Saat aku mengintip dari jendela kaca lantai tiga kampus FISIP Universitas Atlas Jakarta, suasana di bawah sana sudah tampak kacau. Puluhan mahasiswa mengelilingi dua orang cowok yang sedang beradu tonjos. Yang satu seniorku, dan yang satu lagi adalah pria asing, memakai jaket kebersamaan anak Teknik Sipil. Bukannya sibuk melerai, yang mengelilingi mereka malah berlomba-lomba merekam dengan kamera ponsel. Beberapa orang bahkan memprovokasi kedua pemuda itu.
“Pada rame-rame kenapa, sih?”
Diam-diam aku menguping pertanyaan seorang senior yang baru tiba di dekatku. Dia tidak bertanya padaku, tentu saja. Orang-orang satu angkatanku saja belum tentu mau mengajakku bicara.
“Itu, tuh. Pahlawannya Rainy Felicia lagi ngebelain bidadarinya."
Senior pertama menyipitkan mata untuk melihat pemandangan di bawah sana dengan lebih jelas. Sesaat kemudian dia mengerjap sambil terkekeh. “Oh, dia. Pasti gara-gara foto skandalnya itu, kan?” katanya.Kini kedua senior itu mulai saling mengadu daftar hal yang paling tidak mereka sukai dari Rainy Felicia, Mahasiswi terhits kampus kami. Kata mereka, semua ini salahnya Rainy Felicia sendiri. Sebab beberapa hari lalu gadis yang kini terkenal karena menjadi runner up ajang pencarian bakat itu mengirimkan foto dirinya yang hanya berpakaian lingerie pada seniorku yang kini tengah bertengkar di bawah sana. Nahas, pagi ini foto-foto itu menyebar luas di internet.
Sebenarnya hal semacam ini tidak pernah menyita perhatianku. Aku pernah berada di posisi dimana semua orang membicarakanku di balik punggungku, dan rasanya sangat tidak menyenangkan. Seolah dalam setiap menit ada bongkahan batu yang bertambah menghunjam pundak kecilku.
Yang menyita perhatianku adalah wajah orang yang sedang menggebuki seniorku itu. Sosok yang begitu familiar walau cukup aneh, orang sepertinya sanggup membuat seniorku yang tampak sangar itu lengah. Bisa kutebak, dalam hitungan jari seniorku akan mengulurkan tangan tanda menyerah.
Para penonton di bawah tiba-tiba berhamburan. Samar terdengar suara sirene yang disusul dengan teriakan heboh, memberi tahu kalau mobil patroli kampus akan segera sampai di sana. Aku menyipitkan mata untuk memastikan sekali lagi wajah si cowok berjaket Teknik Sipil yang kini berlari ke arah gedung tempatku berada. Sosok yang sejak tadi berhasil menyita perhatianku.
Tubuh tinggi, bentuk rahang tegas dengan hidung mancung melengkung. Aku tidak pandai merangkai kata untuk menjelaskan penampilannya, seolah sosoknya terlalu indah untuk dijabarkan dalam kalimat sederhana. Cowok itu mempunyai ciri-ciri yang membuat lelaki mana pun rela menukar wajah dengannya. Bahkan mungkin perempuan juga mau saja bertukar wajah dengannya. Sebuah Mahakarya yang sama persis dengan milik seseorang yang kukenal baik bertahun-tahun lalu. Dan di tengah suara sirene yang kian terdengar jelas dan penampakan mobilnya yang memarkir di depan portal kampus FISIP, sekilas pandangan kami bertemu. Tepat pada saat itu lah keyakinanku bulat. Dia adalah orang yang kucari.
Aku berlari mengitari koridor untuk turun ke bawah sana. Debaran jantungku tak karuan dan keringat dengan cepat membasahi dahiku. Beruntung, tidak butuh banyak waktu dan tenaga untuk berhadapan langsung dengannya. Tubuh kami berpapasan di tangga lantai dua. Aku mengerjap menatapnya, dan dia pun sama.
“Aslan!” nama cowok itu lolos begitu saja dari mulutku. Sebuah nama yang sudah lama sekali tidak pernah kusebutkan lagi, bahkan di depan Mama sekalipun.
Mata Aslan mengerjap. Sejurus kemudian dia meraih tanganku. Spontan saja aku mengikut dalam pelariannya. Langkah demi langkah pada tangga demi tangga hingga kami tiba di lantai empat, memasuki perpustakaan FISIP yang pintunya berada di bagian paling ujung koridor. Tempat itu sepi seperti biasa. Kebanyakan Mahasiswa lebih memilih mengunjungi Perpustakaan Umum Kampus kami yang isi bukunya lebih banyak dan ruangannya berkali-kali lipat lebih luas. Kami bersembunyi di balik rak paling ujung.
“Kita saling kenal?” tanya Aslan.
Pertanyaan itu membuatku tergemap. Aku dan Aslan sudah bersahabat sejak kecil. Dulu kami bertetangga dan selalu satu sekolah, bahkan satu kelas, hingga suatu hari Aslan dan ibunya memutuskan untuk pindah ke luar kota. Mendengar pertanyaan itu dari mulutnya membuatku merasa terkhianati. Padahal sebelum dia pergi kami sempat berjanji akan bertemu lagi sepuluh tahun kemudian untuk sebuah time capsule yang kami kubur bersama.
“Kamu lupa samaku?” Dadaku terasa panas saat menanyakannya.
Aslan mengernyit mengintip pintu masuk perpustakaan dari sela-sela deretan buku selama beberapa detik.
“Berapa lama kita gak ketemu?” tanyanya kemudian. Kini kedua mata itu memandangi wajahku seperti mesin pemindai barcode yang kesulitan memindai kode di balik bungkus makanan.
“Baru tujuh tahun, Aslan!” sergahku.
Perhatian kami kini teralihkan oleh suara petugas patroli kampus yang tengah menanyakan tentang keberadaan cowok dengan jaket Teknik Sipil ke salah seorang mahasiswa. Beruntung, mahasiswa itu tidak menyadari kehadiran kami di tempat ini.
Refleks aku berdecak karena rasa sebal dan gelisah yang bercampur aduk. Aku sangat mengenali Aslan. Jika Aslan adalah magnet, dia punya kutub yang menarik berbagai kekacauan namun mengusir semua keberuntungan. Acapkali aku yang harus repot mengurusi semua kekacauan yang diperbuatnya. Suatu kali saat kami kelas satu SMP, Aslan dirundung oleh anak-anak kelas dua yang iri karena pacar salah seorang dari mereka naksir Aslan. Akulah yang sampai menyingsingkan lengan bajuku untuk membelanya yang takut melawan. Bukan hal asing lagi bagiku kalau Aslan tumbuh menjadi anak pengecut.“Buka jaket kamu!” kataku.
Aslan tidak banyak tanya dan langsung membuka jaket. Di balik jaket itu dia memakai kaos hitam polos dan aku bisa melihat tato menghiasi lengan bawahnya yang sebelah kanan. Tatonya terlihat artistik dan tidak ramai. Hanya gambar seekor elang dengan sayap yang terbuka lebar, dan di bawah ceker elang ada sebuah jam antik yang bagian bawahnya meleleh. Aslan berniat menyelipkan jaket itu di antara buku-buku tapi aku merebutnya dan langsung memakaikannya di tubuhku.
“Sana sembunyi!” kataku.
Aku menoleh ke belakang, mengintip petugas patroli kampus dari sela-sela buku. Jarak mereka hanya tinggal lima rak dari kami. Saat aku melemparkan kembali pandanganku pada Aslan, dia tengah mengamatiku dengan dahi berkerut.
“Dan kamu, Aslan, punya tugas buat mengingat namaku dan cari aku kalau masih pengin jaket kamu kembali,” kataku.
Setelah itu aku mengendap-endap di antara rak, menjauhi Aslan. Aku tidak tahu Aslan bersembunyi dimana. Yang jelas saat petugas patroli selesai mencari di Perpustakaan FISIP, Aslan sudah menghilang seperti hantu. Ditemani suara derap langkah petugas patroli yang menjauh, aku melirik ke arah jendela perpustakaan paling ujung. Daun jendela terbuka lebar, padahal biasanya selalu tertutup agar udara dari AC tidak keluar. Senyuman terkulum di bibirku begitu saja. Beradu tonjos, tato, dan kini melompati jendela lantai empat. Entah apa yang terjadi pada Aslan hingga bisa senekat itu sekarang, aku tidak tahu, yang kutahu adalah penantianku sudah berakhir.
🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta's Hidden Melody
RomanceLea merasa ada yang aneh setelah Aslan kembali dari perpisahan mereka selama tujuh tahun. Setiap perubahan Aslan bagai misteri tak terpecahkan. Serangkaian misteri itu menimbulkan perasaan baru, yang Lea percayai tidak boleh ada di tengah persahabat...