2. Adil?

2K 240 8
                                    

Happy Reading ✨





Wanita cantik itu nampak terperanjat sesaat aku memasuki kediamannya yang besar nan megah ini.

"Astaga, Aza?! Kamu kenapa?!" pekik Mama Rini lekas menangkup wajahku yang penuh lebam.

Dari arah belakang aku bisa mendengar decakan keras, sepertinya itu Ery yang juga baru saja sampai.

"Abang! Ini Aza kenapa kok bisa babak belur gini?!!" Mama Rini semakin histeris dan menahan tangan Ery yang hendak pergi ke lantai dua.

"Ya ga tau lah, Ma! Tanya sendiri ke si banci tuh! Habis dikeroyok tukang pinjol kali!"

"Mama serius, Ry!!"

"Ery duarius!!"

Aku tersenyum menenangkan Mama Rini, dan menggenggam tangan lentiknya yang sedikit bergetar itu.

"Aku ga pa-pa, Ma. Hanya jatuh dari tangga," dalihku yang mungkin tak akan dipercaya.

Aku melihat Ery memasang raut wajah jijik, dan memutar bola matanya malas.

"Masa jatuh bisa sampai begitu?? Aduh, pokoknya kita ke rumah sakit sekarang! Abang cepet panggilin bodyguard buat siapin mobil!"

Ah, Mama Rini terlalu berlebihan, lihat wajah Ery yang sudah melotot merah padam seakan hendak meledakkan emosinya itu. Mungkin dia akan jauh lebih murka jika aku mengatakan yang sebenarnya tentang luka ini.

"Halah! Cuma luka kecil gitu doang dihebohin! Ery aja ga pernah sampe dikhawatirin gitu sama Mama kalau habis pulang tawuran!"

"ERYCK!" Mama Rini ikut terbawa emosinya. Dadanya kembang-kempis menghadapi putra kandungnya itu.

Ery yang tersentak dengan bentakkan sang Ibu menatap tak percaya. Sial, aku benci jika melihat wajah itu. Wajah yang menahan rasa sakit, hingga mampu membuatku ikut merasakan sesaknya.

"Ma, jangan membentaknya, aku ga pa-pa. Sudah, jangan memperpanjang masalah ini," ujarku berusaha menenangkan keduanya.

Mama Rini nampak sadar dengan perbuatannya barusan. Ia lekas mendekat ke arah Ery dan menggenggam tangannya.

"Ma-maaf, sayang. Mama sudah bentak kamu. Mama cuma mau berusaha adil ke kalian. Kamu juga sudah besar gini mau sampai kapan egois terus? Dia itu adik kamu."

Rupanya perkataan Mama Rini semakin menyulut gejolak amarah yang ada di dalam diri Ery.

"Haha? Egois?! Mama sama Papa yang egois! Dari awal Ery ga setuju sama kehadirannya! Tapi, kalian ngabaikan perkataan Ery! Adil? Omong kosong! Kalian cuma sayang sama dia selama ini!" Ia menarik tangannya yang digenggam Mama Rini, dan berlari menuju tangga lalu menutup kencang pintu kamarnya.

"Ery!!" panggil Mama Rini lekas mengikuti putranya itu.

Biar kutebak, mungkin dia akan menangis di dalam sana.

Aku menyentuh pipiku yang semakin terasa nyeri ini. Lalu, mendongak melihat kamar Ery yang malang itu.

"Pukul aku sesukamu. Kalau itu bisa menyembuhkan rasa sakitmu."

***

Ery kabur dari rumah seminggu penuh setelah kejadian itu. Papa Hendry memang telah mendapatkan lokasinya keberadaannya, namun ia enggan membawa Ery pulang ke rumah.

Tentu hal itu membuat pertikaian dengan istrinya sendiri. Yang mana, sang istri ingin segera menemui anak kandungnya, namun sang suami justru tak menuruti permintaannya.

"Biarkan sudah, nanti kalau lapar ya pulang dia. Itu dia ada di rumahnya si Darren, aman kok. Lagi pula Ery tengkar sama kamu, kan? Makin eneg nanti kalau pulang ke rumah liat kamu," ucap Papa Hendry dengan santainya.

Disgusting Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang