Empat

1K 207 7
                                    

Di kantor ini, aku memang paling akrab dengan Syahid. Salah satu anak HRD yang punya banyak kesamaan denganku.

Syahid sendiri sudah bekerja di Ranjana hampir delapan tahun. Dan dia termasuk  karyawan kepercayaan bos. Usianya lebih tua tiga tahun dariku. Dan kedekatan kami terjalin karena memang punya beberapa sifat yang sama, bahkan menyukai beberapa hal yang serupa .

Misalnya ketoprak. Kami suka sekali makan siang ketoprak yang gerobaknya mangkal di belakang gedung kantor. Dia juga lebih suka mengalah padaku. Menurut orang-orang kami akan jadi pasangan yang cocok.

Tapi menurutku aku membutuhkan pria yang berani melawanku yang terkadang  bisa bersikap semena- mena. Dan menurutku, Syahid ini memang kurang punya sikap tegas terhadap pasangan. Sementara aku membutuhkan seorang pria berdarah panas dan bukannya yang suam- suam kuku.

Kesamaanku dengan Syahid yang lainnya adalah, dia juga nggak berani mendekati perempuan. Sejak dulu perempuanlah yang mendekatinya. Hubungan terakhirnya kandas dua tahun lalu. Si perempuan kabur lantaran Syahid terlalu manut padanya.

Sementara hubungan asmaraku sendiri sudah tewas sejak empat tahun yang lalu. Hingga kini aku masih santai menikmati hidup sebagai seorang single yang malam weekend kuhabiskan dengan melahap novel- novel Harlequin. Atau Chicklit atau romansa yang panas membara dan kadang membuatku kelabakan sendiri.

Aku memang khatam sama novel- novel dengan adegan seks yang lebih panas dari gurun Sahara. Tapi kalau melihat secara nyata atau mengalaminya sendiri, aku belum pernah. Sungguh aku nggak akan pernah berani.

Terlebih setelah melihat Ethan merogoh jalan lahir Mita dengan begitu saja. Membayangkannya saja aku jadi ngilu.

"Nggak ikut makan bareng, Mbak? Ada tempat makan yang baru buka tuh. Ini gue, Fitri, Junior sama Tasya mau cobain. Kafe pasta gitu deh. Mumpung lagi ada promo lho!" Yunita berapi- api mempromosikan tempat makan baru yang terletak nggak jauh dari gedung Wiratsana.

Lingkungan yang ditempati bangunan ini memang dekat dengan kawasan ruko dan rukan yang padat dan hidup selama 23 jam. Jadi wajar saja kalau kemudian banyak yang membuka usaha tempat makan di sekitarnya.

Ada restoran Jawa, restoran Sunda, rumah makan Padang, masakan khas Sulawesi, Chinese food, kafe trendi, coffee shop, butik, toko kue, toko buku dan masih banyak lagi. Belum lagi di balik gedung kantor ini juga ada jajaran gerobak yang menjual berbagai penganan hingga makanan berat. Favoritku adalah baso tusuk, ketoprak, sama pecel. Ada warteg juga sih di sana.

"Nggak. Gue bawa bekal." Mataku tetap menancap pada layar komputer yang menampilkan deretan angka. Ada yang nggak balance dan aku harus menyelesaikannya. Kalau enggak, perusahaan ini bisa bangkrut.

"Tumben?"

"Iya. Tumben."

Yunita berdecak putus asa. Kemudian dia meninggalkanku sendirian setelah memutar bola matanya. Barangkali dia kesal padaku.

Ruangan keuangan sepi. Hasan dan yang lainnya pasti sudah pada meluncur ke musala terus lanjut mencari makan siang. Soal makan siang, para lelaki itu memang nggak pernah ribet. Tujuan mereka selalu satu: warteg.

Aku kemudian bangkit dan membawa goodie bag berisi ransum yang cukup untuk memberi makan orang satu RT. Bu Istiqomah alias mertuanya Doni menganggap bahwa selera makanku buruk, sehingga dia memutuskan untuk menambah bekalku.

Ketika membuka pintu pantry, aku melihat Syahid sudah menekuni ketopraknya. Di samping ketoprak ada teh panas manis. "Lho, Bang. Nggak ikut rombongan si Hasan?"

"Males." Dia lanjut makan.  Aku mendaratkan goodie bag di sampingnya, sebelum menarik kursi dan duduk.

Kukeluarkan isi tas tersebut. Ada tiga kotak bekal warna hijau yang entah berasal dari mana. Kurasa aku nggak punya yang seperti itu di rumah. Sebab kotak makan ibuku rata- rata berwarna abu-abu , hitam, pink dan biru.

Crush On YouWhere stories live. Discover now