[8]

41 2 0
                                    

Ada senyum tertahan di bibir Pak Waluyo ketika menyadari putrinya telah kembali. Lelaki itu bisa merasa energi positif Gelia kini kembali. Gelia yang periang kini sering bangun lagi dan langsung terjun ke dapur menyiapkan sarapan dan bekal Haydar seperti dulu.


Kali ini Pak Waluyo merasa telah benar mengambil keputusan. Ia sangat berterimakasih pada Pramana, yang setulus itu mencintai putrinya. Bahkan Pramana juga peduli pada nasib Gelia, hingga tak rela menyerahkannya pada orang lain.


Di dalam benak Pak Waluyo masih diliputi tanda tanya, kenapa Pramana melakukan hal itu? Memuat wasiat yang menyesakkan dada, menitipkan istrinya pada adiknya, ini sungguh di luar nalar. Namun, tanya itu kini menemui jawaban. Melihat senyum yang perlahan terbit dari bibir Gelia, pipi yang kini mulai kembali berisi dan dapur yang menerbangkan aroma masakan setiap pagi, bagi Pak Waluyo, itu jawaban yang sudah lebih dari cukup.


"Gimana urusan asuransi almarhum? Sudah beres semua?" tanya Pak Waluyo saat duduk di kursi makan seperti biasanya. Ia senang melihat putrinya bergulat dengan alat-alat dapur.


"Sudah, Pak. Kalau diurus sendiri ternyata lebih cepat dan enggak terlalu ribet juga."


"Qaila tempo hari juga bilang begitu. Syukurlah. Urusan kedai mi ayam gimana?"


"Sudah beres juga. Mau enggak mau emang Lia harus cari satu orang kepercayaan buat keliling kedai dan bikin laporan tiap minggu. Kalau Lia terjun sendiri terlalu repot, Pak."


"Bagus, kamu memang harus mulai menghitung untung ruginya. Tentu saja percaya sama orang itu bagus, asal orangnya tepat dan benar bisa dipercaya."


"Iya, Pak. Lia enggak mungkin bisa ngawasin semua kedai dalam satu waktu, untungnya Mas Pram juga sudah bikin management yang bagus untuk diikuti semua karyawan. Jadi Lia tinggal meneruskan."


Ada yang terasa menyesakkan dada, saat Gelia menyebut nama Pram. Matanya berkaca-kaca. Pak Waluyo yang menyadari hal itu segera mengalihkan pembicaraan.


"Oh ya, kemarin malam Hanggara telepon Bapak, menanyakan kabar. Bapak jawab semua sudah membaik. Apa kamu sudah telepon dia?"


Gelia terhenyak. Menghubungi? Bahkan nomor telepon Hanggara saja dia tidak punya. Namun dia tak mau memberi tanda tanya pada sang Ayah.


"Sudah kok, Pak. Katanya sekarang dia lagi di luar kota," jawabnya singkat menirukan kata-kata Haydar.


"Kamu tahu, Lia, Hanggara itu juga orang baik. Berkali-kali Bapak bilang mau mengembalikan biaya rumah sakit yang terlanjur ia bayarkan, tapi ia selalu menolak. Kamu tahu sendiri Bapak juga punya tabungan. Bapak ngerasa enggak enak, masa baru jadi mantu, sudah merepotkan."


"Jangan khawatir, nanti Lia yang bayar, Pak. Lia yang bilang sama dia, supaya mau menerima. Bapak benar, kita enggak harus merepotkan dia, apalagi kalau istri-istrinya tahu. Jangan sampai kita dicap cuma mau morotin saja, ihhh amit-amit."

DIMADU KARENA WASIATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang