TWELVE √

73 4 0
                                    

Happy reading
..........

"Biarkan malam melebur lelah mu hari ini, tidur nyenyak dan bangun dengan semangat esok hari."

Waktu tak pernah berhenti berjalan, terkadang terasa terlalu cepat, bahkan kita pun tak menyadari pergantian waktu. Terasa singkat semua yang terjadi berlalu begitu saja tanpa jeda sedikit pun.

Satu tahun sudah kehidupan rumah tangga Ryu dan Jae berjalan, awalannya manis dan selanjutnya adalah kepahitan yang mendominasi.

Ryu semakin hari semakin acuh tak acuh, sering pulang telat atau, bahkan tidak pulang sama sekali. Dan Jae ia masih setia terperangkap dalam sangkar emas yang di buat Ryu untuk nya, tak ada teman, tak ada orang yang bisa diajaknya untuk berkeluh-kesah. Tapi setidaknya Ryu masih memberinya ponsel untuk mengatasi rasa bosannya, dan itu pun di batasi. Sekarang bisa dibilang Ryu agak sedikit berlebihan. Tapi itu lah dendam.

Keadaan rumah sedang sepi, bibi Jang izin beberapa hari karena harus mengurus menantunya yang akan segera melahirkan. Jadi untuk sementara semua pekerjaan rumah di ambil alih oleh Jae–sendirian.

Akhir-akhir ini Ryu lebih jarang pulang, suami dinginnya itu lebih betah menghabiskan waktu dengan kertas putih yang membosankan. Dan beberapa hari belakangan ini juga Jae merasa lebih sedikit bebas, rasanya tenang dan nyaman tanpa ada aura dingin dan mengintimidasi dari Ryu.

Pukul lima sore, Jae sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Namun, persediaan makanan sudah habis jadi Jae memutuskan untuk pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan dapur, biasanya bibi Jang yang melakukan ini tapi karena bibi tidak ada jadi Jae lah yang bertindak.

Hoodie coklat pastel melekat pada tubuh Jae guna menghalau udara dingin di sore hari, masker dan topi putih sudah siap di tempat nya masing-masing. Jae pergi.

Langit sore ini terlihat mendung, awan hitam tampak menutupi langit. Jae menengadahkan telapak tangannya.

"Apa akan hujan?" tanyanya. Tak berselang lama ia berjalan tetesan hujan mulai turun dengan ritme pelan.

Jae mempercepat langkahnya. "Tau begini aku bawa payung tadi," geramnya kesal dan terus berjalan cepat. Jae mempercepat langkahnya saat merasakan tetesan hujan semakin cepat dan deras, Jae pun berlari mencari tempat berteduh.

"Hujan sialan!" Jae berteduh di halte bis yang ia lihat, ada beberapa orang di sana. Jarak supermarket masih cukup jauh, jika ia menerobos maka bisa di pastikan ia akan basah kuyup.

...

"Apa agenda selanjutnya?" tanya Ryu sembari melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Petang yang biasa nya cerah, kini malah terlihat begitu kelabu dan basah. Hujan turun cukup deras menyapu hampir seluruh permukaan tanah, meninggalkan jejak pretikor yang begitu pekat.

"Jam tujuh anda ada pertemuan dengan direktur Lee." Seorang pria dewasa bertubuh tegap membacakan kegiatan yang akan di laksanakan.

Ryu diam, mendengar nama direktur Lee membuat nya tertegun. Hanya ayah dari Jae dengan marga Lee yang bekerjasama dengan nya, berarti sekarang ia akan bertemu dengan mertua nya setelah sekian lama. Ryu tau hubungan Jae dan Tuan Lee tidak akur sejak lama, Jae yang pembangkang dan Tuan Lee pemaksa yang memaksakan kehendaknya pada sang anak.

"Baiklah, aku akan istirahat sejenak," ucap Ryu sembari melepas jas dan melonggarkan dasi yang membelit lehernya. "Kau bisa pergi." Si bawahan membungkuk sejenak dan berlalu pergi.

Ruangan luas itu kini hening. Ryu memandang plafon di atas nya dengan pandangan kosong, tak ada yang tau apa yang tengah di pikiran oleh nya. Sorot mata yang biasanya tajam entah kenapa sekarang terlihat sayu dan sendu, ada sepercik kesedihan di dalam.

Beranjak dari kursi kebesarannya, Ryu memandangi langit kelabu yang terus meneteskan air tiada henti. Dari atas sana, Ryu dapat melihat hiruk-pikuk kota Seoul di sore hari, kaca besar itu mengembun membuat bayangkan yang tampak menjadi buram. Ia menatap bayangan dirinya, buram. Dan tak jelas.

Sekelebat memori terputar di kepala nya. Kenangan manis dirinya dan Jae semasa dulu ketika mereka masih baik-baik saja. Benar memang kata orang kebanyakan, hujan itu identik dengan kenangan. Jatuhnya air itu ke bumi membangkitkan kenangan yang tersimpan di tempat usang.

"Ryu! Cepat masuk, sudah cukup bermain hujannya. Kau bisa sakit nanti!" teriak Jae dari teras rumah, memanggil Ryu yang masih asik berlarian di tengah hujan lebat saat itu.

Suara Jae teredam karena bisingnya hujan, "Apa?!" balas Ryu bertanya. Tampak nya Ryu tak mendengar jelas apa yang Jae teriakan.

Mau tak mau, Jae ikut berlari di tengah hujan lebat guna menangkap Ryu yang masih sangat aktif bermain.

"Ryu!—" Jae meraih kearah belakang Ryu. "Dapat kau," seru Jae senang. Ryu memberontak dalam genggaman Jae, mencoba melepaskan diri. "Jae, lepaskan Ryu, aku ingin bermain lagi!" Dapat Jae lihat bibir suami nya maju tanda ia sedang merajuk.

"Tidak sayang! Kau sudah lama bermain hujan, jika di terus kan kau akan sakit. Jadi sekarang Ryu menurut, okay?"  tutur Jae lembut mencoba memberikan pengertian pada suaminya ini.

Ryu mengangguk. "Okay, tapi sekarang lepaskan Ryu, Jae." Di balas anggukan, Jae pun melepaskan genggamannya. Sepersekian detik kemudian, Jae di buat kembali emosi tapi ia hanya bisa menghela nafas berat menghadapi tingkah kekanak-kanakan suaminya.

"Hahaha... Jae tertipu, ayo tangkap aku, sayang!" Ryu berlari menjauh setelah merasa genggaman di kerahnya terlepas. Menoleh kebelakang dengan wajah mengejek, memancing Jae agar mengejar nya.

Dan Jae pun terpancing, "Aku akan menangkap mu, Ryu!" Jae ikut berlari mengejar Ryu yang terus menjauh mengelilingi taman rumah.

Hujan pernah menjadi saksi kebersamaan mereka, menjadi kenangan indah yang sulit di hapuskan. Kepalanya pening ketika semua itu menyeruak memenuhi pikirannya, saat itu semuanya terasa begitu manis dan hangat. Di tengah hujan, kebersamaan mereka membuat suasana dingin menjadi hangat dengan perasaan yang di penuhi bunga. Kenangan itu masih melekat kuat di sana.

"Seandainya, seandainya saja kau tidak berbuat picik, aku tak akan sesakit ini, Seung Jae." Matanya kian sayu menatap hamparan kota di sore hari.

"Aku membenci mu, tapi...."

"Perasaan sialan ini, jauh lebih mendominasi."


















Tbc

REVENGE FOR THE FUTURE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang