SP - SATU

53 8 0
                                    


Pagi ini menyebalkan.

Sewaktu orang-orang di sekitar menuntut dan meminta aku bangun dari pembaringan, agar tidak terlalu berlarut dan menciptakan diri bagaikan mayat hidup. Sebelum mereka bersuara, aku lebih dulu mendikte diri sendiri.

Ayo bangun, terus mandi, sarapan, terserah melakukan aktivitas apa saja. Tanpa ekspektasi apapun. Setidaknya semua itu demi diri sendiri.

Sebelum keluarga ku terluka disebabkan oleh ku, aku yang lebih dulu terluka. Kenapa mereka bertingkah seakan aku apatis terhadap diri sendiri? Aku tidak sepenuhnya tidak peduli meski kelihatannya begitu.

Batin ku bergejolak setiap kali hari berganti. Hari-hari yang terlewat seperti mimpi buruk, memang, tak ada peristiwa buruk terjadi tetapi kalimat semangat agar produktif yang terlontar dari benak sendiri sama sekali tidak bekerja. Aku justru semakin terperosok dan kalimat itu layaknya belenggu yang terpasung.

Apa? Perubahan demi diri sendiri? Aku memang peduli dan selalu memikirkan langkah yang akan ku ambil ke depan tetapi semakin aku memintal taktik dan kekuatan untuk bangkit aku semakin jatuh dan berharap bisa menghilang. Iming-iming pengorbanan demi kebahagiaan diri sendiri tidak ada gunanya, aku mungkin berada diantara mencintai dan tidak mencintai diriku. Aku membenci diriku yang sekarang tapi aku kehilangan arah. Jadi menjanjikan kehidupan layak demi diri sendiri bukanlah bujukan yang optimal. Melihat bukannya termotivasi aku malah terperangkap.

Siklus hidup ku berantakan tiga tahun belakangan ini, hal itu menyadarkan aku satu hal. Aku adalah manusia yang bisa membusuk, karena aku bukan artefak dimana keberadaannya bernilai tinggi. Mami sudah berusaha meminta aku setidaknya keluar dari kamar gelap yang ku ciptakan terisolasi dari cahaya.

Cukup lima jam di pagi hari saat sebagian besar orang rumah sedang tidak ada. Terserah aku ingin melakukan apa, kebebasan itu merupakan privilege.

Maka di pagi ini, aku berdiri di pekarangan. Menikmati udara hangat menyapu permukaan kulit, pun burung-burung yang sedang menari di sekitaran pohon depan rumah. Berbicara soal pohon, halaman rumah sedikit kotor oleh dedaunan kering, aku berinisiatif menyapu halaman. Memegang sapu lidi dan menyapunya.

"Itu dia."

Gerakan ku sejenak terhenti.

"Siapa?"

"Erika, anak tiri pak Harsono."

Apa aku salah dengar?

"Oh ya ampun, sudah lama saya tidak lihat, loh, Bu."

"Cantik tapi apa dia lagi sakit? Mukanya keliatan pucat."

Aku menegakkan tubuh, tanpa melihat langsung ke sumber suara.

"Anaknya nge-kost dulu waktu kuliah, kata anak saya yang waktu itu kuliah bareng dia, mereka dengar kalau Erika sedikit tidak waras sekarang."

"Oh jangan bilang karena kecelakaan itu?"

Aku menggenggam gagang sapu dengan erat, mengabaikannya dan mencoba untuk terus menyapu.

"Kecelakaan apa? Kok saya baru dengar?"

"Beritanya sudah lama, pacarnya meninggal."

Lalu terdengar tarikan napas dramatis.

Padahal sapu lidi sengaja ku tekan keras agar terdengar nyaring, namun agaknya pendengaran ini tidak bisa menyabotase gunjingan ibu-ibu dan tetap masuk ke indera pendengaran ku.

"Mungkin karena itu sampai sekarang dia menganggur, sayang sekali kuliahnya."

"Saya dengar anaknya berprestasi."

Sorrowful Past [Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang