11# Cahaya Di Langit Mesir

8 1 0
                                    

“Aisyah.”

Suara berat dan menggema dari seorang pria berhasil menghentikan langkah seorang wanita yang tengah berlari dengan tubuh yang ditutupi dengan selimut, berusaha menutupi identitasnya. Tubuh wanita yang dipanggil “Aisyah” itu mematung. Mata yang menjadi satu-satunya anggota tubuh yang terlihat pun kini terpejam erat.

Pria itu berjalan mendekat, berdiri di depan Aisyah. Lorong yang temaram dengan sedikit pencahayaan dari lilin dan rembulan itu kini terasa sunyi mencekam. Bahkan udara yang seharusnya panas pun kini terasa dingin.

Aisyah masih belum berani membuka matanya. Tubuhnya berkeringat, bahkan rambutnya sudah terasa lepek.

“Berani kau tatap puluhan lelaki lain yang tak kau kenal namun tak berani menatapku, Aisyah?”
Perlahan, Aisyah membuka matanya. Iris berwarna abu-abu terang itu memantulkan cahaya rembulan dari balik jendela bangunan yang berbahan dasar batu tanah itu. Bulu mata yang lentik dan alis tebal yang hampir tersambung itu berhasil menghipnosis siapapun yang melihatnya. Selimut yang membungkus rapat tubuh semampai Aisyah pun mulai terjatuh, memperlihatkan rambut Aisyah yang berantakan. Gaun hitam indah tanpa lengan itu membuat kulit putih Aisyah semakin bersinar.

“Ameer …” suara Aisyah bergetar saat memanggil nama pria dihadapannya.

“Masih tak cukupkah kau mengotori tubuhmu bersama para pria diluar sana?! Dan sekarang, kau juga akan mengotori gaun yang kau sendiri sudah berjanji kalau itu untuk pernikahan kita?!”
“Ameer, aku tidak bermaksud—“

“Haruskah kita mengakhiri pertunangan kita, Aisyah?”

***

Di kota Kairo yang ramai, hidup sebuah keluarga kecil yang tinggal dirumah kayu sederhana. Pagi itu, suasana tampak sedikit gaduh. Sang ibu terlihat melemparkan dagangan berupa sayur-sayuran yang biasa dijual oleh sang kepala keluarga ke pasar.

“Inilah sebabnya aku ingin memiliki seorang putra! Mempunyai dua orang putri yang tak berguna hanya menambah beban keluarga kita!”

“Astaghfirullah! Istighfar, Umma! Jangan berbicara seperti itu didepan putri kita!”  sang kepala keluarga sudah terlihat marah kepada isterinya.

“Ameenah, Aisyah, kalian berdua pergilah ke kamar kalian.” Perintahnya kemudian.

Dua kakak beradik perempuan itu menurut. Ameena yang berumur 16 tahun, merangkul adiknya, Aisyah, yang berumur 14 tahun.

“Umma kenapa, Kak?” tanya Aisyah kecil.

Ameenah hanya tersenyum, merapihkan jilbab Aisyah yang sedikit berantakan. “Ngga apa-apa. Umma hanya sedang lelah.”

Kala itu, Aisyah masih belum mengerti apa yang terjadi sebenarnya pada Umma nya. Ia hanya tau bahwa hubungan kedua orangtuanya sangat tidak baik. Seringkali Aisyah mendengar pertengkaran kedua orangtuanya selalu membawa-bawa namanya.

****

”Abba! Mau ke pasar, ya?! Aisyah ikut!” Aisyah kecil berlari riang, mengejar Abba nya yang sudah keluar dari rumah dengan membawa sayur-sayuran. Abba berbalik badan, tersenyum menatap putrinya yang terlihat bahagia.

“Abba hendak berjualan, Aisyah. Kamu mau ikut?” Abba berjongkok mensejajarkan tingginya dengan putrinya.

Aisyah mengangguk semangat. Gadis 14 tahun itu membawa beberapa kantung sayur, berniat membantu Abba. “Ayo, Abba! Aisyah bantu bawakan,” kata Aisyah sambil tersenyum menampakan giginya yang tertata rapi.

Mereka mulai berjalan menuju pasar dengan disertai candaan-candaan ringan dari Abba yang membuat Aisyah tertawa.

Dipertengahan jalan, Aisyah yang sudah tertinggal lumayan jauh dari Abba nya tanpa disengaja Aisyah menabrak punggung seorang lelaki tinggi. Sayuran ditangannya berceceran mengenai sepatu kulit lelaki itu. Aisyah terkejut, ia langsung berjongkok sambil membersihkan sepatu kulit yang terlihat mahal itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rumah Buku NanaWhere stories live. Discover now