Bab. 16

172 54 4
                                    

¨Axel, piring bekas sarapannya tolong dibawa ke dapur.¨

Tangan mungilnya yang hendak membuka boks lego terhenti di udara, pandangannya berganti ke atas meja di mana piring dan gelas bermotif pokemon masih bertengger dengan manis, lalu beralih ke arahku.

¨Axel mau bikin lego, Ma.¨

Aku menghentikan kegiatanku memasukkan tumpukan baju setrikaan ke dalam keranjang. ¨Setelah piring dan gelas berada di dapur.¨

Sudah hampir jam sepuluh pagi, pekerjaan upik abu yang baru sukses aku lakukan adalah menyetrika, yang diselingi dengan membuatkan sarapan untuk Axel, membersihkan sepetak apartemen yang kami tempati sebelumnya. Axel masih mondar-mandir dengan kaos dan celana dalam, dan aku bahkan belum sempat menggosok gigi. Aku bisa mengkonfirmasi dengan tanda seru bahwa menjadi seorang Ibu adalah pekerjaan yang tidak menyediakan istirahat apalagi libur.

Axel mengambil piring dari meja makan dengan ukuran liliput, mendorong panjatan pokemonnya lalu mencuci piring dan gelasnya sendiri.

¨Habis cuci piring lalu mandi ya, Xel,¨ aku berteriak dari ruangan tidur, membawa keranjang cucian penuh berisi baju-baju bersih.

¨Memang kita mau ke mana, Ma?¨

Aku menghentikan aktivitasku, minggu ini teramat sangat gila, aku bahkan tidak sempat membuat rencana aktivitas akhir minggu dengan Axel. Dan tadi malam, pertemuan kembali dengan Bima tidak menambah otakku untuk bekerja lebih lancar, karena sepanjang malam bagian tubuh yang terletak di kepalaku itu sibuk menghadirkan sosok laki-laki itu dengan penuh suka cita. ¨Nanti Mama cari ide.¨ Sejujurnya aku buntu, tidak mempunyai ide apapun, dan kalau boleh aku akan memilih diam dirumah sambil sedikit menyelonjorkan kaki. Tetapi aku tahu itu adalah permintaan yang sangat berlebihan apabila kamu adalah seorang orang tua tunggal.

Dari dalam kamar aku bisa mendengar raungan dering suara ponsel, aku meninggalkan pekerjaanku lalu menuju gawai yang sebelumnya tertidur di atas meja kerja. Nama Dewi menari-nari di atas layarnya.

¨Yo, Wi,¨ kataku setelah menekan tombol speaker, membawa ponsel itu ke dalam kamar untuk melanjutkan pekerjaan upik abuku yang tertunda.

¨Kita di bawah!¨ suara Dewi terdengar riang membuat langkahku terhenti di tengah jalan.

¨Di bawah mana?¨

¨Ya di lobi apartemenmu, masak iya di kolong jembatan.¨

Aku memandang ponsel di tanganku, seolah-olah benda itu adalah jelmaan Dewi sahabatku. ¨Memang, kita ada janjian hari ini?¨

Terdengar bunyi kemeresek lalu suara Jingga muncul menggantikan Dewi. ¨Run, cepetan lo turun supaya kita bisa naik. Keburu dingin nih kopinya.¨

Aku memandang diriku sendiri, ke daster batik warna hijau yang aku kenakan, tanpa bra di dalamnya. Aku tidak yakin penampilanku pantas untuk berjalan keluar.

Tanganku meraih salah satu celana Axel dari keranjang cucian. ¨Axel, ada Tante Jingga dan Dewi di bawah. Bisa turun untuk bawa mereka naik.¨ Ceria langsung muncul di wajahnya, Dewi dan Jingga selalu memanjakan dia setiap kali mereka datang. Axel melompat turun dari bangku panjat dan menyambar akses lift dari atas meja.

¨Eee, pake celana dulu. Masak kamu turun pake celana dalam.¨

Tidak lama kemudian Axel muncul kembali, kali ini dengan Jingga dan Dewi di tangan kanan dan kirinya. Dewi melambaikan tas kertas berlogo cafe langganannya dan tangan Jingga direpotkan dengan tiga paper cup.

¨Kita bukannya nggak ada janjian hari ini, atau gue yang sudah terlalu pikun?¨ Aku menerima uluran kopi dari tangan Jingga, membiarkan aroma nikmat kopi memenuhi indra penciumanku.

¨Nggak ada janjian. Kita sengaja dateng, first of all untuk memberikan a decent cup of coffee ke elo.¨

Aku melirik cangkir kopi tubruk yang aku seduh tadi pagi, kalau tidak salah aku berhasil meminumnya setengah, dan setengahnya lagi tentunya sudah hampir layak untuk disebut menjadi es kopi.

¨Yang kedua, kita pengen tahu kelanjutan cerita semalam.¨

¨Memang, siapa yang cerita semalam, Ma?¨ Axel menoleh ke arahku, tetapi perhatiannya langsung berganti ketika Dewi mengeluarkan muffin yang tampak gemuk dari dalam tas. Dia langsung lupa dengan apa yang dia tanyakan memilih bergulat dengan muffin bertabur butiran coklat.

Aku memilih kabur dari mereka berdua, usahaku untuk mengubur nama seorang Bima tidak akan mudah dengan kedua sahabatku meminta untuk mengulik nama itu lagi.

Dewi dan Jingga memburuku ke kamar tidur, aku berpura-pura tidak menghiraukan mereka, meneruskan meletakkan pakaian bersih ke dalam lemari.

¨Halo,¨ tangan Dewi melambai-lambai.

¨Nggak ada yang perlu di certain. Kami cuman kebetulan ketemu. Tidak lebih.¨

¨Elo, nyium dia, maksudnya itu tidak lebih?¨ Jingga memburu.

¨It was a mistake,¨ jawabku.

¨Kalau mistake-nya berupa cowok indo, dengan kegantengan yang melebihi Nicholas Saputra, aku mau deh sering-sering bikin mistake

Wajah Bima melintas di kepalaku, menimbulkan gema hangat. Aku mengumpat dalam hati, kenapa wajah itu selalu menimbulkan reaksi seperti ini ke dalam diriku. ¨Dia sudah punya pacar, kalian lihat sendiri, influencer dengan follower dua juta itu.¨

Aku bisa menangkap Dewi dan Jingga yang saling berpandangan dari sudut mataku. ¨But it seems like he is so into you.¨

Tanganku berhenti sejenak, Bima memutuskan pacar yang hampir dilamarnya karena aku. Aku adalah si wanita ketika penyebab rusaknya hubungan mereka. Aku yang ditinggalkan mantan suamiku untuk perempuan lain, dan sekarang akulah perempuan lain itu. Ini bukan karma, ini adalah bencana. Bencana yang akan menelanku kalau aku tidak bijaksana dalam bertindak.

¨Nggak penting dia into me atau enggak.¨ Aku meletakkan tumpukan baju terakhir ke dalam lemari, ketika membalikkan badan tatap mata Dewi menghadangku. ¨What?¨

¨Nek, kalau kamu masih belum sadar dari pingsan, cowok itu ganteng kayak bintang iklan pepsodent.¨

Aku tertawa. ¨Ya biarin aja ganteng, pacarnya juga cantik nggak kalah sama Raisa.¨

¨Lo, beneran lagi konslet ya, Run?¨

Aku menarik napas, menghempaskan pantat di tepi tempat tidur. ¨In case kalian lupa. Gue pernah menikah, baru dua tahun lalu bercerai. Urusan cowok, tidak ada dalam radar gue let say ... selamanya!¨

¨Exactly, Run. Udah dua tahun. Sudah waktunya lo move on. Haris sudah gonta ganti cewek, nah elo masih sendirian terus.¨

¨Gue nggak berkompetisi dengan Haris.¨

¨Dia kayaknya beneran suka sama kamu deh, Run.¨

Dering telepon menyelamatkanku untuk tidak merespon perkataan Dewi, pandanganku terjatuh ke layar ponsel menemukan deretan nomor tidak dikenal. Mungkin urusan filem, pikirku dalam hati, walaupun aku tidak lagi terlibat dengan film di saat-saat terakhir seperti ini. ¨Halo.¨

¨Aruna.¨

Tubuhku membeku, jantungku yang sebelumnya baik-baik saja kini berlompatan seperti lumba-lumba bermain sirkus. Aku belum pernah mendengar suaranya dari panggilan telepon, tetapi aku bisa mengenali secara persis siapa si pemilik suara ini. Bagaimana dia bisa mendapatkan nomor teleponku?

¨Bima?¨

Si Pembeli CincinWhere stories live. Discover now