Mengapa Begitu Terburu-buru?

5 2 0
                                    

Telah bermenit-menit pria paruh baya itu menatap seorang pemuda.

Candra, nama pemuda tersebut. Dia sedang duduk di dalam sebuah kios, di depan sebuah mesin jahit usang. Kakinya naik turun mengikuti pedal mesin yang sedang dioperasikan, sementara tangannya bergerak perlahan mengikuti arah jahitan.

Candra memang seorang tukang jahit, sementara Mang Engkos, pria yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu adalah seorang pemilik toko kelontong yang kiosnya berada persis di samping kios di mana Candra menjual jasa jahitnya.

"Sudah makan siang, Candra?" tanya Mang Engkos, saat mesin dihentikan beberapa saat.

Yang ditanya menoleh, lalu tersenyum dan menjawab, "Belum, Mang, nanggung nih." Candra kembali kepada jahitannya.

"Memang yang punya baju minta buru-buru?" Mang Engkos bertanya lagi. Kakinya perlahan melangkah ke dalam kios jahit.

Candra menggeleng menanggapi pertanyaan lanjutan yang didengarnya, lalu berkata, "Masih seminggu lagi katanya mau dipakenya."

Kening Mang Engkos berkerut. "Kenapa Kamu buru-buru sekali kalau masih seminggu lagi?" tanyanya.

"Biar cepet aja, Mang. Biar langsung bisa dapet duit." Sementara mulutnya sibuk menimpali pertanyaan demi pertanyaan dari Mang Engkos, tangan dan mata Candra aktif mengecek hasil jahitan.

"Memangnya Kamu kekurangan uang?"

Pemuda yang usianya sudah melewati tiga puluh tahun itu menggeleng. "Bukan begitu, Mang...."

Mang Engkos menghela nafas, lalu berkata, "Apa yang membuat Kamu bekerja begitu terburu-buru sehingga mengorbankan waktu makan dan istrirahat?"

Candra yang masih sibuk mengecek jahitan hanya tersenyum. "Kalau tidak buru-buru nanti disamber orang, Mang." Pemuda itu terkekeh.

"Kalau jodoh gak akan ke mana."

"Tapi pemuda tampan dan kaya ada di mana-mana."

Mang Engkos tergelak mendengar kata-kata Candra tersebut, tetapi di sisi lain, hati kecilnya justru merasa prihatin. "Cuma dalam satu urusan kita harus terburu-buru dalam hidup ini, Candra...." Tangan keriput pria itu menepuk pelan bahu sang tetangga kios.

"Dalam urusan apa, Mang?" Candra mendongak dan menatap Mang Engkos.

"Dalam urusan solat." Mang Engkos menunjuk jam yang menempel di dinding. "Ini sudah mau jam dua, Kamu sudah solat belum?"

"Nanti, Mang, setengah jam lagi," jawab Candra asal.

"Yakin setengah jam lagi mulut Kamu masih bernafas?"

Bulu tengkuk Candra meremang mendengar ucapan tersebut. "Ah, jangan nakut-nakutin atuh, Mang."

"Bukan nakut-nakutin ini mah, saya lagi bertanya. Yakin, setengah jam lagi Kamu masih punya kesempatan untuk menunaikan solat?"

Seketika Candra berdiri, lalu melipat bahan baju yang belum selesai dijahit. "Ya udah, saya solat sekarang." Pemuda itu lantas berlari tanpa menutup kiosnya, karena masih ada Mang Engkos di sana.

Laki-laki paruh baya yang baru saja ditinggalkan Candra menghela nafas panjang seraya berwajah prihatin. Sesungguhnya Ia juga tahu alasan mengapa Candra bekerja ekstra keras akhir-akhir ini. Pemuda itu dua minggu lalu melamar seorang gadis, dan orang tua si gadis meminta diberikan mahar berupa uang, dengan jumlah yang cukup besar.

Karena sudah terlanjur sayang, Candra mengiyakan permintaan tersebut. Ia memohon kepada orang tuanya di kampung untuk menjual sebagian petak sawah yang mereka miliki, sementara sisa kekurangannya akan dicari sendiri dari penghasilan sebagai tukang jahit.

"Bulan depan tanggal tujuh, Mang, saya harus memastikan uang maharnya terpenuhi. Insya Allah, saya bisa." Mang Engkos terngiang kembali saat Candra bercerita dengan semangatnya dua minggu lalu.

Artinya, masih ada kesempatan sekitar tiga puluh lima hari lagi bagi pemuda itu untuk bisa meminang gadis pujaannya.

Tak heran jika Candra terburu-buru mengerjakan pesanan pelanggan, ia bahkan rela mengorbankan waktu istirahat untuk mengambil pekerjaan lain di luar menjahit. Mang Engkos cukup khawatir melihat kondisinya yang seperti ini. Meski hanya tetangga kios, hubungan mereka selama ini memang cukup dekat. Candra memperlakukan Mang Engkos seperti orang tuanya sendiri, begitu pun sebaliknya.

Beberapa hari kemudian, Mang Engkos melihat Candra terburu-buru keluar dari kios jahit.

"Mau kemana?" Pria berdarah pasundan itu berteriak dari teras kiosnya.

"Mau ke rumah Nur." Candra menjawab sambil memasukkan anak kunci ke saku celana.

Mang Engkos terheran saat nama calon istri Candra disebut, sementara sang pemuda terlihat berwajah gusar. "Ada apa?"

"Nanti ceritanya, Mang. Saya buru-buru," jawab Candra sambil berlalu. Langkah demi langkahnya diiringi tatapan khawatir Mang Engkos.

*

"Nur, minta maaf, a Candra...."

Gadis berusia dua puluh enam tahun itu bicara sambil menangis. Sesekali tangannya mengucap pipinya yang telah basah.

"Nur tidak bisa menolak kehendak abah..."

Air mata Candra berjatuhan, sementara benaknya dipenuhi kekecewaan. Dengan langkah lunglai pemuda itu meninggalkan Nur yang bahkan belum selesai mengutarakan penyesalan. Ternyata sang gadis pujaan telah dijodohkan dengan orang lain oleh ayahnya.

Beberapa jam lalu, seorang pemuda datang bersama keluarganya untuk melamar Nur. Mereka merupakan warga yang tergolong kaya. Pemuda itu seorang pekerja di sebuah perusahaan besar dengan kedudukan yang cukup tinggi, sementara orang tuanya adalah pemilik usaha material yang tokonya ada beberapa cabang di wilayah Jawa Barat.

Berbeda denga Candra, yang hanya seorang tukang jahit, sementara orang tuanya hanya pemilik dari sepetak sawah di pelosok Karawang sana. Harta yang mereka miliki saat ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada rumah mewah, kendaraan mewah, apalagi tabungan yang jumlahnya juta-jutaan.

*

Candra menangis sepanjang perjalanan kembali ke kios dari rumah orang tua Nur, beberapa kali kakinya bahkan terantuk batu dikarenakan tidak memperhatikan kondisi jalan. Jiwa dan raga pemuda itu melayang-layang, dirinya terasa seperti daun yang jatuh dari pohon dan langsung mengering di atas tanah. Candra merasa kecewa, marah, dan nelangsa. Tak ada apapun yang bisa dilakukan untuk mengobati sakit hatinya.

Langkah Candra terhenti saat terdengar suara adzan, tak jauh dari posisinya saat ini memang terdapat sebuah masjid, yang pengeras suaranya baru saja mengumandangkan panggilan untuk solat. Seketika pemuda itu teringat percakapan dengan Mang Engkos beberapa hari lalu.

'Yang boleh terburu-buru hanya dalam urusan solat,' ucap pria baik hati tersebut. Candra mengusap pipi seraya menghela nafas. Tak lama ia berjalan memasuki gerbang masjid, guna memenuhi panggilan Rabb-nya.

Ternyata Mang Engkos sudah berada di masjid tersebut. Ia menyambut kedatangan Candra dengan tatapan prihatin. Tanpa dijelaskan pun, ayah dua anak itu sudah tahu apa yang terjadi. Orang tua gadis pujaan Candra adalah teman lamanya. Pak Haji Toha—nama ayah Nur, pernah bercerita beberapa bulan yang lalu pada Mang Engkos (jauh sebelum Candra dan Nur menjalin kasih), bahwa ia telah menemukan jodoh yang tepat untuk sang puteri. Disebutkanlah nama seorang pemuda, dan latar belakang keluarganya. Dikatakan pula oleh Pak Toha, bahwa ia hendak melakukan pendekatan kepada keluarga sang pemuda, yang tak lain adalah rombongan yang datang meminang Nur beberapa jam lalu.

Haji Toha tentunya sangat terkejut saat Nur memberitahu bahwa ia jatuh cinta kepada Candra dan mengajak pemuda itu datang menemui sang ayah meminta persetujuan akan pernikahan.

Mang Engkos berpikir, rencaha perjodohan yang sebelumnya pernah dibicarakan batal, dikarenakan Pak Haji Toha memberi Candra kesempatan untuk menjadi calon menantu, namun entah bagaimana ceritanya hingga akhirnya jadi seperti ini.

Ia tentu tidak hendak menghakimi Haji Toha karena memberi harapan palsu pada Candra. Bagaimanapun, Mang Engkos juga seorang ayah. Setiap ayah pasti ingin jodoh terbaik untuk anaknya.

"Ayo, solat tahiyyat masjid dulu," ucap Mang Engkos ketika Candra baru saja keluar dari tempat wudu. Ia sengaja menunggui sang pemuda hingga selesai wudu, lalu berjalan menyejajarinya seraya menepuk-nepuk punggungnya dengan perlahan. Menghibur hati yang pastinya tengah sakit karena dikecewakan.

"Hati-hati, licin!Jangan jalan terburu-buru...," ucap Mang Engkos saat mendapati genangan air hujan di antara akses menuju teras masjid.

Candra menoleh saat mendengar kata-kata tersebut. Ya, ia memang terlalu terburu-buru.

Padahal, ia tahu jodoh sudah ada yang mengatur. Namun karena terlena oleh cinta yang begitu menggebu-gebu, ia sampai bersikap di luar kebiasaannya sendiri beberapa bulan ini. Candra bahkan membuat orang tuanya di kampung berkorban terlalu banyak, mereka menjual setengah petak sawah milik keluarga, dengan harga murah. Dari sawah itu mereka hidup. Kini pengorbanan mereka sia-sia saja.

Kini, kekhawatiran akan kondisi orang tuanya jauh lebih membebani pikiran Candra dibanding rasa sakit hati karena diberi harapan palsu. Bagaimana ini?

*

Mang Engkos dan Candra duduk di teras masjid selepas solat. Tidak ada percakapan berarti di antara keduanya, hanya terdengar tarikan-tarikan nafas panjang. Mereka seperti sedang berlomba siapa yang paling bisa menarik dan menghembuskan napas lebih panjang.

"Ali, kesini! Main sama Om Candra!" Mang Engkos memanggil cucu laki-lakinya yang kebetulan lewat. Anak berusia enam tahun itu lantas memenuhi titah sang Kakek.

Ali menghampiri Candra setelah mencium tangan kakeknya. Mereka berdua saling melempar senyum dan beriteraksi sebagaimana biasanya.

Mang Engkos menatap interaksi cucunya dan Candra dengan senyum dan pikiran yang penuh dengan perenungan. Bertahun-tahun lalu ia pernah berada di situasi yang sama dengan Haji Toha. Merasa berhak menentukan calon pendamping terbaik untuk puteri sulungnya, lalu menikahkan mereka dengan terburu-buru.

Tak disangka, menantu pilihan yang berasal dari kalangan terhormat itu ternyata ringan tangan. Selama masa pernikahan, Rida—anak sulung Mang Engkos, harus menderita karena pukulan demi pukulan, dan aksi – aksi kekerasan lainnya, tanpa berani mengadu kepada ayahandanya.

Mang Engkos baru mengetahui kondisi sang puteri saat sengaja berkunjung tanpa memberi kabar, ia memergoki sang menantu sedang memukuli buah hati yang selalu dijaganya dengan penuh kasih sayang. Padahal Rida baru beberapa bulan melahirkan. Saat itu juga, ia membawa pulang puteri beserta cucunya setelah talak diucapkan.

*

"Kamu boleh loh, kalau mau jadi ayahnya Ali." Tiba-tiba mang Engkos berucap.

Candra yang tengah memangku Ali sambil menggelitikinya menoleh. "Hah?! Apa, Mang?" Pemuda itu tak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.

Mang Engkos tersenyum. "Saya tidak keberatan punya menantu seperti Kamu."

Candra hanya terdiam. Pemuda itu tak tahu harus mengatakan apa.

"Rida, mamanya Ali, meskipun sudah pernah menikah, dia masih muda, dia seumur dengan Nur, dia juga tak kalah cantik, kan?!"

Candra menggeleng, lalu menunduk dan bicara, "Bukan karena itu... " Entah kenapa kedua pipinya jadi terasa begitu hangat.

"Iya, saya tahu. Kamu suka sama Nur bukan karena dia cantik atau anak orang kaya. Tapi karena dia berakhlak baik. Iya, kan?!"

Candra mengangguk dengan anggukan yang semakin dalam.

"Anak saya juga, insya Allah, dia baik, saya sendiri yang mendidik dan membesarkannya. Rida tidak akan meminta mahar terlalu tinggi, begitu juga saya. Sesuai kemampuan pribadi Kamu aja. Tanpa harus meminta bantuan orang tua Kamu juga."

Selain berperan sebagai orang tua tunggal bagi Ali, dan membantu usaha toko kelontong orang tuanya, saat ini Rida juga menjadi pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah. Hampir setiap pagi Candra melihat wanita itu keluar dan masuk rumah orang tuanya. Mereka tidak terlalu sering berinteraksi, hanya pernah saling menyapa dan melemparkan senyum beberapa kali. Justru Ali lah yang sering datang dan bermain di kios Candra.

Seperti akrabnya interaksi Candra dan Mang Engkos, interaksi antara pemuda itu dengan Ali juga bisa dikatakan cukup akrab. Membayangkan bagaimana dirinya menjadi ayah sambung Ali membuat dada Candra berdebar.

"Memangnya dia mau sama saya, Mang?" tanya Candra malu-malu.

"Nanti saya tanya Rida dulu. Kalau dia bersedia, terus kalau kamu juga bersedia...." Mang Engkos berhenti berkata-kata. Perasaan geli karena sikap malu-malu Candra membuatnya ingin tertawa.

Dua bulan kemudian, Candra dan Mang Engkos kompak menutup kios mereka. Di dalam rumah Mang Engkos keduanya nampak tengah duduk bersebelahan dengan mengenakan pakaian adat Jawa Barat. Selain mereka, nampak pula anggota keluarga yang lain yang menggunakan pakaian senada. Orang tua Candra turut serta hadir di sana.

Ya, mereka sedang melangsungkan pernikahan. Antara Candra dan Rida. Tapi jangan khawatir, pernikahan ini bukan didasarkan pada keputusan yang terburu-buru, Candra dan Rida telah berpikir panjang, begitu juga Mang Engkos dan orang tua Candra sendiri.

*

Yang Kau kejar dengan terburu-buru itu belum tentu milikmu. Yang menjadi milikmu akan selalu datang tepat waktu.

Selesai.

quu_anfusakum

quu_anfusakum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Undangan Makan Siang (Kumpulan Cerpen dengan tema Slice of Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang