Dimana Hazel?

348 58 16
                                    

Bian berdecak pelan, tangan kirinya memegang ponsel erat sembari mencoba terus menghubungi Hazel. Sedangkan kanannya dengan lihai memutar setir mobil.

Setelah bertengkar dengan Nina, Hazel memutuskan untuk pulang lebih dulu tanpa pamit pada siapapun hingga membuat Bian harus mengatasi berbagai pertanyaan dari keluarga Dwiyatama.

"Kamu dimana sih?" Gumamnya.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam tapi Hazel sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya.

Menanyai Tian dan Mae juga tidak membuahkan hasil, keduanya kompak menggeleng tak tahu menahu dimana Hazel berada.

Dengan mata yang mulai memberat, ia berusaha menyusuri tepi jalan untuk melihat apa Hazel ada diantara salah satu pejalan kaki. Hingga akhirnya matanya sedikit menyipit pada satu arah.

.
.
.
.

Kosong. Itu yang Hazel rasakan. Ucapan Nina memang tidak setajam yang biasa ia dengar dulu, namun itu sudah cukup melukai hatinya.

Apa yang salah dari tidak mendapat kasih sayang ibu? Toh kasih sayang dari ayah dan kakeknya sudah lebih dari cukup untuknya.

Tatapannya beralih pada ponsel yang menunjukkan berpuluh-puluh panggilan tak terjawab dari Bian. Ia mendengus, padahal pria itu yang memaksanya minta maaf pada Nina.

Entah sudah berapa botol minuman yang habis ditelan Hazel. Kepalanya terasa berat, tubuhnya sempoyongan hingga kedua kakinya dirasa tak mampu menopang tubuhnya lagi.

Tapi bukannya jatuh terduduk, ia justru merasa tubuhnya melayang.

"Hazel!"

Hazel terkekeh, ia kenal betul aroma parfum ini.

"Nyariin gue juga lo?" Sinis Hazel.

Bian yang menyadari Hazel yang sudah mabuk lantas menggendongnya ala bridal dan membawanya masuk ke dalam mobil.

"Lepas! Gue gak mau pulang." Bian mengabaikan teriakan Hazel yang semakin meronta dalam pelukannya.

"Diam Hazel." Bian sedikit meringis ketika helai rambutnya ditarik kebelakang oleh Hazel.

"MAKANYA LEPASIN!"

"MAU SAMPAI KAPAN KAMU KAYAK GINI?!"

Hazel mematung, kesadarannya seolah dipaksa masuk kembali dengan nada tinggi yang dilayangkan Bian.

"Sampe rasa sakit hati gue ilang." Helaan napas berat ia hembuskan, kemudian menatap Bian lamat-lamat.

"Gue emang ga pernah dapet kasih sayang mama dan gue juga ga pengen ada diposisi ini, tapi gue bisa apa? Disini sakit tiap ada yang ngungkit soal mama." Hazel memukul-mukul dadanya, mengisyaratkan betapa besar sakit yang ia rasa.

"Dan kamu pikir dengan mabuk kayak gini, mendiang mama bakal seneng disana?" Nada bicara Bian melemah. Sedewasa apapun Hazel sekarang, ia masihlah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang.

"Ikut saya pulang, ya?"

.
.
.
.

Paginya, Hazel mengaduh sambil berusaha mengeluarkan isi perutnya. Mendadak ia menyesal meminum sebanyak itu.

"Masih pusing?" Entah kapan tibanya, Bian sudah berdiri dibelakang Hazel sambil mengusap tengkuknya.

Hazel mengangkat tangannya, pertanda bahwa ia sudah baik-baik saja. Namun matanya menyipit sesaat melihat penampilan Bian.

"Lo gak kerja?" tanya Hazel. Aneh rasanya melihat Bian dengan tampilan santainya di jam kerja, hanya memakai kaos putih kebesaran dengan celana pendek selutut.

"Mana mungkin saya biarin kamu sendirian kayak gini." jawabnya.

"Bukannya udah biasa?" Mata Bian memicing, wajahnya perlahan maju. Berbanding terbalik dengan mata Hazel yang mengerjap panik serta memundurkan kepalanya.

Bahkan aroma sabun Bian dengan ramah memasuki penciumannya.

"Kamu emang sering mabuk-mabukan, tapi tanpa sepengetahuan saya. Bahkan kamu jago nyembunyiin hal itu." Tatapan Bian berubah tajam.

"Kalau saya tahu, kamu pikir saya bakal biarin kamu gitu aja?" ucap Bian sebelum ia pergi meninggalkan Hazel.

"Katanya gak bakal dibiarin, tapi ditinggalin." Dumelnya.

Tapi tak lama, Bian kembali dengan membawa nampan beserta semangkuk sup dan segelas air.

"Sup pengar?" Bian mengangguk.

"Habisin, terus istirahat. Bentar sore ikut saya."

.
.
.
.

Hazel mematung, ia pikir ia akan dibawa ke rumah keluarga Bian atau setidaknya berjalan-jalan.

"Halo, ma. Maafin Bian karena baru dateng kesini."

Hazel mengeryit, merasa aneh dengan ucapan Bian sebelumnya.

"Anak mama rewel." Sedikit tawa geli diselipkan dalam kalimat Bian. Apalagi melihat raut kesal Hazel.

Apa katanya? Rewel?

Setelah itu, Bian memundurkan langkahnya. Membiarkan Hazel bercerita sepuasnya dipusara sang mama.

"Ma.. adek kangen." Hazel mengulum bibirnya.

"Adek gak bisa pura-pura tutup telinga tiap ada yang ngomongin mama. Adek juga minta maaf karena mungkin sikap adek juga yang bikin mereka bawa-bawa mama." ucapnya.

Rasanya masih jelas ditelinga Hazel ketika ia disangkut-pautkan dengan kasih sayang sang mama setiap ia berbuat ulah.

"Ma, soal Bian.." Suara Hazel melemah, cengkraman tangannya di atas perut menguat. Pandangannya memburam, hingga akhirnya suara panik Bian yang terakhir ia dengar.

tbc.

hehe, haiii! apa kabar??

[3] Mr. Workaholic and his Fiancé | BinHaoWhere stories live. Discover now