41. Kesalahan yang Selalu Sama

154 10 0
                                    

Ini semua salah Gara.

Seandainya saja dirinya tidak melakukan kontrak dengan iblis itu. Seandainya saja Gara tidak pernah lahir setamak dulu. Mungkin kehidupan keluarganya akan baik-baik saja sekarang. Tidak ada indigo, tidak ada kemapuan di luar logika.

Sejak dia memutuskan kontrak sepihak, semuanya perlahan semakin lebur. Dia kira, dengan berakhirnya urusan mereka, maka Gara bisa hidup bersama Ale dan Davin dengan tenang. Tapi keadaan berbalik terbanting, tidak ada yang baik-baik saja di antara mereka sekarang.

Bahkan, hubungan keluarga Raygard kian memburuk. Dan Gara sendiri tidak tahu harus memperbaiki dari mana. Tidak celah. Seolah jalan untuk berdamai memang tertutup rapat oleh Davin.

Gara bukan manusia sesungguhnya.

Iya, dia memang bukan. Juga Davin.

Ada satu kemampuan yang membuat Gara mampu berkomunikasi dengan bangsa dunia bawah. Melebihi indigo, dirinya bisa seolah tidak memiliki darah manusia. Gara mampu melihat mereka, itu sudah makanan sehari-hari. Dia bisa keluar masuk dunia bawah. Menyentuh, bahkan membunuh iblis dalam artian memejarakan mereka.

Walau begitu, Gara tetap bukan tandingan Satan yang sesungguhnya. Seberusaha apapun dia melawan, nyatanya dia malah kehilangan. Maka dari itu, Gara tidak ingin Davin ikut memiliki masalah dengan mereka. Trauma kematian Ale membuat Gara tidak bisa tenang. Hingga dia memilih meminta Gilang untuk mengawasi Davin. Untungnya mereka sekelas.

Davin sendiri tidak pernah tahu. Putra Gara itu tidak tahu jika dirinya memiliki kelebihan sama dengannya. Gara sama sekali tidak ada niatan untuk memberitahu yang sebenarnya pada Davin. Hidup selayaknya manusia apa adanya itu adalah opsi terbaik.

Tapi, melihat Davin seperti ini, seakan menuntut Gara untuk mengatakan yang sebenarnya. Davin masih belum bisa mengendalikan diri. Dia bisa saja terluka jika benar-benar berhadapan dengan iblis itu. Bingung, Gara tidak ingin Davin terbunuh. Tapi, menahan Davin juga sama saja menggores belati yang sama ketika kematian sang mama.

Gara terdiam di tempat. Tidak mengikuti Davin yang sudah berjalan bersama wanita penyamar Ale itu. Kegelapan perlahan menelannya. Dia menatap sayu, mengepalkan tangan kuat-kuat.

Sedikit saja, apa Davin tidak pernah peduli pada apa yang Gara lakukan? Cowok itu terlihat benar-benar membenci Gara. Bahkan, Aqilla yang tidak memiliki ikatan darah apa-apa, sebegitu berartinya bagi putranya.

Gara tahu. Dia ... yang salah di sini.

***

Terhenyak.

Davin  menghentikan kakinya. Berdiri diam, meluruskan pandangan hampa. Matanya memerah, berair pelan-pelan. Sesuatu menggengam kuat jantungnya, seakan ingin menghancurkan. Kedua tangannya tang tergantung lah meremas udara, bibirnya gemetaran berusaha berkata.

“La ....” Dia berucap lirih.

Aqilla mendongakkan wajah. Pupil-pupilnya kentara melebar, memandang tidak percaya pada kehadiran sang indigo. Lidahnya menjadi kelu. Pikirannya semakin kacau.

Tidak, bukan ini keinginannya. Bagaimana cara Davin kemari? Kenapa cowok itu datang?

Tidak sampai beberapa detik, Davin berlari menerjang tubuh mungil itu. Mendekap kepala Aqilla dalam tubuh besarnya dalam-dalam. Menghirup wangi rambut yang masih menempel di kepala sang cewek. Davin masih kesulitan bernapas. Tangannya mencengkeram tubuh Aqilla seakan tidak ingin lagi ditinggal.

“Davin bego.”

Davin tidak menghiraukan suara lemah itu. Bergerak sedikit pun tidak jua. Mengepal, menundukkan kepala dan merapatkan mata, Aqilla menggigit bibir dalam-dalam.

“Pergi! Pergi jauh-jauh!”

Davin mundur. Tertegun selama beberapa saat, melempar sorot tidak mengerti. Cewek di depannya tidak mau mengangkat kepala, mencoba menghindari tatap muka dengan Davin. Tangannya Davin menyentuh pundak Aqilla. Namun cewek itu menghindar.

“La.”

“Pergi.” Nada suaranya tidak pernah Davin dengar sebelumnya. Berat, bergetar, ada kesakitan di dalamnya. Rambut Aqilla berjuntaian, tidak memberi ruang Davin untuk menatapnya. Cowok itu memandang saksama.

“Gue gak akan lengah lagi, La. Gue gak akan biarin dia bawa lo setelah ini. Lo tenang aja, ya. Gue janji bakal ngelindungin lo.” Baru saja cowok itu nyaris mendekati Aqilla, untuk kesekian kalinya cewek itu beringsut menjauh. Davin semakin tidak paham. “Aqilla, lo–”

“Maaf.” Perlahan, Aqilla mendongak bersitatap lekat-lekat dengan Davin. Matanya memerah. Ada bekas aliran air di pipinya. “Aku ... aku malah ngelibatin kamu dalam bahaya.”

Napas Aqilla tercekat diam-diam. Ia baru sadar Davin terlihat berantakan. Rambutnya acak-acaknya, lebam-lebam dan baju yang masih berlumuran darah.

Kenapa?

Kenapa Aqilla sejahat ini pada Davin?

Bahkan setelah Davin mati-matian melindunginya, menjadi sesosok pelita dalam hidupnya, Aqilla tidak juga mengerti. Aqilla tidak pernah memahami. Kehadirannya memang membawa kutukan. Eksistensinya tidaklah benar. Mau Aqilla ingat berapa kali Davin nyaris mati karena dirinya?

Hubungan timpang ini ... tidak seharusnya dipertahankan. Parasitisme yang mereka jalani sudah terlalu jauh. Terlampaui keluar batas kenormalan. Sudah cukup Aqilla menjadikan Davin sebagai tamengnya. Walau tidak ada niatan sama sekali, Davin tetap menjadi alat perlindungan miliknya satu-satunya.

“Aku gak mau lagi buat kamu berurusan sama iblis itu, Davin. Kamu udah terlalu jauh masuk dalam permasalahan aku. Maaf. Maaf.” Pandangan Aqilla menunduk, menyorot bawah dengan tatapan hampa.

Terdiam, manik kelabu Davin malah menangkap luka di kaki Aqilla. Masih berdarah, sedang yang di pergelangan kaki membiru kehitaman. Menghela napas, Davin memilih menyobek kausnya. Aqilla menatap dengan pandangan tidak terbaca. Apalagi ketika cowok itu mulai membalut luka Aqilla.

Aqilla menendang udara. Berusaha menghindari tangan sang indigo. "Jangan sentuh kaki aku."

Davin tidak mengindahkan. Dia menarik kaki Aqilla paksa, mengapit dengan kaki-kakinya. Lantas membebatkan kain itu pada luka Aqilla. Cewek itu membisu, tidak tahu harus berkata apalagi.

Jemari Davin mengusap luka itu pelan, sorot matanya melunak. Davin paham. Memaklumi jika Aqilla berpikir bahwa dirinya pembawa sial setelah kejadian-kejadian yang mereka lalui. Tapi, mau itu benar atau salah. Mau itu membunuhnya atau menyelamatkannya, Davin tidak peduli.

Yang dia tahu, dia hidup untuk Aqilla. Dan segala yang berusaha merebut dia darinya, mereka pantas mati.

“Alasan satu-satunya gue bertahan sampe segini jauhnya cuma lo.” Menggulirkan bola mata, Davin melayangkan tatapan kosong. Aqilla kembali menenggelamkan wajah dalam helaian rambut berjuntaiannya. Davin menelan saliva getir. “Gue cinta sama lo, La. Gue bener-bener cinta. Jangan buat gue gila karena lo jauhin gue.”

“Kamu gak pernah ngerti, Vin.” Aqilla terdiam sejenak. “Aku yang salah. Aku ... aku selalu buat kamu kesusahan. Luka. Sial. Dan nantinya kamu bakal mati karena aku.”

“Diem. Lo ngelanturin hal yang jelas gitu setelah gue bilang cinta sama lo? Bener-bener lo, ya.” Mendengkus, Davin kemudian melepas ikatan tangan dan kaki Aqilla.

“Davin, jangan terlibat sama aku lagi.” Aqilla memohon. Tapi, cowok itu tidak mendengarkannya.

“Lo tahu, lo nyusahin gue. Itu bener." Davin meringis saat kesulitan melepas ikatan itu. Sialan. Lagi-lagi segel. “Tapi, sampe kapan pun, lo itu punya gue. Makanan gue. Bukan dia.”

“Pergi sekarang, Davin.” Aqilla frustrasi. “Dia– dia bisa bunuh kamu nanti.”

“Sekarang juga bisa, kok.”

***

Vote dan komentarnya, yaap.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang