- 23

312 74 159
                                    

Jepretan kamera menghujani sekujur tubuhku, dari ujung kaki, sampai pucuk rambut. Beberapa di antara para wartawan juga memakai flash, jadi aku sesekali menunduk, menghindari badai cahaya yang berasal dari serangan speedlite dari punuk kamera. Aku tetap berjalan dengan tegar. Flatshoes hitamku menapakki mimbar, dan aku menggerakan mikrofon portabelnya ke dekat mulutku.

Aku juga melirik orang-yang yang mendampingiku di panggung teater ini; Ying, cewek di pinggir mimbar, Ice, seseorang yang menyembunyikan diri di belakang panggung, dan Thorn, di bawah panggung, menjaga pembatas karet agar pers tidak menjangkau aku terlalu dekat.

"Jadi, anda Putri Santriantar itu?" Reporter berambut bob menodongkan mikrofon elektretnya padaku. Dia sampai menyimpan ketiaknya di atas kepala seseorang yang berdesak-desakkan di depannya.

"Saya anak dari Kirana." Aku memperkenalkan diri. "Anak dari investor keempat."

Aku mencuri pandang ke arah Ying. Aku ingin menatapnya sebentar sebelum aku melanjutkan, "Aku mengumumkan dengan resmi, aku menggantikan ibuku untuk menyumbang dana pada Proyek Perdana Menteri."

Kemudian aku memaksakan sebuah senyum simpul, "Aku mengunumkan keikutsertaanku di proyek itu sebagai satu-satunya investor yang tersisa, dengan besaran kontribusi saham sebenyak lima puluh persen!"

Aku mendengar keriuhan yang mendadak mengisi aula. Mereka sampai membeku sebentar, baru memotretku habis-habisan lagi. Namun, kini blitznya tidak sebanyak tadi, sebab kebanyakan dari mereka lebih sibuk merekam dengan camcorder gemetaran.

Lima puluh persen bukan angka yang masuk akal di otak. Lagi pula rekening Mamaku juga tidak punya anggaran sandirawa sebanyak itu. Lima puluh persen kontribusi artinya memback-up bagian milik Bagogo, Kokoci, dan setengah bagian saham Ejojo. Namun, pria itu datang ...

Aku memejamkan mata. Di kepalan tanganku, ada segumpal kertas. Aku daritadi menutupinya dari wartawan. Aku pura-pura menenggelamkan tangan saku celana, sok-sokan bergaya. Padahal, aku mentransfer NCR itu ke celanaku.

Kertas cek uang. Kertas yang dilapisi oleh cap perusahaan, materai, keterangan bank penerbit, angka dengan nominal fantastis, dan tanda tangan Solar di atasnya. Dia memfasilitasi kebohongan ini saat desas-desus pergantian kepemilikian saham itu mulai dibicarakan orang-orang. Solar menelponku, dan katanya ia ingin membantu agar pembunuhnya benar-benar melirikku.

Mataku menyisir kerumunan wartawan yang sebagian sedang menulis script, berteriak minta konfirmasi ulang, dan fokus merekamku. Di antara mereka, aku melihat Solar. Matanya penuh dendam. Aku membalasnya dengan senyum, aku ingin bilang padanya, teror ini akan berakhir segera setelah rekaman konferensi persnya ditelevisikan.

"Apakah Anda tidak takut akan gosip yang menyebar itu? Bukankah ada pembunuh yang mengincar kepala investor-investor proyek Perdana Menteri?" Pertanyaan itu dibuat oleh seoranv jurnalis senior yang laggam wajahnya tenang, namun suaranya tegas. Suaranya mengalahkan kebisingan di sekitarnya, sebab pertanyaan itu mencakup isi hati orang-orang di aula.

"Kenapa Anda malah mengajukan diri sedangkan investor lain mundur. Apa Anda tak punya rasa takut?" Timpal seseorang.

"Bukankah kematian tak wajar Retak'ka, Kokoci, Bagogo dan Tom sudah cukup? Apa Anda ingin mencalonkan diri mangsa selanjutnya?" Pertanyaan kurang ajar itu muncul di sela-sela pertanyaan lain.

Aku menghembuskan napas. Aku takut seorang pakar gelagat membaca betapa takutnya aku. Aku pura-pura tegar. Aku memegang tanganku yang gemetaran, menyuruhnya berhenti! Tapi sarafku susah diatur. Aku mencoba tetap trankuil.

Benar. Aku bisa. Ice sudah menyuntik aku dengan seaumpul lorazepam di ototku. Katanya, obat sedatif-hipnotik bisa memaksaku untuk tenang dan aku bisa mengelabui pakar ekspresi. Kami betulan mengantisipasi apabila rekaman persku ditayangkan di berbagai media, dan para ahli ikut berkomentar. Akhirnya, aku disuntik obat penenang supaya aku tidak terlihat gugup.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now