Sembilan Belas

1.6K 312 4
                                    

"Uh, I'm so excited!" gadis itu memekik kecil. Suaranya cempreng. Tuhan memang Maha adil. Gadis secantik ini, yang mengenakan terusan warna mint sebatas lutut, berambut cokelat sepunggung yang ditahan begitu saja dengan bando warna hitam dan sepasang kaki jenjang, putih, mulus, ramping yang terbungkus sepasang sneakers, menurutku nggak seharusnya punya suara melengking begini.

Seharusnya, suaranya seperti Keira Knightley waktu jadi ibu peri dalam film The Nutcracker And The Four Realm. Atau Emma Watson dalam Beauty And The Beast.

"Jadi beneran kalau muffin bikinan aku enak, Kak?" tubuhnya yang langsing melompat-lompat mirip kelinci energizer. Senyumannya lebar dan cemerlang, sampai-sampai kemungkinan bisa menerangi area mal tempat kami bertemu pada akhir pekan itu.

Aku mengangguk saja. Aku bukan mau bermaksud untuk cari muka dari  gadis yang baru saja lulus sekolah ini. Tapi muffin bikinannya yang mengandung 443 kalori itu memang enak banget. Bikin kenyang. Entah apa yang dia masukkan ke dalam kue tersebut.

"Kak Dhea enggak bohongin aku kan?"

"Buat apa saya bohong?"

"Siapa tahu karena Koko," Shea melirik ke arah kakaknya yang kemudian hanya terkekeh senang.

Jadi, hari Sabtu itu karena Ethan nggak ada tugas jaga IGD, ia mengajakku keluar. Pagi-pagi, sekitar pukul delapan dia sudah nongkrong di ruang makan rumahku, seolah-olah dia sudah jadi penghuni tetap di sana. Dia membujukku untuk ikut ke mal. "Shea pengin ketemu kamu katanya, Dhe."

"Kenapa nggak kamu ajak dia ke sini aja?" jawabku cuek. Sambil membolak-balik halaman novel  Twilight . Aku sudah nggak fokus, semenjak dia  muncul di hadapanku. Tepatnya, setelah dia menyusulku ke teras belakang.

Weekend ini memang akan kudedikasikan untuk membaca ulang tetralogi karya Stephanie Meyer itu. Sejak dulu aku suka banget sama Twilight. Ya bukunya. Ya filmnya. Meski pada akhirnya banyak buku sejenis yang bermunculan, cintaku tetap stay pada Edward Cullen dan Jacob Black.

Berkali-kali baca bukunya. Berkali-kali nonton filmnya, tapi entah mengapa aku nggak pernah bisa bosan.

"Sejak dulu kamu nggak berubah ya, Dhe. Tetep Twilight yang jadi favorit kamu. " Kata- katanya meluncur lembut, begitu pula cara dia memandangku. Membuatku balik menatapnya, dan terperangkap pada sepasang mata cokelat itu. Aku terpana untuk sejenak.

Biar bagaimanapun, aku kan tetap seorang perempuan biasa. Yang kalau dipepet terus, lama-lama hatiku bisa lumer juga. Meskipun aku jutekin dia. Aku galakin dia. Lelaki itu tetap nggak ada kapoknya. "Kenapa sih, Ethan?"

"Kenapa apa?" sepasang alisnya yang lebat itu bertaut heran mendengar pertanyaan yang kuajukan barusan. "Kenapa kamu kayaknya nggak pengaruh, walau aku jutekin kamu melulu. Sebenarnya, buat apa ini semua? Buat apa kamu datang- datang ke sini terus?" tuntutku.

"Memang kamu keberatan?"

Aku mengangguk. Dia terlihat kebingungan sendiri.  Aku mulai curiga padanya. "Kalau kamu deketin aku cuma buat mau tahu kabar Erlin saat ini, then sorry, Et. Kamu salah alamat. Aku nggak tahu apa-apa soal dia."

Dia memejamkan matanya, raut wajahnya yang tadinya sempat sedikit menegang, kini kembali rileks. Ia kemudian membuka mata. "Ini nggak ada hubungannya sama Erlin, Dhe. Sama sekali enggak."

"Terus?"

"Aku cuma mau kita berteman. "

"Oke." Aku mengangguk. Menahan rasa nyeri akibat kecewa yang tiba-tiba muncul di hatiku. Apa sih yang sebenarnya kuharapkan? Apa aku ingin dia mengatakan bahwa dia memang sengaja mendekatiku karena dia jatuh cinta padaku?

Crush On YouWhere stories live. Discover now