BAB 8: LEPASKAN SAYA

199 7 2
                                    

"Masuk! Jangan banyak tanya!"

Sayang, Rio tidak memberikan kesempatan Dini untuk menolak. Lagi-lagi dia menunjuk ke arah nadi tangannya yang tidak menggunakan jam tangan. Artinya, pengobatan untuk Anggia jadi taruhan kalau Dini menolak.

Dini sebal. Kenapa juga dia harus se-miskin sekarang? Dirinya merasa hina sampai harus mengikuti keinginan orang lain demi mencukupi semua kebutuhannya.

"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengan saya. Apa yang-"

"Hei, Dini, memang menurutmu tubuhmu lebih menarik melebihi Christa sampai aku harus melakukan perbuatan tak senonoh dalam kamar ini?"

Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Rio kemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kaya raya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanya laki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini.

"Lagi pula aku tidak tertarik dengan wanita bekas laki-laki lain!"

Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relung hati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejam sekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimaki oleh Satrio.

"Kalau begitu, kenapa Bapak ingin berduaan dengan saya di sini?"

Dini juga tidak tahu kenapa setiap kali memikirkan Rio bersama dengan istrinya, kadang ada perasaan dalam dirinya yang ingin sekali berkata kasar. Makanya Dini terkesan menantang dengan jawabannya. Meski saat itu juga dia menyesali ucapannya.

Sangatlah berbahaya jika Rio benar-benar mengusirnya. Mau jadi apa dia dan Anggia luntang lantung dijalanan lagi?

"Memastikan kalau kau tidak akan bertindak bodoh lagi besok-besok! Apa yang kau lakukan tadi malam itu merugikanku," untung saja Rio hanya menjawab begitu dan tak mengusirnya.

Dini masih belum paham. Dia mengerutkan dahinya tapi enggan untuk bertanya.

"Pertama! Sikapmu membuat Christa mengeluh padaku katanya kau tak sopan. Apalagi kau pergi begitu saja! Seperti tidak menghargai jamuan makan kami."

Rasanya Dini sudah izin. Dia berusaha menunjukkan sikap sesopan mungkin dengan Christa semalam. Masih salahkah?

"Kedua!" namun sebelum Dini berhasil membela diri, Rio sudah bicara duluan.

"Kau membuat proses bayi tabungku jadi lebih lama! Tahu kenapa?" Rio menunjuk ke kaki Dini.

"Aku cuma -"

"Diam! Tadi malam, saat kau jalan kaki dari restoran sampai ke sini, kulihat kau menenteng sandalmu. Sengaja melukai tubuhmu sendiri untuk menarik perhatianku?"

Dini tak menyangka kalau Rio cukup teliti. Dia pikir tidak akan ketahuan. Padahal tadi malam Dini yakin sekali dia berjalan di trotoar tidak terlalu menarik perhatian banyak orang. Tapi Dini juga memang tidak hapal nomor mobil Rio dan jenis mobilnya. Saat itu dia juga sedang fokus menangis. Jadi sepanjang jalan dari restoran ke rumahnya Dini larut dengan luka hatinya sendiri.

Mana dia memperhatikan siapa saja yang melewatinya?

"Maaf. Kemarin saya mau datang ke rumah teman yang dekat restoran itu! Tapi orangnya pergi. Saya lupa nggak bawa handphone jadi nggak bisa pesan kendaraan online. Dan saya tidak menarik perhatian siapapun! Sendal saya putus di jalan jadinya terpaksa dilepas."

Untuk alasan pertama ingin ke rumah teman Dini memang berbohong tapi untuk alasan sandal, Dini jujur.

"Lalu kau pikir aku percaya?"

"Kalau Pak Rio tidak percaya tidak apa-apa! Itu haknya Pak Rio. Saya cuma menjawab sesuai keadaan saja."

"Ada orang yang pernah mengatakan pada saya kalau dia sangat mencintai saya dan dia tidak mau berpisah dengan saya. Dia rela menunggu saya sampai saya bisa menjadi seorang dokter yang hebat. Dia juga bilang kalau dia tidak peduli dengan kondisi finansial saya. Dia mencintai saya apa adanya tapi dia berbohong pada saya. Apa menurutmu orang yang sudah pernah berbohong itu patut untuk diberikan kepercayaan lagi?"

Salahkah Dini andai berpikir kalau Rio betul-betul dendam padanya?

Lagi-lagi dia mengkaitkan kejadian sekarang dengan kejadian dulu.

Hanya helaan napas sembari membuang tatapannya ke jendela yang bisa dilakukan oleh Dini. Rasanya dia ingin sekali membuka pintu kaca dan keluar ke balkon. Menghirup udara bebas di luar sana dan tetap menjaga kewarasannya setelah yang dikatakan Rio.

"Tidak bisa menjawab? Wajar sih! Orang itu kalau sudah ketahuan busuknya biasanya yang bisa dia lakukan cuman dua hal, pertama, menghindar sejauh mungkin karena tidak mau meminta maaf dan malu mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lalu yang kedua, dia akan memasang wajah memelas berharap dikasihani. Tapi dua-duanya sama-sama busuk." ucap Rio menurut Dini sudah keterlaluan!

Perih sekali hati Dini mendengarnya. Dia memang membutuhkan biaya untuk pengobatan Anggia. Tapi dia tidak bisa membiarkan dirinya terhina lebih jauh lagi!

Hatinya sudah merasa pengap apalagi di dalam kamar ini dia juga tidak tahu apa yang diinginkan oleh Rio.

"Baiklah, aku pilih yang kedua saja! Lagian yah, apa hubungannya luka kaki saya dengan proses bayi tabung Anda? Memang bayinya di taruh di kaki saya? Sinting!" dengan tegas sambil menahan bulir air matanya supaya tidak menetes Dini memberanikan dirinya menatap Rio tanpa mengedip saat dia mengatakan kalimat itu.

"Tapi maaf saya tidak bisa mengembalikan pakaian yang saya kenakan dan sandal yang saya kenakan. Anggap saja ini bayaran karena Anda sudah berhasil memuaskan semua perasaan marah dan emosi Anda pada saat! Kita impas. Saya permisi!"

Hal yang terlintas dalam benak Dini saat ini, dia ingin mengambil anaknya Anggia dari kamar sebelah lalu dia ingin membawa Anggia keluar dari rumah itu. Urusan nanti duit dari mana dia dapatkan untuk berobatan. Itu dipikirkannya nanti. Tapi yang pasti, hati Dini sudah pengap sekali. Rasanya sulit untuknya bernapas dengan Rio yang berbagi ruang bersamanya dan terus-terusan membahas masa lalu.

Bukankah pria itu sudah mengatakan padanya kalau dia tidak lagi peduli pada masa lalu? Tapi terus-terusan dia mengganggu Dini. Terus-terusan menyakiti hati Dini. Apa namanya kalau bukan balas dendam?

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

"Akkh!"

Sayang dengan kasar tangan Rio baru saja menarik pergelangan tangan Dini yang tadi baru mau melewatinya. Kaki Dini masih perih karena luka semalam. Makanya, belum stabil menahan tubuhnya hingga saat tangan Rio menghempaskannya, tubuh Dini terhuyung dan terlempar.

Untung saja jatuhnya ke tempat tidur.

"Pak Rio!"

"DIAM! Jangan meninggikan suara di rumah saya!" sinis Rio menjawab, mata elangnya juga mengintimidasi Dini.

"Pak Rio, Anda mau apa?" Dini takut-takut, dia mundur saat Rio melemparkan jasnya dan dasinya sembarang.

Pikirannya sudah negatif saja! Apalagi mata pria itu tidak lepas memindai netranya ketika Rio berjalan mendekat ke tempat tidur. Bulu kuduk Dini berdiri. Dia makin takut.

"Pak Rio, bukannya menurut Anda saya tidak menarik dan lebih menarik istri Anda? Lalu sekarang Anda ingin melakukan apa pada saya?" makanya Dini meneror Rio lagi yang entah apa dalam pikirannya justru menyeringai tawa sambil membuka kancing lengan kemejanya dan menggulung sampai sebatas siku.

"Pak Rio, menjauh dari saya!" tapi Rio tidak menghentikan langkahnya yang semakin dekat pada Dini sehingga membuat wanita itu melengkingkan suaranya satu oktaf lebih tinggi. Dia ketakutan.

Apalagi saat tangan Rio berhasil menyambar kakinya. Dini tak bisa menahan teriakannya.

"LEPASKAN SAYA!"


Sewa Rahim MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang