saat ini.

Putih berwarna putih dengan ukiran sederhana yang indah nampak menyambut kedatanganku, aku berlutut di samping peti ini, melihat senyum eyang yang terhias di wajahnya.

"Cantik banget sih yang!" Ujarku, air mataku sudah turun dan aku buru-buru menyekanya.

"Cantik ya mas?" Tanya ibu dan aku mengangguk.

Eyang meninggal kemarin di rumah Bude Dari, kakak tertua ibu yang berada di Mojokerto, baru akhirnya disemayamkan di rumahnya sendiri yang berada di Blitar, eyang ingin ketika tiada tetap bersanding dengan pujaan hatinya, eyang Kakung.

"Kok mas gak ada firasat apa-apa ya Bu?" Tanyaku sedih.

"Mungkin karena eyang gak mau memberatkan mas." Ibu meremas kedua pundakku.

"Mas gak apa-apa ninggal kerjaan?" Tanya ibu.

"Gak apa-apa, mas sudah ijin tadi."

"Ibu kemarin sama siapa kesini?"

"Sama Topan, Lili ternyata sudah gak ada di Surabaya jadi ibu berdua aja." Topan adalah sopir keluarga kami, dan Lili adalah sepupuku yang dulu sempat bersekolah di Surabaya tapi sekarang sudah pindah.

"Kamu bilang ke anak-anak buat mandi dulu terus segera makan, tadi ibu sama bude sudah buat soto." Aku mengangguk kemudian mengusap pelan tangan eyang yang ternyata masih terasa hangat.

Aku berjalan ke samping rumah dan menuju ke rumah lainnya yang berada di belakang, rumah eyang ini seperti rumah-rumah di desa pada umumnya hanya saja memang aku suka memakai rumah belakang jika kesini.

.

Sesampainya di kamar, aku sudah mendapati Pram yang sedang menunggu giliran mandi "Bisa pakai kamar mandi di kamar sebelah kalau mau." Ujarku dan Pram langsung mengiyakan, mereka pernah menginap disini jadi sudah tidak terlalu asing tapi aku tahu masih sungkan jika tidak lebih dulu aku yang menawari.

"Kalian balik besok aja biar gak terlalu capek." Aku duduk di samping Bas, Wira yang sedang mandi di kamarku.

"Easy, kami udah cuti sehari kok, turut berduka ya Jun." Bas menepuk pundakku dan aku mengangguk.

"Thank you Wir, kalian emang selalu ada di waktu yang tepat buat aku, dulu ayah, sekarang eyang."

"Udah takdirnya, gunanya kita temenan juga gini kan?" Aku tersenyum.

.

Keesokan harinya setelah pemakaman eyang selesai, Bude Dari mengumpulkan kami semua di ruang keluarga yang ada di bagian dalam rumah.

Ibu ku hanya 3 bersaudara, Bude Dari anak pertama bersama suaminya Pakde Atmo dan ketiga anaknya Arin, Siska, dan Anton, yang kedua adalah Ibuku, bernama Widuri dengan kedua anaknya, aku dan Sekar adikku, yang terakhir adalah Om Tio dan istrinya Tante Vivi dengan anak mereka Lili dan Adi.

Cukup besar tapi kami masih bisa menjaga hubungan komunikasi dengan baik walau Om Tio kini berada di Jakarta.

Seorang pria parubaya masuk ke dalam ruangan keluarga ini bersama dengan seorang pria muda yang sepertinya asistennya.

Pria itu memperkenalkan diri yang ternyata bernama Agus Winardi yang adalah seorang pengacara andalan keluarga eyang, oh aku baru ingat beliau juga yang datang ketika dulu ayah baru saja meninggal, tugas beliau adalah untuk membacakan surat wasiat dari almarhum.

Pak Winardi membaca semua yang ingin eyang sampaikan dan pembagian warisan yang masih eyang tinggalkan, intinya rumah utama ini tidak boleh dijual, tetap dipakai sampai ke turunannya yang akan datang, karena ini rumah pertama eyang Kakung dan eyang putri.

Sampai satu kalimat yang membuat ku cukup terbebani "Untuk cucu saya, Rodemtus Arjuna Ananta, saya beri rumah kos yang berada di Surabaya, mohon dilanjutkan saja karena anak-anak yang kos disana baik dan eyang sayang semuanya."

"Gimana?" Tanyaku aneh pada pak Winardi dengan semua pasang mata di ruangan ini sudah melihat ke arahku.

Juna Jani, I Love You Pak Kos! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang