01 - Obsidian Bersihir

29 8 16
                                    

Peringatan: Terdapat konten/adegan pemicu bunuh diri yang tidak boleh ditiru dan disarankan untuk mempertimbangkan kenyamanan pembaca.

Mohon kebijakannya dalam membaca bab ini.

***

PLAK!

Udara dingin menyakiti pipi kanan seolah sebuah tamparan keras kembali diterima. Ia menggeleng kuat, menghentikan setiap detik ingatan yang kembali.

Semuanya akan kuakhiri sekarang.

Di hadapan sungai yang entah akan sedalam apa, dirinya berdiri pada pijakan kecil di luar besi pembatas.

Hanya ada kendaraan berlalu tanpa sadar akan keberadaannya, hanya aliran air tenang menatap marah dari bawah sana.

Saat ini merupakan perasaan, tempat, dan hari yang sempurna untuk melepas pegangan dan mengakhiri semuanya di sini.

"KAMU MEMBUAT SAYA PUSING!"

Spontan memejamkan mata, teriakan wanita berumur di hadapan benar-benar memekik telinga.

"Kamu bukan anak yang saya harapkan! MATI SAJA SANA!" Mengherankan, padahal tidak ada satu pun yang menampar pipi wanita itu, tapi air mata berkucur deras di hadapan si bungsu yang berdiri kaku.

Pipinya jelas memerah. Para jari bergetar perlahan di udara sampai akhirnya mendarat pada pipi yang panas berkat tamparan.

Diliriknya lemari kaca ruang tamu dengan sedikit memicingkan mata. Caleur Lognirousse da Maven, entah asli atau palsu, yang jelas alkohol mahal pemberian rekan kerja wanita itu masih penuh tak tersentuh.

Namun, kenapa ia berteriak dengan wajah merah dan racauan penuh makian yang bahkan lebih buruk dari pemabuk?

Kedua sudut bibirnya pun terangkat sempurna. Sebuah senyum miris yang menyimpan banyak sakit hati teramat dalam. "Makasih, Ibu."

Ingus ditarik masuk. Seharusnya sudah tidak setebal ini uap untuk di setiap embusan napas, tetapi karena sekarang malam hari dan air sungai yang masih terasa sangat dingin, uap pun datang menemani.

Dunia tetap baik-baik saja tanpaku, batinnya lalu mulai memejamkan mata dan perlahan melemaskan genggaman pada besi pembatas.

Selamat tinggalㅡ

"HEI!"

ㅡbumi, lanjutnya ada tanda tanya di akhir bersamaan dengan kening yang juga berkerut.

Setelah kembali mengeratkan pegangan, lehernya menoleh perlahan ke arah suara.

Dari kejauhan berlari. Laki-laki berjaket denim, kedua sisi poninya terbawa angin ke belakang.

Sampai di sini, para tangannya bertumpu pada kedua lutut, "Huuh ... tunggu ...," suaranya berantakan terengah-engah.

Ini adalah sungai di pinggir jalanan besar. Pertanyaannya, dari mana laki-laki ini datang? Netranya pun melebar, ada kafe kecil di seberang jalan. Jadi, apa aksi sang puan telah terlihat sampai ke seberang sana?

"Ini malam hari di awal bulan maret," katanya tiba-tiba layaknya memulai pidato, "suhu air sungai masih sedingin desember. Kamu bisa langsung mati hipotermia kalau loncat sekarang."

Walaupun sempat menatap aneh, sang puan bernapas lega. "Terima kasih, itu penjelasan yang melegakan." Omong-omong, hipotermia itu apa?

"Mahendra Gala."

Suara tenang dan lembut itu kembali menghentikan sang puan yang lagi-lagi mengambil posisi akan terjun bebas.

"Aku Mahendra Gala. Kalau ... kamu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang