15. Mencari Solusi

29 2 1
                                    

Tama terbangun lagi saat mimpinya kembali tentang si pegantin perempuan. Ia sekarang sedang pergi berempat, dengan sopir yang bergantian menyetir menuju kampung halaman Sutarman. Ini sudah tiga jam perjalan, mereka telah memasuki jalan pedesaan yang tidak mulus lagi.

Dengan helaan napas panjang, Tama melirik Lili yang tampaknya tidak tidur sama sekali. Pandangan Lili terus mengarah pada jalanan yang tampak sejuk.

Seketika Tama meraba perut Lili yang belum terlihat besar. Menjadikan sang empu tersadar dari lamunannya.

"Maafin, Om, ya. Kamu lagi hamil muda, tidak seharusnya berpergian jauh seperti ini," ucap Tama yang menyalahlan diri sendiri.

Lili hanya mengeleng, tersenyum kecil sambil menyandarkan kepalanya di bahu Tama. "Ini demi kebaikan Om, kalau setelah ini kita bisa menemukan solusi, maka besok hidup Om sama anak kita tidak perlu lagi diteror kutukan." Lili dengan bijak menjawab.

Tama yang bangga mendengarkannya hanya tersenyum lembut. Membiarkan Lili menggunakan bahunya sepuas yang dia mau.

Tidak lama dari itu Dimas memberhentikan mobilnya di rumah sederhana yang hanya menggunakan kayu serta bambu saja. Pagarnya pun masih sederhana, hanya sebuah bambu yang ditancapkan mengelilingi rumah.

Para warga desa yang melihat penampilan mereka langsung berbisik dengan temannya satu sama lain.

Tama membantu Lili turun, jalanan tidak rata, dan Lili juga pasti tidak pernah ke tempat seperti ini. Tama saja beberapa kali menyeimbangkan tubuhnya.

Mereka langsung disambut oleh Sutarman, karena Bima memang sudah memberika tahukan soal kedatangan mereka.

***
Tama, Lili, Biyan, serta Clarina diajak duduk melingkar di atas tikar. Beruntung ada Tikar, karena rumah Sutarman masih beralaskan tanah.

Biyan berbincang sebentar sebelum pada akhirnya bertanya lebih detail.

"Kami ingin tahu cerita kutukan yang keluarga kami bawa selama ini sedikit lebih detail." Biyan memandang Tama yang juga mengangguk penasaran.

Sutarman yang umurnya sudah cukup tua hanya menghela napas panjang. Kalau dihitung Sutarman ini seumuran kakek Tama kalau masih hidup. Sayangnya kakek Tama menjadi korban kutukan ini juga untuk melindungi ayah Tama.

"Sebenarnya kutukan ini telah berjalan selama empat generasi, itu artinya calon anak Tama yang kelima." Sutarman mulai menghitung setiap generasi. Karena sebelumnya, ayah Sutarman lan yang bekerja kepada keluarga Tama.

"Dulu kutukan ini berawal dari perjodohan Arham dengan Dwi, mereka berdua sudah dipasangkan sejak kecil. Kisah percintaan mereka dikenal sebagai pembuka jalan antar desa. Mereka berdua sama-sama orang kaya di desa masing-masing, hingga pada saat perjodohan, desa juga mendampat dampak baik. Barang-barang hasil kedua desa sering ditukar sejalan dengan dua orang berkuasa yang telah bersatu." Pak Sutarman mulai menceritakan detail tentang kisah, yang ayahnya dulu ceritakan.

Keempat orang yang mendengarkan juga mulai mencari benang merah, akar dari masalah selanjutnya datang.

"Dwi sangat mencintai Arham. Dwi sampai rela berjalan dari rumahnya yang jauh menuju Arman. Sering menemaninya untuk bekerja, hingga pengumuman acara pernikahan mereka disahkan dua bulan lagi."

Pak Sutarman menjeda sebentar, karena ini adalah kisah yang paling sedih. "Dwi menjahit baju pengatinnya sendiri. Tidak ada yang membantu ataupun menyetuh gaun itu, terutama baju yang dijahitkan untuk Arman. Semuanya begitu detail, terkadang Dwi tidak tidur semalaman untuk menunjukkan hasil jahitannya kepada Arman."

"Namun, dalam satu masa, seminggu sebelum pernikahan itu berlangsung. Gadis cantik yang bernama Nita datang membawa kehamilannya ke hadapan Dwi. Dialah gadis yang berhasil mengalahkan cintannya. Seorang putri saudagar kaya dari desa Dwi, gadis yang dikenal dengan julukan putri purnama. Selain karena paras dan sinarnya seterang purnama, ia juga lahir di bulan purnama, sangat langka dikalangan masyarakat mendapat kesempatan sesempurna itu untuk bersanding dengan bulan yang terang."

"Apa itu anak Arman?" lirih Lili, yang mulai mengerti sakitnya menjadi Dwi.

Tapi Sutarman juga langsung mengangguk, memberikan jawaban pasti kepada Lili.

"Sejak waktu itu, Dwi hanya kalah pada gadis yang lahir di bulan purnama. Di depan matanya sendiri, dia menyaksikan Arman menikah dengan Nita. Seorang yang jauh lebih cantik darinya."

Sutraman menjeda lagi, untuk bisa memberikan waktu orang-orang di hadapannya berpikir sebentar.

"Dwi bunuh diri di malam harinya dengan menggunakan gaun pengantin. Dia menyimpan kutukan dengan gaun pengantinnya. pada hari itu orang tuanya yang terluka ikut menyusul. Hanya kakaknya yang selamat, konon dia mengambil darah ketiganya untuk dilumuri pada gaun pegantin itu dan memberikan isi kutukannya kepada selembar kertas, lalu langsung dilempar ke rumah Arman."

Ini adalah luka yang besar, jadi Sutarman dan beberapa orang lainnya cukup paham akan tindakan pemuda itu.

"Itu artinya jika gaunnya berhasil dilenyapkan, maka kutukannya akan hilang, karena simbolnya ...." Biyan dengan nada penuh semangat menjelaskan.

Karena gaun adalah simbol kutukan, selama guan pegantin itu ada, maka kutukannya masih berjalan. Bagaimana kalau gaunnya musnah, kutukannya juga akan lenyap bukan?

Om TamaWhere stories live. Discover now