Bab 22

781 140 10
                                    

Suasana meja makan seperti perang, setiap orang duduk dengan tegang. Prima tanpa sadar mendesah berkali-kali untuk melonggarkan dada yang sesak. Kedatangan Jeana dengan penampilan yang spektakuler membuat semua orang tercengang termasuk dirinya. Ia tidak menduga kalau Jeana akan berubah menjadi begitu cantik dan mengesankan meskipun berpakaian sangat vulgar dan terbuka.

Prima bisa mengingat dengan jelas perkataannya pada Jeana tentang dirinya yang suka dengan perempuan sexy, dan cantik. Memang tidak salah, karena itulah yang membuatnya jatuh cinta setengah mati dengan Amera. Melihat Jeana tampil berbeda dengan pakaian sexy dan riasan tebal membuatnya Prima tertekan.

"Jeana, kamu berubah banyak? Prima mengatakan kamu sudah dipecat?"

Pertanyaan Mariah ditanggapi dengan santai oleh Jeana. "Nggak dipecat tapi aku yang mengundurkan diri."

"Kenapa? Memangnya sudah dapat pekerjaan baru?"

"Belum, sih."

"Sudah kuduga kalau belum. Dengan penampilan seperti itu, kamu lebih pantas kerja di bar dari pada di kantor."

Jeana terkesiap, mendengar ejekan yang menyakitkan seperti itu. Meski sudah sering mendengarnya tak urung membuat hatinya sakit. Ia menyesap jus yang baru diantarkan pelayan, tenggorokannya terasa lega seketika. Tetap tenang mendengarkan ocehan dari mama Mariah yang seolah tidak ada ada habisnya. Pedas seperti sambel dengan cabai seratus biji.

"Aku heran kenapa nasehat kami nggak kamu dengar. Memang kamu sekarang udah langsing, jadi tambah cantik dengan begitu Prima nggak akan malu kalau membawamu ke pesta atau pertemuan. Saat bertemu saudara atau kerabat juga aku nggak malu. Tapi cantik aja nggak cukup kalau kamu nggak kerja. Memangnya kamu mau malas-malasan saja saat jadi istri Prima?"

"Memangnya siapa yang mau menikah?" celetuk Jeana.

"Apa katamu?"

Prima berdehem keras. "Maa, tahan emosi. Maksudnya Jeana adalah siapa yang mau menikah dalam waktu dekat? Dengan begitu Jeana masih punya waktu untuk cari kerjaan."

Pembelaan Prima membuat Jeana tersenyum, mengibaskan rambut ke belakang dan mendesah dramatis. "Bagaimana, ya, ngomongnya. Aku bukannya nggak dapat kerjaan baru, banyak malah. Tapi lagi mikir mau ke perusahaan yang mana."

Baik Prima maupun Mariah terdiam mendengar jawaban Jeana. Sedangkan laki-laki tua yang merupakan ayah dari Prima, sedari tadi hanya diam. Minum kopi sambil merokok tiada henti, seakan tidak tertarik dengan percakapan di seputar meja. Saat pertama kali melihat Jeana, memang ada keterkejutan di matanya tapi kembali normal dengan cepat dan sekarang, terlihat tidak peduli meskipun sang istri sedari tadi memberi tanda agar dirinya ikut bicara. Mengopi dan merokok adalah hal yang menyenangkan, biarkan urusan pernikahan menjadi tanggung jawab istrinya dan Prima.

"Kamu dapat kerja di mana memangnya?" tanya Prima perlahan.

"Masih rahasia, aku nggak bisa ngasih tahu siapa pun sekarang."

"Jeana, kenapa bilang begitu. Prima itu tunanganmu," sela Mariah kesal. "Mana ada sama tunangan main rahasia-rahasia segala."

Jeana mengerling, mengedipkan sebelah mata pada Mariah dan membuat perempuan itu terperangah. "Ada, dong! Mama saja yang nggak tahu. Coba tanya Prima. Dia jago menyembunyikan rahasia. Benarkan, Sayang? Coba katakan rahasia apa yang kamu simpan sekarang pada mamamu. Pasti beliau dengan senang hati mendengarnya."

Dengan berani Jeana mengusap lengan Prima, meskipun dalam hatinya merasa jijik melakukannya. Mana mungkin ia mau berdekatan lagi dengan laki-laki yang sudah mengkhinatinya kalau bukan demi sandiwara dan pembalasan dendam. Prima yang mendengar ucapanya memucat seketika.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kiss My BodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang