13. Party (2)

1.2K 305 13
                                    

Acara ulang tahun yang diselenggarakan Eva dimulai dengan potong kue, yang sepertinya kulewatkan, dan permainan menyenangkan berupa mengambil bola dari dalam wadah kaca. Di dalam bola tersebut tersemat sebuah kertas bertuliskan tantangan. Semua anak yang diundang ikut bermain, tanpa terkecuali.

Bastian jelas tidak tertarik. Dia hanya duduk, memilih sudut terasing seperti penyendiri, dan sibuk mengamati remaja SMA melepaskan hormon kebahagiaan melalui pesta. Berbeda dengan Nia yang tanpa ragu bergabung dengan kerumunan, sama sepertiku.

Beberapa anak berani menerima tantangan yang tertulis dalam kertas. Mulai dari mengakui perasaan mereka terhadap seseorang, memakan makanan terasin dan terpedas, ataupun menarikan tarian konyol. Rata-rata cowok tanpa malu menyatakan cinta kepada Eva. Dimulai dari anggota tim basket hingga cowok terpintar di sekolah.

“Oh aku nggak tahu kamu punya perasaan seperti itu kepadaku, tapi terima kasih.”

Khas Eva. Tersipu. Mengucapkan kata-kata manis. Namun, aku tahu dia tidak peduli pada semua pernyataan cinta yang dilontarkan cowok-cowok itu. Dia hanya mendambakan perhatian dari seseorang, yang tidak ada di sini, sebagai sebentuk pembuktian akan pencapaian terbesar.

Sejauh ini aku tidak tertarik ikut bermain, sekalipun ditawari oleh Eva. Kukatakan, “Aku nggak punya peruntungan bagus dalam permainan.”

“Ayolah,” bujuk Eva, “main sekali nggak akan membunuhmu.”

“Tapi, bisa mempermalukanmu,” sindir Nia dengan nada sinis. Dia terus menempel kepadaku, mirip koala yang tidak ingin dipisahkan dari pohonnya. “Nggak usah sok baik deh.”

“Nia, kok kamu gitu, sih?” Eva menampilkan ekspresi terluka di wajahnya. “Aku, kan, nggak ada niatan buruk.”

“Udahlah, Nia,” sahut seorang cowok. “Kamu asli galak banget mirip herder.”

“Iya,” Nia membenarkan, “mau kugigit sampai kena rabies?”

Dan cowok itu pun diam.

Kuperhatikan tidak ada lagi anak yang berani mengusik Nia. Kusimpulkan keluarga Nia mungkin cukup berpengaruh. Sejauh ini dia berani bertindak sesuka hati dan sama sekali tidak takut akan mengusik seseorang yang seharusnya tidak boleh diganggu. Aku berusaha menggali ingatan, mencari tahu sosok Nia dari masa lalu, tapi nihil.

Acara pun beralih ke kegiatan membuka kado. Sama seperti di masa lalu. Eva akan mulai memamerkan apa saja yang ia terima dari undangan. Hal yang sebenarnya tidak kusukai karena ini mengingatkanku pada hal-hal buruk di masa lalu. Dulu dengan polosnya kubuatkan sebuah gelang dengan nama Eva. Namun, respons yang kudapat justru penghinaan dari sejumlah orang hanya karena gelang itu kubuat dari benang dan bukan ornamen mahal. Aku sengaja memilih membuat gelang tersebut karena terinspirasi dari sebuah drama Jepang. Berharap bisa mendapat efek bagus, sama seperti di drama, tapi realitas tidak seindah film.

Tidak ada guna berbaik hati kepada Eva. Dia hanya akan mendorongku ke titik terendah, sama seperti yang keluarga Tante Rasmi lakukan kepadaku, dan membuatku merasa tidak pantas hidup.

Satu per satu hadiah dibuka oleh Eva. Jam, kalung, boneka, tiket konser, cokelat, bahkan sepasang sepatu Hermes. Dia benar-benar mendapatkan hadiah bagus, sesuai standarnya.

“Aku nggak ngasih Chanel maupun Prada,” bisik Nia yang ada di sampingku. “Mubazir. Makanya aku nulis surat standar. Isinya tata cara jadi manusia beradab.”

Ujung bibirku berkedut. Tentu saja Nia akan melakukan sesuatu.

Hadiahku pun mulai dibuka oleh Eva. Sebuah dompet merah tua dan....

“Album Diva?!”

Diva. Seorang penyanyi, pemain film, model, dan bintang iklan.

“Astaga siapa yang berani ngasih album Diva ke Eva?!”

(NOT) REVENGE  (Tamat)Where stories live. Discover now