030. Mengambil Keuntungan

95 9 7
                                    

030. Mengambil Keuntungan

     Dari banyaknya pakaian di lemari Arsel, Vani menggelengkan kepala nya saat gadis itu hanya melihat beberapa kaus dan pakaian santai saja

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

     Dari banyaknya pakaian di lemari Arsel, Vani menggelengkan kepala nya saat gadis itu hanya melihat beberapa kaus dan pakaian santai saja. Apa laki-laki itu merasa nyaman setiap harinya memakai kemeja seperti ini. Piyama tidur pun hanya satu, yang benar saja. Lain kali Vani akan menyumbangkan kaus oblongnya untuk laki-laki itu. Gadis itu menoleh ke arah pintu saat Arsel masuk, “Cari apa? Di pintu sebelahnya banyak baju baru buat kamu itu Van. Kalo kebesaran, maaf. Waktu itu saya kurang tau ukuran baju kamu.”

     Melihat dari ujung kepala Arsel hingga ujung kaki laki-laki itu yang di baluti sandal, Vani berdecak, “Lo nggak kepanasan gitu setiap hari make kemeja. Di rumah aja lo mesti seformal ini.” mendengar itu Arsel langsung  merunduk menatap dirinya sendiri, “Bagi saya, ini nyaman. Dan kalopun saya kepanasan ya itu mudah,” tangan laki-laki itu langsung membuka kancing atasnya yang langsung di hentikan Vani. Gadis itu langsung membalik menutup pimtu lemari.

     “Harusnya lo juga nggak usah buang-buang duit lo beli baju buat gue. Gamis yang lo beli kepanjangan semua.” ujar Vani membuat Arsel memecahkan tawanya. Tetapi itu hanya sebentar karena Vani langsung membalik dengan pelototan matanya, “Lo cuma mau ngeledek gue.” gadis itu langsung melewati Arsel berjalan ke arah pintu. Ini yang Arsel rindukan. Vani selalu saja berhasil membuat dirinya merasa gemas. Sekarang lihatlah, bila di lihat dari sini Vani itu sangat lucu. Apalagi dengan gamis yang di pakainya sungguh kebesaran di gadis itu. Kakinya ikut tertelan. Refleks Arsel menutup mulutnya saat laki-laki itu hampir menyemburkan tawanya.

     Arsel ikut keluar kamar mengekori Vani, “Kalo kepanjangan ya nggak usah di pake, Van. Nanti saya beli lagi yang lebih pas. Kamu juga ngapain make double gini, kan udah make piyama?” tanya Arsel dengan cengengesannya. Langkah Vani terhenti di sofa ruang TV. Gadis itu duduk di sana, “Bahannya nyaman. Lo juga jangan cengengesan gitu ya. Ngeledek banget.”

     “Kamu lucu.” spontan Arsel membuat Vani sempat ingin terbang tinggi. Laki-laki itu ikut duduk di samping Vani, “Mau nonton? Tapi ini udah malem Van. Kita tidur yuk, kamu juga pasti capek. Besok bukannya harus masuk pagi? Untuk kali ini saya larang,” Arsel menarik remot di tangan Vani. Laki-laki itu mematikan kembali TV yang baru saja Vani nyalakan.

     Saat Arsel bangkit hendak beranjak dari sana, Vani menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Menyadari Arsel melemparkan tatapan bingungnya, Vani langsung melepaskan tangannya dari laki-laki itu, “Gue cuma mau tau. Sebenernya apa masalah lo sama orang tua lo. Kayaknya lo punya masalah yang nggak gue tau sama mereka. Dan lo pernah bilang, kalo mereka nggak  bisa ngertiin perasaan lo.” perkataan Vani membuat Arsel menganggukkan kepala nya.

     Diliriknya jam dinding sudah menunjukkan tengah malam, Arsel kembali duduk di samping Vani. Helaan napas terdengar dari laki-laki itu, “Saya akan cerita dan terbuka sama kamu.” ujarnya menatap serius mata Vani.

     Arsel mengalihkan tatapannya dari Vani, wajah laki-laki itu terdongak menatap langit-langit, “Dulu, saya memasuki kejuruan teknik kendaraan ringan. Di sana saya sangat senang mempelajarinya sampai setiap prakrtik yang saya ikuti menjadi hobi saya. Mimpi saya di mulai dari sana. Saya sangat ingin bisa membangun sebuah bengkel besar atas kerja keras saya sendiri. Di balik itu, ada Nenek dan almarhum Kakek saya yang selalu mendukung saya dengan senang hati. Namun, ketika Kakek saya meninggal, mimpi saya pun ikut mati karena di sana orang tua saya memutuskan agar saya belajar tentang bisnis. Tidak ada alasan untuk saya menolaknya. karena sebagai mimpi, kendali mimpi saya sudah tidak ada.” Arsel menjeda terlebih dahulu ucapannya untuk mengingat kembali bayangan masa dulunya, “Seiring berjalannya waktu, saya berencana untuk merubah mimpi saya yang sudah mati itu untuk di libatkan dengan bisnis saya. Tapi tetap saja kedua orang tua saya tidak setuju dengan apapun itu yang bersangkutan dengan otomotif di tangan saya. Alhasil, saya merancang bisnis baru. Namun, dengan kemajuan bisnis saya yang ini, tetap saja membuat Papah dan Mamah mencari celah kesalahan dari  bis—” ucapan Arsel terpotong saat Vani menjatuhkan kepala nya ke pundak laki-laki itu.

LEGAL • [ON GOING]   Место, где живут истории. Откройте их для себя