C H A P T E R V I

777 109 22
                                    

Kita sampai di Naaga sebelum Mba Luna sempet mengajukan pertanyaan lain. Beberapa orang udah masuk ke dalam Bar. Dan ada satu temen artis gue yang ngetuk kaca mobil Mba Luna.

“Kalla ayo masuk,” ajak Olive salah satu temen artis gue.

Gue baru mau buka pintu sebelum Mba Luna mencegah gue.

“Lla lo hutang banyak penjelasan ke gue,” kata Mba Luna super serius.

“Iya,” gue mengangguk.

Gue duduk di samping Olive, kita di sini mau makan di restonya lantai bawah habis itu di lanjut party kecil di lantai dua. Buat ngerayain kesuksesan film yang udah tembus satu juta penonton dalam empat hari.

“Lo beneran tuh putus sama Mavin,” tanya Olive sambil minum welcome drink yang disuguhkan.

Gue mamperin jari gue yang kosong, “I am totally single.”

Ehh enggak jadi gue kan punya Mas Khai.

Olive senyum ngakak, “Gue udah pernah liat Mavin check in sama cewek pas di Bandung.”

“Kok lo gak cerita,” Sewot gue.

“Gue juga bingung mau cerita sama lo apa gak. Ntar kalau lo gak percaya gue malah dikira tukang fitnah lagi.”

Ya bener sih yang diomongin Olive. Kalau gue di posisi dia terus liat lakinya temen gue selingkuh gue juga gak tahu harus cerita apa enggak.

“Untung deh lo udah kebebas dari laki brengsek itu,” lanjut Olive sambil tersenyum ke gue.

Jam sembilan hape gue yang tadi udah sempet tenang kambali berdering.

Mas Sugar Calling

Kali ini gue gak bisa mengabaikan panggilan Mas Khai.

Melipir ke tempat yang lebih sepi gue pencet tomboh hijau, “Hallo, Mas.”

“Kamu turun atau aku yang naik,” suara marah Mas Khai bikin bahu gue merinding.

“Mas, aku nanti bisa dianter Mba Luna.” Gue mencoba nego, gak enak sama temen-temen yang lain kalau habis makan gue cabut.

Telepon langsung ditutup saat itu juga.

Menghembuskan nafas kasar gue kembali ke meja.

“Siapa? Laki lo?” Tanya Mba Luna mungkin karena liat gelagat gue yang gak biasa.

Gue nangguk, “Pokoknya bentar lagi gue harus balik, Mba.”

“Ok.”

Tapi baru juga kita selesai ngomong, Mba Luna nyenggol gue, “Laki lo arah pintu masuk.”

Tentu aja Mba Luna tahu dan pasti ngenalin sosok Khailan Alendra Hananto siapa yang enggak. Dia pernah viral gagara beli club sepak bola Inggris.

Mata kita bertemu, tatapan Mas Khai menyala marah.

Sebentar

Kata gue tanpa suara dan diabaikan oleh Mas Khai

Lo tanya gue takut gak, jelas gue takut.

Mas Khailan pakek kemeja hitam dilapisi jaket kulit dengan warna yang sama dan celana coklat. Dia ganteng bangettt, kalau dia ngaku dia aktor juga orang-orang bakal percaya. 

Tanpa menanggapi ucapan gue Mas Khai duduk di Bar. Dia menatap sekitar sebelum kembali memperhatikan gue lagi.

Gue udah gak bisa konsen lagi. Saat yang lain ngajak ngomong gue cuma senyum dan menanggapi seadanya.

“Dia lo single Lla sekarang?” Jeffry lawan main gue bertanya dengan sedikit kencang karena meja kita bersebrangan.

Gue melirik Mas Khai yang tentu aja memperhatikan gue, “Iya.”

Gak mungkin kan gue jawab, ENGGAK.

“Kesempatan gak tuh, Jeff.” Sahut Nico, aktor lain yang terlibat di film ini juga.

Jeffry tersenyum lebar ke Nico lalu beralih ke gue, “Gak usah basa-basi Lla gue minta WA lo sini.”

Omongan Jeffry barusan bikin gue jadi bahan ceng-cengan sama anak-anak yang lain.

“Ciee kasih gak tuh.”

“Kasih lah.”

Beberapa orang menyahuti.

Sial gue malu banget, bego banget emang Jeffry. Tanpa menanggapi ucapan Jeffry, gue kembali melirik Mas Khai yang sekarang tatapannya udah kayak mau makan orang.

Mampus aja lo, Kall.

Senggolan Olive di legan gue membuat perhatian gue teralih, “Cowok baju item yang duduk di bar dari tadi ngeliatin ke sini?”

Olive ngomongin tentang Mas Khai, “Mungkin karena kita artis kali.”

“Duh Lla itu Khailan Hananto ngapain dia heran liat artis,” sahut Olive.

“Ya udah si biarin aja,” kata gue sok gak peduli yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang gue rasain saat ini.

Drttt drttt pesan masuk dari Mas Khai.

Aku tunggu di mobil sekarang- Mas Sugar

Mas Khai udah menghilang dari bar. Gue langsung WA Mba Luna buat ngajak balik sekarang.

“Gue harus cabut,” kata gue ke Olive.

“Yah mulai aja belom, Lla.” Cegah Olive.

“Gak asik lo Lla,” yang lahir menyahutin.

Yang gue tanggapi dengan senyum minta maaf. Paminta sama sutradara dan produser gue bikin alasan besok ada syuting pagi banget.

Di parkiran gue liat Bentley Mas Khai yang tadi pagi. Setelah liat ke kanan dan ke kiri gue rasa aman. Gue langsung masuk ke kursi penumpang, Mas Khai ada di balik kemudi.

“Mas besok lagi ---”

Ucapan gue terpotong karena Mas Khailan menarik tengkuk gue dan langsung nyium gue kasar. Mas Khai melumat bibir gue, lidahnya menjelajah masuk ke dalam. Gue yang belum siap dapat serang mendadak ini hanya terpaku sambil memegangin legan Mas Khai yang menginvasi setiap sudut bibir gue. Hingga nafas gue tercekat baru Mas Khai melepaskan ciumannya.

Mata hitam Mas Khai masih menyala dengan marah. Tanpa sepatah kata pun. Dia membersihkan bibirnya yang terkena lipstick gue dan meninggalkan area parkir.

Kita bukan ke hotel yang gue tempati tadi, tapi masuk ke salah satu apartemen baru di Daerah Sudirman.

Apa semudah dan secepat ini beli properti?

“Kamu jadi beli apartemen, Mas?” Gue membuka pembicaraan. Tapi gak ditanggepi coba sama Mas Khai, laki-laki yang duduk di samping gue ini diem aja.

Mas Khai kalau marah gak cuma serem tapi nyebelin juga.

Setelah markirin mobil Mas Khai keluar tapi gue enggak. Sampai pintu mobil dibuka gue masih bergeming.

“Kalla.”

Mas Kai mengulurkan tangannya yang mau gak mau gue sambut.

Kita naik ke lantai, sebentar, hah paling atas.

“Mas kamu beli penthouse,” pekik gue.

“Cuma ini yang tersisa,” Bokis banget.

“Ayo.” Mas Khai nyuruh gue keluar duluan.

Begitu lift terbuka bukan lorong yang nyambut kita, tapi foyernya.

“Kamu mau house tour dulu,” Mas Khai tanya yang gue jawab dengan anggukan semangat.

Mas Khai gak mau repot-repot nemenin gue keliling. Dia pergi ke pantry dan entah ngapain setelah itu.

Apartemen bergaya modern idustrial, gede banget, kamarnya ada tiga dan semua ada bathtubnya, meja makan ya muat delapan orang, ruang tamu, ruang tivi yang gak kira-kira luasnya dan tembok full kaca yang memperlihatkan pemandangan Jakarta dari atas.

Saat gue lagi di kamar mandi kamar utama Mas Khai masuk. Tangannya langsung melingkar di pinggang gue.

“Nanti kita harus bercinta di sini,” bisikan Mas Khai yang mengenai leher gue bikin gue auto merinding.

“Mas.”

“Kenapa? Mau mandi sekarang?” Mas Khai mulai nurunin tali baju gue.

“Sebentar,” gue berputar ngadep dia. “Ada beberapa hal yang harus kita omongin dulu.”

Mas Khai setuju.

“Kamu udah makan malam, Mas?” Gue tanya karena Mas Khai keliatan lesu banget.

“Belom.”

“Mau makan apa?” Tanya gue gak tega banget liat cowok gue lesu gitu.

“Emang kamu bisa masak?” Mas Khai tanya dengan sanksi.

“Bisa kalau mie instant sama telor,” gini-gini gue sama Geeta pernah jadi anak kost di California.

“Ya udah mie goreng aja dua.”

Bener aja ada mie instant dong di sini, lemari esnya juga isinya lengkap dan tersusun rapi dari minuman, snack, buah, sayur semua ada.

“Mas kamu udah lama ya beli apart ini?” Tanya gue sambil ngambil telor sama sosis.

“Empat bulan yang lalu,” Mas Khai lagi serius liat hapenya.

“Hmm jadi ini bukan beliin buat aku,” canda gue.

“Nanti aku bilangin ke orang legal biar jadi atas nama kamu,” ucap Mas Khai.

“Mas aku bercanda,” kata gue langsung. Mas Khai hidupnya kayaknya serius banget. Mana ada orang waras yang minta penthouse sih.

“Aku serius.”

“Aku gak mau,” gue gak mau merasa berhutang budi atau apalah sama Khai.

“Kamu gak bisa nurut aja apa yang aku bilang?” Mas Khai memusatkan semua atensinya ke gue.

“Enggak,” gue menggeleng dengan yakin.

Mas Khai menyipitkan matanya dan senyum kecil di sudut bibir kanannya.

Gue gak yakin apa yang ada di dipikirin Mas Khai sekarang.

Melajutkan acara bikin  tapi kali ini dengan perhatian penuh Mas Khai yang malah bikin gue salah tingkah dan gugup sendiri.

“Mas, jangan ngeliatin gitu ihh.”

“Kenapa?” Mas Khai senyum jahil.

“Ya aku kan jadi gak konsen,” cemberut gue. Tapi Mas Khai sama sekali gak gubris omongan gue.

“Oh ya kamu berarti gak nginep di tempat Geeta, Mas?”

“Buat apa?” Tanya Mas Khai.

“Katanya apartemen kamu lagi direnov kemaren?” Cibir gue.

“Ini udah jadi,” jawab Mas Khai.

Gue liat ke sekitar gak ada tanda-tanda habis direnovasi kayaknya.

Kayaknya Mas Khai emang bener-bener laper dua mie instant, dua telor, dan tiga sosis habis dia makan sendiri.

“Laper apa doyan Mas?” Gue sodorin air putih.

“Kamu mau?” Mas mau nyuapi gue tapi gue tolak.

“Enggak. Besok aku ada pemotretan.”

“Cita-cita kamu emang jadi artis?” Mas Khai tanya tiba-tiba.

“Nope, I don’t.”

“So?”

“Jadi artis adalah cara tercepat buat dapet duit,” kata gue jujur.

Kalau gue kerja di perusahaan butuh berapa tahun sampai gue bisa dapat salary ratusan juga. Lagian gue punya bakat di entertain, gue cuma ngambil opportunity yang ada karena gue butuh banyak uang.

“Now, you don't need to work anymore.” Mas Khai menarik gue ke pelukannya. Dahi gue mengernyitkan dahi denger omongannya. “Aku akan beriin kamu uang sebanyak yang kamu.”

Gue tersenyum kecut setelah Mas Khailan menuntaskan ucapannya.

“Thank you, Mas.” Gue membelai pipi Mas Khai sebelum mendaratkan kecupan di pipinya. “Tapi aku akan tetep kerja seperti biasanya.”

Dahi Mas Khai mengkerut bingung, seakan ucapan gue itu kayak matahari hari ini terbit dari barat.

“Aku bisa kasih tiga kali lipat dari penghasilan kamu jadi artis,” ucap Mas Khai dengan sedikit gertakan.

Gue yakin Mas Khai ngasih seberapa pun yang gue minta. Tapi gue realistis aja. Gak akan selamanya kan gue jadi simpenan Mas Khai. Kalau sewaktu-waktu hubungan ini berakhir gue bisa apa ntar?

“Aku suka kerjaan aku, dan gak ada niat aku buat ninggalin itu.” Ucap gue.

Mas Khai menatap gue lama dalam diam. Kali ini dia gak maksa gue buat berhenti dari kerjaan gue atau semacamnya.

“Mau mandi?” Tanya gue.

“Mandi bareng?” Tanya Mas Khai.

Yang gue jawab dengan anggukan dan kedipan mata genit. Melepaskan pelukan Mas Khai, gue langsung berjalan ke arah kamar mandi di master bedroom yang viewnya langsung langit-langit kota Jakarta.

Mas Khai ngikutin gue dengan tatapan panas sambil melepas satu-persatu bajunya.

Mandi sama Mas Khai tentu aja gak cuma mandi biasa, kita bahkan belom mandi.

“Aku masukin sekarang,” Gumam Mas Khai yang berdiri persis di depan gue dengan memegang kejantanannya yang udah mengeras kaku.

“Iya,” gue yang duduk di atas wastafel membuka paha gue sedikit lebih lebar. Memeluk tubuh atletis Mas Khai, gue merasakan kerjantannya mulai terdorong masuk dan memenuhi diri gue.

“Aagghhh,” gue mengerang nikmat saat Mas Khai mulai mengerakkan dirinya keluar masuk diri di dalam diri gue.

Setiap hentakan membawa kenikmatan yang selalu membuat gue melayang.

“Mass aagghhh,” melingkarkan kaki gue di pinggang Mas Khai, gue juga memeluknya erat. Hentakan Mas Khai semakin cepat menghujam gue. Membuat kupu-kupu di perut gue mulai mengelitik.

Gue mengeliat, merancau menyebut nama Mas Khai di sela desahan gue. Sebelum akhirnya buku-buku jari gue kaku dan gue melepaskan desakan gairah itu dengan denyutan hebat di kewanitaan gue, “Massss.”

Mas Khai masih bergerak membuat denyutan di pussy gue gak berhenti. Kedua telapak besar Mas Khai meremas pantat gue, dan Mas Khai menghentakan dirinya dalam sambil menyatukan tubuh kita.

“Aku keluar di dalam,” gumam Mas Khai suaranya menjadi dalam dan diliputi gairah.

“Masss,” gue mengeluh, memeluk tubuh berpelu Mas Khai semakin erat yang mengejang di dalam diri gue.



× × ×



NB: ternyata banyak nc nya 🤣🤣

SUDDEN BOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang