32 Kg: Berharga

45 7 5
                                    

Belasan menit kuhabiskan untuk mematut diri di cermin. Aku berdiri lurus, lalu menghadap ke kiri, ke kanan, dan berputar dengan kaki yang masih sedikit tidak seimbang.

"Uni, ayo buruan! Nanti keburu Ayah telat!" Bunda yang tampaknya tidak sabar menungguku ikut sarapan sampai menyusul ke kamar. Aku sedikit terlonjak.

"Iya, Bunda. Sebentar!" Kupandangi cermin sekali lagi sebelum berbalik menghadap pintu. "Gimana, Bun? Pantes, nggak?"

"Cantik, kok. Cantik!" Bunda mengambil langkah lebar dan berdiri di belakangku. Jawabannya yang tidak sinkron dengan pertanyaan menunjukkan bahwa beliau sedang buru-buru. Bunda lantas meletakkan kedua tangannya di bahuku sebelum mendorongnya pelan. "Yuk, sarapan bareng dulu sekarang!"

Aku tidak memprotes dan mengikuti dorongan Bunda yang membawaku ke ruang makan. Di sana Ayah sudah menunggu di meja sambil tersenyum lebar saat bersitatap denganku.

"Wah, siapa ini? Cantik banget, kayak istri-istri Ayah," puji Ayah sambil menggoda.

Aku tersenyum tak kalah lebar sambil membusungkan dada. "Iya, dong! Anak siapa dulu? Mama dan Bunda, gitu lho!"

"Lha terus Ayah nggak dihitung?" protes Ayah pura-pura merajuk. Aku dan Bunda kompak tertawa.

Kami menghabiskan sarapan bersama sambil bercanda dan mengobrol hangat. Rasanya sudah lama sekali kami tidak seperti ini. Beberapa bulan terakhir, aku melewatkan sarapan karena diet. Sebelum-sebelumnya pun kami kurang menikmati momen kebersamaan karena diburu oleh kesibukan masing-masing.

Namun, pagi ini aku bangun lebih awal. Aku memang sengaja meminta Bunda untuk menggedor pintu kamarku saat beliau hendak memulai aktivitas, tiga puluh menit sebelum azan Subuh berkumandang. Usai melaksanakan salat tahajud, aku membantu membersihkan rumah, sehingga Bunda bisa punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan toko dan memasak. Itu sebabnya beliau bisa lebih santai menikmati sarapan bersama kami.

Semalam aku juga mengutarakan keinginanku pada Bunda untuk memakai hijab. Tentu saja beliau sangat mendukung. Bahkan, Bunda tidak ingin aku menunda-nunda lagi dan langsung mencarikan pinjaman seragam panjang malam itu juga dengan menghubungi tetangga-tetangga kompleks, sementara menunggu seragam baruku selesai dijahitkan nanti.

"Untung seragam SMP-nya Mbak Sari masih ada," ujar Bunda saat menceritakan kembali bagaimana aku bisa mendapatkan seragam panjang lengkap dengan kerudungnya pagi-pagi buta tadi. Meski warnanya sudah kusam, paling tidak seragam ini masih bisa dipakai.

Bunda kembali menyambung dengan tawa. "Biasanya kan Yu Narti kalau ada baju nganggur dikit langsung dijadikan gombal!"

"Alhamdulillaah ... itu namanya takdir. Berarti Allah memang ingin lihat Uni mulai belajar menutup aurat." Ayah menanggapi bijak sambil menatapku penuh arti.

Aku tersenyum malu. "Insyaallah, Yah!"

Ayah memang pernah bilang padaku, semua kejadian yang dialami manusia adalah takdir dari Allah. Termasuk saat Mama pergi untuk selamanya. Itu bukan berarti Allah tidak sayang, tetapi Dia telah menyiapkan rencana rahasia yang terbaik untuk kami, yaitu dengan mempertemukan pada Bunda.

Kurasa hal ini juga berlaku untuk pertemuanku dengan Ezra. Aku pernah merasakan betapa indahnya cinta dan harapan, tetapi dari sana pula aku belajar rasa sakit hati dan kecewa akibat berharap pada manusia. Lantas dari keterpurukan itu, aku berusaha untuk menjadi sosok yang lebih baik. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri.

Setelah selesai sarapan, Ayah mengantarku berangkat sekolah. Untuk sementara ini, aku belum bisa pulang-pergi naik sepeda sendiri karena pergelangan kakiku belum sembuh total. Namun, aku senang karena Ayah tidak jadi melarangku bersepeda, dengan syarat aku tidak boleh memaksakan diri dan harus memperhatikan kesehatan.

Big Girl, Don't Cry!Where stories live. Discover now