19. Permainan Iblis Itu

190 9 0
                                    

“KATANYA Davin dirawat. Bener?”

Aqilla hanya menganggukkan kepala. “Tapi, kemaren dia minta pulang. Jadi, hari ini dia istirahat di rumah.”

Saat ini mereka berada di kantin. Duduk berhadapan di bangku lumayan pojok. Satu-satunya tempat yang tersisa. Maklum, karena ada jadwal praktik olahraga kakak kelas, banyak dari mereka yang kelelahan dan menguasai kantin.

Menyedot es teh miliknya, Ara terpekur sejenak. Dia memandang mangkuk mie ayamnya yang tinggal bersisa kuah. Berbeda punya Aqilla yang masih setengah. Nafsu makan Aqilla sejak kemarin agak berkurang. Tepatnya sejak Davin masuk rumah sakit.

“Lo ... yang nemenin dia selama di rumah sakit?” Alis Ara sedikit terangat. Aqilla bertopang dagu, menatap Ara kembali menganguk kesekian kali. Ara mendengkus. “Lo jagain Davin dari kapan sampe kapan?”

Terdiam sebentar, Aqilla menjawab ragu, “Dari dia masuk rumah sakit sampe ... ya sampe sembuh.”

“Kenapa harus lo?”

“Papanya lagi pergi. Dia di rumah sendirian.”

Menipiskan senyum lempeng, Ara hanya menghela napas. “Lo bener-bener gak peka sama diri sendiri, ya.”

“Kamu bilang sesuatu?”

Memilih menggeleng, Ara menyudahi makannya. “Ke kelas, yuk. Masih ada satu nomor PR kimia yang belum gue kerjain.”

Manik Aqilla bergulir ke atas menatap temannya, ikut berdiri sambil membenarkan roknya. “Kamu duluan aja. Aku masih harus ke toilet.”

“Ya udah. Jangan lama-lama.”

Mengangkat dua jari berbentuk huruf, mengulas senyuman tipis, Aqilla buru-buru pergi duluan.

Ia bersenandung kecil menyusuri koridor. Baru saja mau membuka pintu toilet, seseorang menabrak bahu Aqilla. Membuat cewek itu mengaduh spontan. Aqilla menoleh pada sang pelaku. Sedikit melebarkan mata ketika sadar siapa yang tengah berdiri di sampingnya.

Hanna mengangkat pandangannya, berbalas tatap dengan Aqilla yang membeku. Semenjak kejadian waktu itu, Aqilla masih tidak banyak bicara dengan Hanna. Meski tahu itu bukan kesalahan cewek pendiam ini, Aqilla tetap waswas jika bertemu dengannya.

Mundur selangkah, Aqilla membiarkan Hanna masuk lebih dulu. Tapi, cewek itu diam di tempat. Wajahnya datar sama seperti Davin. Matanya menatap Aqilla lekat-lekat sampai si empunya merasa terintimidasi.

“Kamu ....” Hanna menjeda kalimatnya, malah menundukkan kepala. Menghela napas panjang dan berkata, “Ikut aku sekarang.”

Hanna meraih pergelangan tangan Aqilla, menarik cewek itu secara paksa. Meronta, tidak mau berurusan dengan Hanna karena trauma kejadian waktu itu, Aqilla berusaha menapakkan kakinya.

“Kamu mau bawa aku ke mana? Lepasin!”

“Gak usah banyak omong. Ikut aja.”

Tenaga Hanna tidak sesuai porsi tubuhnya. Dia terlihat lebih mungil dari Aqilla, tapi bahkan Aqilla tidak bisa menyentak cekalannya. Jantung Aqilla mulai berdebar. Takut, jika tubuh Hanna kembali dimasuki iblis itu. Seberusaha mungkin Aqilla harus melarikan diri.

“Hanna, lepasin! Aku gak mau ikut!”

“Harus. Gak boleh nolak.” Berhenti sebentar, Hanna menolehkan kepala ke belakang. Melempar tatapan dingin pada Aqilla. Sedetik kemudian sabit terukir di wajahnya. Aqilla merinding ketika suara itu kembali terdengar. “Kalau berontak terus, nanti cepet mati loh. Aqilla ... Iluvia.”

Pupil Aqilla melebar. Keringat menetes di sekujur tubuh, jantungnya memompa darah dengan cepat. Aqilla masih berusaha memberontak, menarik diri mencoba kabur. Walau dirinya itu percuma. Iblis itu tidak akan melepasnya semudah itu.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang