‘Tidak akan ada orang yang mencintaimu lebih dari aku, karena selamanya aku hanya akan ada di dekatmu. Aku akan memberikan semua untukmu, bahkan mengorbankan nyawaku hanya demi kebahagiaanmu.’
Tidur yang tak tenang, keringat dingin bercucuran, dan rasa sakit yang tak tertahankan pada bagian hati.
Yah, itulah yang terjadi pada saat pria tersebut tengah menutup mata. Mimpi buruk menghampiri, membuatnya terjebak dalam penyesalan tanpa ujung.
Dia sudah memanggil dengan suara nyaring, berlari dengan cepat, mencoba terus menahan kepergian orang tersebut dalam bunga tidurnya. Tapi, perjuangan itu sia-sia.
‘Aku tak masalah jika kau terus memberikan rasa sakit, karena itu harga yang harus aku bayar saat mencintaimu. Tapi, apa aku salah jika merasa lelah? Aku hanya ingin dihargai, walau itu sedikit saja tidak masalah. Apa begitu menyenangkan mendapat cinta yang tulus dan membalas dengan rasa sakit?’
Kata demi kata yang terucap bagaikan pedang, membelah habis hatinya sampai pada potongan yang paling kecil. Tangis wanita di dalam mimpinya itu menjadi racun, menyesakkan sampai pada titik ia ingin mati.
Tapi, kenapa dia merasa menyesalinya? Apa itu sebuah kenyataan pahit yang harus ditanggung?
Pada saat wanita itu bisa ia jangkau, ia menolaknya, menyakiti. Kenapa ia melakukan hal sejahat itu pada orang yang tulus?
‘Apa aku salah jika mencintaimu begitu dalam? Apa semua pengorbanan yang aku lakukan tidak bisa menyentuh sedikit pun bagian dari hatimu?’
Tidak ... sejujurnya ia merasa begitu hampa saat wanita itu akan pergi. Wanita itu bagai setitik cahaya yang menerangi, wanita itu bagai embun pagi yang sejuk, dan wanita itu bagaikan cahaya bulan yang membawa teduh pada jiwanya yang terbakar neraka dunia.
‘Lepaskan aku, biarkan aku pergi sejauh mungkin. Jangan mencariku, jangan ganggu kehidupanku lagi. Aku membencimu, tapi sebanyak itu pula aku mencintaimu.’
Setelah kata itu selesai terucap, gelap yang sangat pekat datang. Pria itu merasa buta, ia berteriak dan menangis. Menyerukan kata maaf, dan memanggil satu nama.
“LUISA!”
Mata dengan iris abu-abu itu terbuka lebar, napasnya begitu memburu, dan keringat membasahi tubuhnya. Ia merasakan dingin kala angin berembus agak kencang, kemudian memejamkan matanya sejenak.
Mimpi buruk, bahkan lebih buruk daripada kematian! Ia terbangun karena suaranya sendiri, berteriak memanggil nama wanita itu.
Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa merasa begitu hampa?
Hah, ada banyak sekali pertanyaan yang datang pada dirinya. Tapi, tidak ada satu pun dari pertanyaan itu yang bisa ia jawab.
Sejak Luisa Montpensier membatalkan pernikahan, Putra Mahkota yang sangat percaya diri mendadak menjadi layu. Penghiburan dari kekasihnya sama sekali tidak berefek apa pun, lalu usahanya dalam mencari Luisa juga tidak mengalami kemajuan.
“Kenapa dia meninggalkanku? Dia mencintaiku, lalu, kenapa dia pergi?”
Pria itu duduk, lalu menatap perapian. Napasnya masih belum teratur, perasaannya berantakan. Apa yang dia harapkan sekarang?
“Luisa, apa membuangku begitu menyenangkan untukmu?”
Entah pria itu bodoh, atau dia idiot yang hebat. Mungkin sang calon pemimpin menyadari kesalahannya, tapi malu untuk mengakui.
Hanya saja ... bagaimana ada orang yang begitu tidak tahu malu seperti pria egois itu?
Pada saat sedang termenung, suara ketukan pintu terdengar. Dengan cepat orang di luar sana diperintahkan untuk masuk, dan setelah tiba, orang itu langsung bertanya dengan sopan.
“Yang Mulia, apa Anda bermimpi buruk lagi malam ini?”
Terlihat jelas wajah khawatir orang tersebut, dan ia yakin tak ada yang bisa dilakukan hanya karena bermimpi buruk.
Mimpi dan rasa sakit yang ada bagai obat-obatan terlarang, bukan candu yang nyaman, tapi candu menyakitkan yang tak pernah dia inginkan.
Sekarang, apa dia menyesal? Lalu, jika memang dia menyesal akan perbuatannya, apakah itu akan mengubah keadaan?
“Pukul berapa sekarang?”
“Pukul tiga dini hari, Yang Mulia.”
“Apa kalian sudah menemukan informasi?”
“Maafkan kami, Yang Mulia. Sampai saat ini, tidak ada informasi yang kami dapatkan.”
Rasanya mustahil! Sudah berapa lama ia mencari Luisa dan tidak mendapat apa pun juga? Di mana wanita itu, apa yang dilakukan, bagaimana bisa tidak ada satu pun jejak yang tertinggal?
Ahhh ... pelarian itu sangat sempurna, wanita tersebut benar-benar sudah membencinya.
“Keluarlah, aku akan kembali tidur.”
“Baik, Yang Mulia.”
Setelah pelayan itu keluar, Putra Mahkota yang malang itu tertunduk lesu. Seperti tak punya gairah hidup, begitu hambar. Apa yang dia inginkan saat ini? Apakah Gremory? Atau ... Luisa Montpensier yang telah membuangnya?
Karena tak tahan akan keadaan, ia segera bangkit dari tempat tidur. Berjalan ke arah jendela kamar, lalu menatap taman yang ada di depan Istana Putra Mahkota.
Harusnya sekarang ia dan Luisa sudah menjadi pasangan suami istri, tinggal dengan tenang berdua, dan menghabiskan waktu untuk bertengkar atau pun perang dingin.
Tatapan mata amber Luisa yang penuh cinta kembali melintas, bayangan kejam saat ia mengatakan hal buruk berputar seperti angin. Datang dan pergi, tak tahu rimba mana yang di tuju.
Pada saat sedang merenung, perhatiannya terhenti pada rumah kaca. Tempat yang sering Luisa kunjungi, dan tempat pertama wanita itu mengatakan cinta.
Bagaimana ucapannya saat itu? Sial ... ia bahkan lupa karena tidak memerhatikan dengan baik.
“Sebenarnya, di mana dirimu?” Suara Putra Mahkota sedikit bergetar.
“Apa benar tidak ada lagi cinta?” Lagi, suara pria itu memecah kesunyian kamar yang bercahaya remang.
Apa dia harus menyerah pada keadaan?
Sejenak, walau entah berapa kali pun, Putra Mahkota merasa tak akan bisa menyerah begitu saja. Ia ingin Luisa memujanya seperti biasa, ia ingin suara lembut wanita itu selalu memanggil namanya.
‘Aku mencintaimu, Diones Von D’Glazia.’
Ah ... suara itu terdengar lagi, membuatnya merasa terpuruk. Kenapa? Apa dia patah hati sekarang?
Walau sudah berusaha menghapus sesuatu yang ganjil, namun tetap saja ia tak mampu. Apa kemampuannya hanya sebatas ini saja? Itu sungguh sulit dipercaya.
Putra Mahkota yang tak tahan akan sakit kehilangan mengepalkan tinjunya, emosi yang meluap membuat sasaran dari tinju itu mengenai kaca jendela.
“Hah ... hah ... sial!”
Napasnya terengah-engah, tangannya menguarkan darah, dan kaca yang pecah berhamburan di atas lantai.
‘Mari batalkan pernikahan ini, Yang Mulia.’
Wajah serius Luisa yang mengatakan hal itu dengan enteng terbayang, membuatnya sangat yakin jika Luisa mengambil keputusan secara matang.
Tapi, kenapa tiba-tiba? Itulah yang tidak ia mengerti. Apakah wanita itu sekedar menarik perhatiannya saja? Tentu tidak! Luisa mengatakannya dengan sangat serius, sampai ia kehilangan arah saat itu.
Lagi, perasaan campur aduk meningkatkan emosinya. Pada saat itu pula Putra Mahkota tak sanggup bertahan pada kewarasan, ia segera memecahkan banyak barang di dalam kamar, mengamuk seperti orang gila.
Tidak ... Luisa tak bisa membuangnya seperti ini! Wanita itu harus ada dalam dekapannya sesegera mungkin.
Tapi, apa yang harus ia lakukan? Kaisar, Duke Montpensier, kedua saudaranya Luisa. Mereka semua lepas tangan, tidak ada yang berniat memberikan bantuan.
“LUISA!”
Teriakan pilu itu kembali menggema, membuat ribut lorong-lorong Istana Putra Mahkota.

YOU ARE READING
The Duke's daughter's revision
FantasySeorang penulis mati karena kecelakaan, tapi sungguh sial karena jiwanya merasuki salah satu karakter antagonis di novelnya sendiri. Novel dengan penggemar paling banyak, dan novel yang akan membuatnya mengalami kematian kedua. Karena tidak ingin m...