Connected

182 33 2
                                    

PANSA duduk di kursi nomor 5. Dia masih mengantuk. Di telinganya sudah terpasang headphone. Mulutnya menguap setiap lima menit sekali. Sebelum kereta ditutup, sepasang remaja memakai seragam sekolah yang sama dengannya duduk di kursi di depannya. Tak butuh waktu lama, kereta dari Skyline akan mulai bergerak. Pintu kereta sudah tertutup dan Pansa melirik ke arah buku yang dipegangnya.

Ada perasaan enggan untuk membacanya. Pelajaran matematika bukan pelajaran yang sulit untuknya. Tapi meski ia selalu menemukan hal-hal menarik dalam matematika, dia tetap merasa bosan seperti orang pada umumnya. Lagu Bruno Major berhasil menyumbat telinganya dari mendengar hal lain. Tapi jantungnya sejak tadi tidak karuan. Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang terkoneksi dengan jiwamu tanpa alasan dalam waktu-waktu tertentu? Pansa merasakannya. Rasanya ingin mual. Tapi juga tenang.

Gadis di kursi depan tengah menyender di dekat jendela tersenyum manis melihat ke arah ponsel teman laki-laki di sebelahnya. Bahkan Pansa ragu apakah itu adalah temannya. Mereka berpegangan tangan hampir tiga puluh menit perjalanan. Pansa, dengan tanpa alasan tersenyum tipis melihat senyum laki-laki itu. Namun tersenyum lebih lebar melihat senyum Gadis di sebelahnya. Pansa kemudian menyandarkan bahu di jendela.

Jarak kota Skyline tempatnya tinggal hanya menempuh 1 jam ke sekolahnya. Pansa merengek ingin mengekos saja di dekat sekolah, tapi ibunya bersikeras melarangnya. Pansa melihat orang-orang pinggiran dekat rel kereta api. Pakaian berwarna-warni di jemuran seperti menari. Angka-angka mulai berserakan di sana. Tangan Pansa bergerak hendak mengeluarkan buku sketsanya. Tapi ia merasa sangat lelah. Dia memejamkan mata.

Sesuatu menyentuh kepalanya. Tangan Gadis di depan kursinya terayun ke arahnya.

"Maafkan aku," gadis di seberang menyatukan kedua tangannya dengan senyum memelas. Pansa terdiam melihat warna mata gadis itu. Coklat tua dengan bulu mata panjang. Hatinya terbang jauh entah kemana. Ia mulai merasa panas di pipinya.

"It's okay," jawabnya. Pansa memalingkan muka. Takut jika seluruh tubuhnya ikut panas.

Kedua orang di depannya tampak bertengkar. Tapi dia tidak begitu peduli. Gemuruh di dadanya lebih penting untuk dikendalikan. Pansa menutup wajahnya dengan buku yang dia pegang. Senyum mengembang. Semakin mengembang. Dadanya kuat bergemuruh. Siapa dia? Apakah aku perlu mengajaknya berkenalan? Pansa terkejut dengan pikirannya. Ini bukan kali pertama hatinya berdebar di depan seorang perempuan. Ia pernah merasakan sekali sejak sekolah dasar dan sekali lagi di bangku sekolah menengah pertama.

Pansa mengangkat wajahnya dan perlahan menggerakkan tangannya ke bahu gadis itu untuk mengajaknya berkenalan. Tapi, gadis itu seperti menangis.

"Aku sudah bilang jangan mengambil makan siangku. Kamu ngerti gak sih? Itu dibikin khusus buat aku oleh mama. Kamu tega banget tau. Udah tau mama jarang ada waktu buat aku. Ngadep sana! Aku males liat muka kamu."
Gadis itu menatap kotak makan siangnya yang tinggal separuh.

Pansa ikut menatapnya.
Bolehkah aku menghapus airmata mu?

"Honey, maafin aku ya... Aku gak tau kalau itu bikinan mama kamu. Aku kira kamu bikin sendiri kayak biasa."

"Kamu kan bisa nanya!"

Gadis itu diam dan menatap ke arah jendela. Sibuk dengan pikirannya.

Pansa menarik kembali tangannya. Hatinya terasa berat secepat saat mata gadis itu membuat hatinya seringan tadi.

Aku melupakan ini dunia nyata.

***

Kereta berhenti di stasiun ShoreLines. Kota tempatnya bersekolah. Pansa memakai tasnya kembali dan membetulkan beanie di kepalanya. Headphonenya dilingkarkan ke lehernya. Dia mengusap-usap roknya agar terasa nyaman dan rapi. Kemudian ia beranjak. Ia memegang kursi di depannya untuk menumpu badannya ketika hendak keluar. Gadis yang ada di depan bangkunya juga melakukan hal yang sama.

"Si-silakan duluan." Pansa tidak kuasa menahan suatu desakan di dadanya.

"Permisi, nak! Bolehkan bibi duluan?" Seorang wanita paruh baya menggendong seorang bayi berjalan ke arah mereka.

Gadis itu berjalan mundur untuk memberi ruang. Pansa refleks memeluk tubuh gadis itu dan tangan kirinya memegang tiang besi di samping kursi untuk menahan mereka berdua. Gadis itu memeluk pinggang Pansa, juga takut terjatuh. Gadis itu selehernya. Bisa Pansa rasakan embusan napas gadis itu. Tidak! Tolong! Beri aku air. Sepertinya aku akan hangus terbakar. Pansa melepaskan tubuh gadis itu. Lalu tersenyum canggung.

"Maaf," ucapnya. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang. Harusnya dia minta izin terlebih dahulu. Ini kali pertama dia melakukan sesuatu tanpa berpikir. Aku pasti sudah kacau.

"Eh, nggak! Aku harus bilang terimakasih. Makasih ya. Yuk turun. Boleh aku pegangan sampai kita turun?"

Mata Pansa membulat terkejut. Namun beberapa detik kemudian dia menarik napas dalam; menenangkan hatinya. Gadis itu memegang pergelangan tangannya. Tangannya lembut sekali. Bolehkah aku menggenggamnya seumur hidupku?

Mereka akhirnya turun dari kereta. Laki-laki yang bersama gadis itu menarik tangan gadis itu pelan dan membawanya melangkah.

Pansa menoleh ke arah mereka berdua. Diam mematung. Mencerna apa saja yang sudah terjadi. Gadis itu tersenyum padanya. Bolehkah senyum itu untukku saja? Aku tidak ingin seisi bumi terbakar oleh senyummu. Biarkan aku saja. Pansa membalas senyum itu.

Pukul 07.05 wib. Pansa berjalan keluar dari stasiun. Ia memilih berjalan kaki menuju sekolahnya. Sekolahnya tidak terlalu jauh dari stasiun. Masih ada waktu untuk menghitung kembali kecepatan detak jantungnya saat bersama gadis itu dan saat berpisah dengan gadis itu.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, perasaannya penuh dengan rasa hangat.

TRAIN GAZINGWhere stories live. Discover now