[7]

38 3 0
                                    

Gelia termenung setelah kepergian Hanggara. Ada rasa tak nyaman dan kesal saat Hanggara pergi begitu saja. Bukankah hubungan mereka selama beberapa hari sudah terjalin meskipun tidak bisa dikatakan akrab dan bagus. Namun, anggaplah sebagai teman dan mantan adik ipar. Iyakah hanya sebatas itu?


"Aku bahkan belum sempat meminta maaf atas ucapanku yang tak sengaja melukainya, tapi dia sudah pergi."


Gelia kembali menyesali diri. Ini bukan permulaan yang bagus saat statusnya telah resmi menjadi istri.


"Ya tentu saja dia pergi, istri-istrinya yang lain pasti juga merindukannya."

Seolah ingin menguatkan hati, dan menelan kecewa atas sikap Hanggara, Gelia memilih memaklumi dan mencari pembenaran versinya sendiri.


"Padahal jika dia mau, bisa saja dia berpamitan dengan lebih baik lagi? Bicara berdua, misalnya. Dari hati ke hati. Aku rasa dia nggak butuh itu."

Hatinya kembali menggugat, melepaskan dan mengikat itu sama saja susahnya. Di satu sisi ia ingin Hanggara bersikap manis, di sisi lain Gelia juga masih dihimpit perasaan bersalah akibat perbedaan pendapat perkara mendidik anak.


"Dari hati ke hati?" Gelia terhenyak. "Ada apa ini?"


Batinnya kembali menuai kontroversi.

Bukanlah selama ini dia tidak menerima Hanggara ke dalam hatinya? Dia biasanya merasa kesal dan sebal melihatnya masuk dan mengganggu kehidupannya yang sudah nyaman hanya berdua saja dengan Haydar, tidak, ada Qaila dan ayahnya juga.


Bahkan dalam hati Gelia sempat berjanji hanya akan menerima suami barunya itu sebagai ayah pengganti untuk anaknya saja. Hubungan dia hanya sebatas seperti sebelumnya, adik ipar. Tidak lebih. Mungkin sedikit dekat dengan Haydar saja. Qaila juga, ah, ada Bapak juga. Lantas mengapa jika tidak dekat dengannya?


Namun,Geila merasa masih ada yang tak nyaman di hatinya.


"Mungkinkah aku mulai peduli?"gumam Gelia tanpa sadar.


"Apakah aku malah merasa takut dia akan tersinggung dan marah?"


"Apakah jika dia marah akan kembali pada istri-istrinya yang banyak itu?"


Rumit. Kini Gelia bergelut dengan pikirannya sendiri.


Tidak, tidak. Gelia menyangkalnya. Itu mungkin karena dia sudah mulai terbiasa, lantas ada rasa bersalah karena mengatakan hal yang kasar dan belum terselesaikan. Dia hanya merasa bersalah karena belum sempat minta maaf, dan itu terasa mengganjal.


"Lagipula apa peduliku, dia pergi begitu saja. Dia hanya orang asing yang datang dan dipertemukan takdir."

DIMADU KARENA WASIATWhere stories live. Discover now