long way 2 go

971 102 8
                                    

🥞🥞🥞

Jika pernikahan mereka diibaratkan warna. Maka mungkin warnanya adalah merah muda. Manis, lucu, dan penuh kebahagiaan. Iya, Jay dan Jungwon adalah definisi sempurna dari segala ikatan rumit yang terjalin tanpa sengaja. Atau mungkin ... biru langit. Sebab mereka awalnya hanya insan yang polos, kemudian saling menjaga, hingga utuh seatap berdua.

Oh? Apa sekarang sudah separuh jalan?

Jungwon tak pernah tahu jika seorang lelaki dengan setelan polo dongker yang mencetak bahu lebar, juga indikasi bisep yang sempurna itu akan menarik perhatiannya. Jay juga tak menyangka jika pendiriannya selama bertahun-tahun untuk tidak menikah akan tergusur oleh pemuda berperawakan mungil yang menatapnya bak seekor anak kucing.

Mereka saling tersesat, mencoba mengakrabkan diri dengan beberapa ajakan kencan singkat berfrasa kupu-kupu indah. Hingga perlahan, satu demi satu kecocokan di antaranya mampu membuat mereka berdua saling mengikat.

"Aku enggak pernah kepikiran untuk menikah, terlebih punya anak."

Saat itu Jay berani bicara jujur tentang pendiriannya yang individualis.

"Lalu ... kita ini apa?" Ia bertanya dengan nada harap cemas. Hampir setahun ini mereka berpacaran, Jay memang selalu terbuka tentang apa saja. "Aku enggak bisa ikut pendirian kamu. Aku pengen nikah, aku mau bangun keluarga kecil bareng kamu."

"Aku bukan orang baik, Jungwon.. Hidup kamu sempurna, kamu punya segalanya. Kamu enggak butuh aku."

"Aku butuh!"

Demikian segala perdebatan mereka selalu berakhir dengan ciuman panjang. Saling menatap, mengecup, juga menahan peluh-desah berdua. Semuanya atas dasar saling cinta, mengisi kekosongan tubuh dengan buih asmara hingga terengah letih.

"Kenapa kamu akhirnya mau nikah?"

"Karena di samping aku ada kamu. Kalau bukan sama kamu, aku enggak akan pernah ucap janji setia, apalagi sampai sehidup-semati."

Hari-hari pernikahan manis berlalu singkat. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hebat; nyaris tak masuk akal bila diceritakan pada segelintir manusia yang terbiasa dengan cacian hangat.

"Kamu keberatan enggak kalau semisal kita tunda punya bayi sampai keuangan Mas stabil?"

Tahapan kebahagiaan mereka juga diuji secara berkala. Setahun setelah Jay mengatakan secara tersirat bahwa dirinya tak ingin berstatus sebagai seorang Ayah, akhirnya lelaki itu pasrah. Lemah akan fakta jika bayi mereka kelak akan mewarisi gen Jungwon, seseorang yang begitu ia damba dengan segenap jiwa. Harap-harap kecil mulai Jay panjatkan selepas mereka bercinta.

"Aku enggak bisa ninggalin karir aku sekarang, aku juga belum siap jadi Ibu. Aku masih mau nikmatin masa muda aku, kerja sesuai bidang aku, kumpul sama temen-temen aku.. Aku harap Mas enggak tersinggung."

Sayangnya harapan Jay untuk menimang bayi harus tertunda lebih jauh. Jungwon belum siap mengandung, pemuda itu masih ingin hidup bebas tanpa dikekang. Jay jelas paham, ini adalah resiko yang harusnya ia perhitungkan jika menikah dengan seseorang yang berumur jauh lebih muda; terlebih Jungwon berasal dari golongan orang berada.

"Minggu depan kamu berhenti kerja ya? Maksudku, supaya kamu enggak kecapean dan kita bisa lebih fokus ikut program hamil. Kamu udah ngurus aku, ngurus rumah, masa harus ngurus kerjaan juga. Aku enggak mau kamu terbebani, Jungwon."

Di tahun ketiga, akhirnya mereka sepakat berjuang. Sekarang waktunya memberi awal bagi satu nyawa lain yang telah lama menunggu hadir, hingga saling merayakan. Ketakutan dan keraguan dalam sudut pandang perlahan sirna terganti kebahagiaan yang tiada habis.

Satu malaikat kini dititipkan di tengah keduanya, menjadi sebuah pelengkap yang abadi.

"Jennifer, Jessica, Jesslyn ... wait, Mas enggak pernah tulis Wonhee." Mata Jay menyipit saat kertas coretan berisi nama yang ia persiapkan di samping ranjang mendadak terisi satu nama asing. Ia menoleh pada Jungwon, terduga pelaku yang langsung tertawa manis seolah mengakui tindakannya.

"Ih, Wonhee bagus tauu! Nanti panggilannya 'Kak Wonie' sama kaya aku~" ujarnya antusias. Ranjang yang diduduki mereka ikut bergerak.

Kertas barusan Jay lipat sebelum diletakkan ke samping jam analog. "Kenapa tiba-tiba kamu saranin Wonhee?"

Tanpa perlu berpikir panjang pemuda itu menjawab yakin, tak terselip keraguan dalam nada bicaranya. Matanya berbinar penuh semangat. "Wonhee kan lucuuuu, namanya juga cantik."

"Kalau Jazelle, gimana?"

Jungwon menggeleng pelan.

"Joanne?"

Hanya gelengan yang Jay dapat sejak awal. Kepalanya mulai kosong, hampir seluruh nama yang ia persiapkan ditolak mentah. Kini tersisa satu kandidat terakhir. Jay tak rela jika harus menggunakan nama Wonhee; seutas kata yang telah Jungwon persiapkan bersama orang lain.

"Javelin," gumamnya dihinggapi perasaan ragu. Nama ini Jay beri sebagai opsi terakhir karena tak begitu menarik dipertimbangkan.

Tepukan pelan menjumpai tengkuknya. Jungwon menatapnya penuh selidik.

"Javelin," ujar Jay mengulang. Begitu melihat binar persetujuan dari lawan bicara, Jay buru-buru mengoreksi kelengkapan nama indah barusan. "Javelin Katarina Alden. Pangggilannya 'Kak Arin' setuju?"

🥞🥞🥞

ayo beri sambutan meriah buat kak arinnnn, si bocil enam bulan yang udah dimanja sama ayah dan bundaaa~

wonhee itu nama yang jw siapin bareng hesa pas masih pacaran ... maklumin aja lah ya, cinta monyet tapi udah kepikiran momong anak :"

vote, komen jangan lupaaa!

dearest ; jaywonWhere stories live. Discover now