Bab 41: Tamu yang mengesalkan!

48 15 11
                                    

***

Beberapa tamu asing itu, terlihat sangat tertarik dengan bangunan rumah Bedeng yang sederhana. Tetapi pejabat kerajaan Netherlands itu tidak mau hanya duduk diam, mereka masih saja berkeliling, memperhatikan seluruh sisi teras rumah yang memiliki total 10 ruangan itu. Sepertinya mereka semua ingin tahu, setiap detil ornament yang terpajang. Bahkan Sang Sekretaris Kerajaan menyatakan, dia ingin membawa beberapa lampu templok di depan ruangan tengah.

"Si… Silahkan."

Giliran Nyi Popon yang keluar dengan membawa beberapa cangkir minuman, berisi kopi hitam yang digiling dengan jagung tanpa gula. Kopi itu bukanlah kopi terbaik, tetapi Nyi Popon mengikuti perintah Indung Ali. Sebelumnya, Nyi Naimah dan Nyi Sinar ikut mengeluarkan setandan pisang dan beberapa piring singkong rebus.

Melihat kehadiran perempuan yang lain, sontak Sekretaris kerajaan dan dua asistennya itu memutar kepalanya lagi. Mereka memandangi perempuan-perempuan itu, sampai-sampai bola mata mereka nyaris meloncat keluar.

"Wauw, bedankt... Jullie zijn allemaal zo mooi (Wah, Terima kasih... Kalian semua sangat cantik)," puji Meneer Hans. Dia pun buru-buru kembali ke meja di mana Meneer Henri dan Indung Ali duduk. Meneer Hans seakan tidak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati paras perempuan-perempuan cantik itu.

Nyi Popon memeluk nampannya, dia menyerongkan arah badan untuk menghindari tatapan nakal sang Meneer.

"Hehe. Silahkan dinikmati hidangan kami yang sederhana ini."

Meneer Hans tentu saja tidak mengerti bahasa. "… Zijn dit Cadeau-dansers? (Apa mereka ini penari Cadeau?)" tanya tuan Walanda itu kepada Indung Ali duduk tepat berhadapan di depannya.

Indung Ali melirik ke Meneer Henri, karena juga dia tidak bisa berbicara bahasa Netherlands.

Henri mengerti maksud tatapan itu. "Apakah mereka penari?" ucapnya mengartikan.

"Ah, Iya. Mereka adalah tiga dari tujuh penari Cadea di sini ada 7 tujuh orang dan satu lagi adalah Atik, ibu dari Sri."

Henri membesarkan bola matanya, etika mendengar nama Atik, Henri pun melirik ke sekitar teras rumah itu, tetapi dia tidak melihat Atik. Henri pun mulai menyakini kalau perempuan itu, tidak berbohong masalah Wulan dan Colin. Itu berarti— dia masih berhutang 200 Gulden.

"Atik? Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, di kantorku."

"Benar, Meneer Henri. Terima kasih sudah membantu Atik, " ucap Indung Ali.

"Lalu? Kemana dia?" tanya Henri.

"Ni Atik masih masuk kerja di perkebunan," ungkap Indung Ali. "Katanya hari ini adalah hari terakhirnya bekerja."

"Oh, begitu." Henri tersenyum datar. Mungkin 200 Gulden hutangnya, akan dia titipkan saja kepada Ki Ali.

"Meneer Henri, ik wil alle Cadeau-dansers hier leren kennen (Meneer Henri, aku ingin kenal dengan semua penari-penari Cadeau di sini)," pinta Meneer Hans.

"Oh..." Henri mengangguk, dia sampai mengabaikan tamu besarnya. " Tuan Ali… Meneer Hans ingin kenal semua penari-penari di sini."

Indung Ali mengeluarkan kotak tembakaunya. Dia tidak keberatan.

"Nyi Popon, panggil saudari-saudarimu kemari."

"I… Iya, Ki."

"Mogen we ze uitnodigen voor een feestje bij jou thuis Henri? Er zijn mooie vrouwen, waarom geef je ze niet? (Apakah kita bisa mengundang mereka untuk pesta di rumahmu Henri? Ada perempuan-perempuan cantik, kenapa kamu tidak menyediakannya?)" Meneer Hans tampak protes.

Hikayat Sang PenariWhere stories live. Discover now