01 ; Her gaze

27 13 2
                                    

Andreza Putra. Mataku menyipit mencari nama itu pada pembagian meja yang dikirim di grup kelas. Sebelum akhirnya sepasang bangku reyot itu menjadi titik terakhirku untuk duduk, 'aku akan duduk disini selama tiga tahun,' pikirku.

Bel sekolah telah berbunyi, ini kali keempat aku mendengar suara khas SMA Adan Kencana saat jarum pendek jam tepat menyentuh angka tujuh. Kalender telah melewati tanggal merahnya, semua kembali mencari kursi sesuai urutan masing-masing.

Sahut demi menyahut suara menembus telingaku, teriakan para siswa yang lantang hampir tidak bisa tertutup oleh lagu One Direction kesukaanku. Decakan kesal jelas keluar dari mulutku.

"Nomor absen 17 kan?" Sebuah suara lembut menembus earphone yang kukenakan. Tanganku melepas salah satunya. Ketika sudut mataku menangkap rupanya, seorang gadis kuning langsat dengan rambut sedikit berantakan, berbekal nama 'Arani Sayandra' sebagai identitas yang menempel pada seragam abu-abu putihnya.

Entah setan apa yang merasukiku, sehingga bahkan bibirku tak kuasa digerakkan. "Sorry, bukan ya?" Tanya-nya sekali lagi. Membuyarkan lamunanku dalam keheningan itu. "Ah iya itu aku!" Sontak aku menjawab.

"Boleh.. geser tas kamu ga?" Matanya jelalatan, memandang ransel hitam kecil milikku.

Mata kami bertemu. Like it was some interaction between us. Red thread, maybe everyone we call it like that. There was silence. Keheningan, yang sepertinya tidak dapat dikatakan demikian. Banyak, begitu banyak, suara sahutan para siswa yang sebenarnya cukup untuk membuat telinga kami kewalahan.

"Sorry-" Ucapku. Sebelum sebuah suara memotong percakapan di antara kami. "Ra! Aku manggil kamu dari tadi! Belum nemu juga tempatnya?" Suara itu berbicara. Hal pertama yang dapat ku identifikasi darinya bukan lah jahitan persegi panjang yang diisi nama didalamnya, melainkan bando merah yang memiliki motif polkadot hitam yang dikenakannya. Ketua kelas kami, Anjani.

Pupil mata Anjani melirik ke arahku, begitu jelas. Ia memperlihatkan rasa penasaran sekaligus ketidaksukaan nya kepadaku. "Ayo, udah ditunggu Bagas tuh diluar." Ucapnya sekali lagi. Before she dragged Arani to a place that I never knew where it was.

Ruang kelas itu kini sepi. Jam pertama telah dimulai. Yang hanya diisi oleh satu suara keras milik guru matematika kami. Tinta spidol hitamnya tersebar di berbagai sudut papan. Menorehkan X dan Y yang bahkan entah asalnya dari mana. Suasana kelasnya memang sepi, namun aku tahu bahwa semua murid disini sedang beradu argumen dengan kepala mereka. At least I'm not part of those students.

But, She is one of those parts. Wajahnya terpaku serius, alisnya seolah tidak memberi jarak di antara keduanya. Kukunya mengetuk-ketuk buku tebal di depannya. Suaranya kecil, tapi cukup untuk mengganggu partner satu mejanya. Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, Ia berhenti. Terlihat bahwa Ia menyadari bagaimana tatapanku terhadapnya sejak tadi. Syukurlah Dia mengerti.

"X dikali Y, terus dibagi..." Ia bergumam. Jarinya terlipat seperti Ia sedang menghitung. Hanya selang beberapa detik sebelum Ia kembali menggaruk-garuk akar rambut nya, pasti dia tidak mendapat jawabannya.

"Mereka bukan dikalikan, X nya ditaruh sini, terus Y nya disamping sini- Nah habis itu.." Sebuah pulpen menggantikan jariku untuk menunjuk kesana kemari. Memberi tahu apa yang sekiranya salah dalam jawabannya. "Nanti tinggal ditulis aja, yang angka ditaruh depan... Kaya gini," jelasku. Sebelum menyadari bahwa apa yang Aku lakukan sebenarnya tidak perlu.

Ia memandangku, instead of saw her notebook. Our eyes meet. Her gaze staring on mine, as i do. Ia yang pertama memalingkan wajah, tanpa mengatakan apapun. Perhatiannya kini tertuju pada papan, menganalisis, dan membandingkan jawabannya dengan apa yang ada disana. "Makasih," gumamnya. Menenggelamkan setengah wajahnya pada lipatan lengannya yang berada di atas meja saat berbicara.

Aku hanya mengangguk. Tak ada respon yang lebih baik dibanding itu, untuk saat ini. My attention get back to that white board, even though sometimes I check my phone to make sure that my face not look mess up. The reason of this behavior, is nothing.

"Gini, kan?" Tanyanya tiba-tiba. Menyodorkan secarik kertas dengan tulisan angka bercampur X dan Y di dalamnya. Bedanya, ini nampak rapi. Seakan sengaja dibuat demikian agar mudah dibaca. "Ini harusnya negatif." Koreksiku. Menunjuk satu angka terakhir dari dalam jawabannya.

Dariku, ke kertas itu. Sebegitu cepat perhatiannya beralih. Ia membacanya dengan seksama, jawaban miliknya. Bibirnya terbuka dan tertutup, ia bergumam. Membaca dalam hati, itu yang orang-orang katakan.

"Ah iya, harusnya negatif.. Sorry ya, ga teliti.." Ia mendesah. Terlihat sekali kekecewaannya disana, walaupun itu hanya sedikit kesalahan coretan, tapi beda hal nya jika itu nanti terjadi dalam ujian.

"Gapapa. Namanya juga belajar," aku menyahut. "Yang penting udah tahu kan salahnya kenapa?"

Tanpa menjawab, ia mengangguk. Her face looks upset at all. But i didn't mind, as long as it's not bother me. Waktu berjalan, hingga bel istirahat berbunyi, matematika telah usai. Terdengar beberapa redaman teriakan para murid, ketika guru matematika itu beranjak pergi dari keluar kelas.

"Jangan lupa tugasnya ya, lusa dikumpulkan." Ujar beliau sebelum akhirnya menghilang dari kelas itu.

"Tolong nanti bantu aku ya," tawarnya. "Sekali saja!" Ia melanjutkan. Sebelum perhatiannya tertuju pada nama kecil diatas sampulku. "Eza," Ia memanggilku. Entah darimana ia menyimpulkan, sehingga dua kalimat yang menjadi namaku itu bisa Ia otak-atik nya. Her smile, was the last thing I can remember from that day.

NOODLES! Where stories live. Discover now