Bab 5: Perempuan-perempuan di Barak

51 12 7
                                    

***

Tapal kuda itu berhenti tepat di depan dek bambu. Ki Sedan mengusap-usap lipatan daun sirih di mulutnya. Mata kelamnya menyempit sambil memandangi ketiga perempuan-perempuan muda dengan rambut mereka yang masih basah. Seperti biasanya, dia menyusuri tepi sungai untuk pergi ke perkebunan, karena jaraknya lebih dekat.

"Anjeun sadayana telat mandi? (Apakah Kalian terlambat mandi?) Ini sudah sangat siang." Ucapan Ki Sedan sedikit tidak jelas, dia menyepah lipatan sirihnya. Seringainya kembali mengekspos gigi-giginya yang merah.

Sri langsung menunduk, ketika mendengar suara berat itu. Dia teringat... Bagaimana kemarin Mandor bercabang tebal ini memarahinya dan hampir mematahkan jari-jarinya.

"Hari ini libur... Saya sedikit terlambat," jawab Sri. Kedua kawan perempuannya di belakangnya, malah tidak berani menjawab.

"Ki, bukankah dia... Gadis yang kemarin?" Bisik salah satu anak buah Ki Sedan.

Ki Sedan kembali memandangi Sri. Gadis kurus berkulit gelap itu, memang nampak tidak asing di pengelihatannya. Padahal kemarin, nafsu kejinya tinggi untuk memukulinya. Kalau saja Meneer Walanda itu tidak ikut campur, dia ingin sekali melihat wajah manis ini kesakitan! Ki Sedan sangat benci orang yang bodoh dan ceroboh!

"Oh, kamu si Goblok kemarin?" Dia kembali meludahkan susuran sirihnya.

Sri mengangguk, dia pasrah dipanggil dengan sebutan kasar seperti itu. Sri menyembunyikan jari-jarinya di belakang tubuhnya yang mulai gemetaran. Dalam hatinya penuh harap, Sri tidak ingin hal buruk yang menimpanya lagi hari ini.

Ki Sedan mengusap cambang tebalnya. Manik hitamnya mulai memindai detil tubuh Sri. Air menetes dari ujung dagunya, lamat-lamat meleleh menyusuri lehernya yang jenjang.... Entah mengapa dia lebih memperhatikan gadis ini daripada kedua kawannya... Sepertinya dia sedikit penasaran, karena tiba-tiba Meneer Henri membela anak perempuan ini.

Tapi...

"Segera pakai pakaian kalian! Apa kalian jangan sengaja memancing syahwat kami?!"

Ki Sedan mengeraskan suaranya, karena dia tahu... Anak buahnya juga memandangi mereka tanpa berkedip. Sangat tidak mungkin, dia membiarkan anak buahnya melepaskan birahi di saat mereka sedang buru-buru pergi bekerja.

Sri menelan ludahnya. Dia langsung merapatkan jariknya. "Ma... Maaf!"

Ki Sedan tidak berkomentar lagi. Mereka harus bergegas melewati pinggiran sungai yang hampir tertutup oleh air yang naik. Dia menarik tali kekangnya, dan mengeluarkan suara ketukan lidahnya untuk mengarahkan kudanya. Mereka lanjut berjalan ke arah barat, menuju perkebunan.

Sri baru bisa menghela napas panjang, ketika rombongan mandor itu sudah menjauh.

"Ayo, kita bereskan semua barang-barang. Aku takut," ucap Roron sambil mengusap-usap dadanya. Dia sangat ketakutan.

"Apakah kalau kita sendirian di sini tidak aman?" Tanya Sri. Dia tidak pernah pergi ke sungai sendirian.

Suci berdengus. "Kamu pikir tinggal di desa buatan Walanda ini membuat kita akan aman?"

"Aku pikir... Kita lebih baik tinggal di sini, daripada terlunta-lunta di jalanan. Aku dan ibuku cukup senang di sini, mereka memberikan kita makanan dan juga Gulden." Sri menjawab pertanyaan itu dengan polos, seraya memakai kebayanya.

Kedua kawannya saling berpandangan lagi. Mereka paham, Sri belum lama tinggal di desa Walangsari.

Suci menepuk bahu kurus Sri Kemuning. Tatapannya lekat seakan hendak menembus pola pikir Sri yang polos.

"Tenaga kita diperas habis-habisan, dengan harga yang tidak pantas. Upah kita juga, tidak semuanya diberikan. Bahkan ada juga pekerja yang tidak diupah. Belum lagi, penyiksaan yang berlebihan hanya karena kita melakukan kesalahan kecil. Kamu pikir kita pantas menerima itu?"

Sri diam.

"Kamu lihat sendiri di barak, jumlah perempuan sedikit. Beberapa perempuan itu... Terkadang dipaksa melayani nafsu para pekerja dan Mandor..." sambung Suci. Dia mengangkat bakul pakaiannya yang terisi penuh kain basahnya. "Perempuan-perempuan yang sudah kelelahan bekerja di perkebunan, tentu tidak sanggup melawan."

"Be... Benarkah ada kejadian seperti itu?" Sri merinding, dia ketakutan... "Apakah kita tidak bisa... Kabur?"

"Sekali lagi, Desa Walangsari adalah buatan Walanda. Kita tidak bisa melarikan diri dengan mudah," ucap Roron. Kakinya meloncat kecil ke atas beberapa batu sungai. "... Jangan terlena hanya karena kamu diberi Gulden, makanan dan tempat tinggal. Kita ini tetap dijajah... Dijajah sebagai bangsa dan nafsu."

Sri tersentak mendengar kalimat itu, rasa gentarnya muncul.

"Lalu... Bagaimana nasib perempuan-perempuan di barak itu?" Kaki kecil Sri cepat-cepat menyamakan langkah dengan kawan-kawannya. Mereka menunggunya di luar dek bambu.

"Ya? Kami tetapi bekerja seperti biasa," jawab Suci seraya merapikan ikatan jariknya.

Sekali lagi, Sri mengerjapkan matanya. Dia merasa bodoh karena seakan-akan mengungkit luka yang mereka berdua alami. Rasa iba yang besar menaungi perasaannya. Rudapaksa adalah kekerasan keji terhadap perempuan. Mereka dipaksa kehilangan harga diri dan digulingkan ke dalam lembah hitam atas perbuatan yang bukan kehendak mereka. Belum lagi trauma yang mencengkram jiwa. Sri tahu, karena... Ibunya mengalami hal mengerikan itu... Dan cerita dirinya adalah anak haram...

"Maaf... Maaf," lirih Sri.

"Hee? Kenapa meminta maaf?" Roron tertawa. Dia berusaha menerima apa yang sudah terjadi beberapa bulan lalu. Baginya tidak ada pilihan. "... Sekarang sudah ada penari-penari Cadeau itu. Setidaknya, pekerja-pekerja itu tidak lagi menganggu para perempuan di barak lagi."

"Iya, kamu harus jaga diri sebaik-baiknya, Sri."

Sri hanya mengangguk. Hati kecilnya mulai muncul pertanyaan... Apakah dia akan selamanya aman di desa Walangsari?

Suci menaikkan bangkulnya yang mulai terasa berat. "Tapi penari Cadeau itu sulit ditaklukkan. Mereka hanya memilih yang terbaik dari beberapa ratus Pria di sini."

"Yang penting, kita harus waspada. Selepas kerja, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan beri kesempatan kepada pria untuk masuk ke dalam," ucap Roron tegas.

Sri mengangguk.

"Apa... Kamu... Masih perawan, Sri?" Tiba-tiba Roron bertanya.

Sri bengong, disambung tertawa gugup. Kaki telanjang mereka sudah menapaki jalan bebatuan menuju barak. Matahari pun setengah lebih tinggi, sinarnya menembus dedaunan pohon-pohon bambu yang berdiri sejajar. Samar-samar dari kejauhan terlihat asap sisa-sisa pembakaran.

"Ah, aku yakin Sri masih perawan. Makanya Kang Edi kekeuh dekat-dekat," goda Suci.

"Aku dan Kang Edi hanya berteman saja. Tidak ada ke arah lain." Sri menampik kedekatan mereka adalah hal yang istimewa, tetapi dia mengakui Kang Edi sangat baik.

"Sri, Kang Edi itu lumayan. Dia pandai dan bisa membaca. Kabarnya dia juga dipercaya oleh beberapa Mandor. Aku rasa sebentar lagi, dia akan diangkat oleh Mandor jadi anak buahnya," ucap Roron.

Asap tipis sisa pembakaran itu mulai jelas asalnya. Mereka bertiga baru menyadari... Kalau rumah bedeng yang tadi pagi mereka lalui tadi, ternyata ada penghuninya. Beberapa perempuan cantik, tampak berbincang-bincang di depan pagar. Seorang kusir sibuk mengangkat beberapa bakul berisi sayur-mayur dari kereta kudanya.

"Siapa mereka?" Bisik Suci. Roron pun menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu.

Sri teringat cerita ibunya. Mungkin mereka adalah penari-penari Cadeau yang tinggal di dekat sungai. Sri tidak mengingat wajah penari-penari itu.

"Hapunten," sapa Sri setengah menunduk, diikuti Suci dan Roron. Sri tetap mencuri pandang kepada para perempuan anggun, yang berjumlah tujuh orang itu.

Mereka membalasnya dengan anggukan kepala. Walaupun kipas yang mereka pegang menutup setengah wajah mereka... Sri bisa melihat pancaran kecantikan mereka. Mereka pun sangat wangi...

Sri teringat condroso yang ditemukan oleh ibunya di sungai... Apakah penari-penari Cadeau ini tidak merasa kehilangan? Atau memang hiasan gelung itu juga bukan milik mereka?

***

Hikayat Sang PenariWhere stories live. Discover now