Bab 16.

6.3K 738 22
                                    


Aroma harum seduhan teh hijau memenuhi ruang makan kediaman keluarga Halley. Seperti biasa, Caden dan Esmira telah duduk di kursi mereka masing-masing terlebih dahulu. Menunggu kedatangan si bungsu bersama kedua putranya untuk memulai sarapan.

"Semalam ada masalah apa?" Esmira meletakkan gelas dengan ukiran kuno berisikan teh hijau kehadapan Caden.

Caden seketika menoleh. "Eas mengadu padamu?"

"Katanya dahinya sakit karena mu." dengus Esmira, melirik sinis sang suami. "Kau apakan putraku?" Bertanya menyelidik pada suaminya, kesal lantaran tadi malam putranya mengadu dengan tatapan berkaca-kaca.

Caden mendengus, dia menyandar pada sandaran kursi. "Dia nakal, itu sebab aku melakukannya."

Esmira mengangguk mengerti, tetapi tetap dia kesal. "Jangan terlalu keras padanya. Eas tidak terbiasa di kasari. Seharusnya kau mengerti itu Caden."

"Hanya saja, tadi malam dia benar-benar membuatku marah. Entah datang dari mana keras kepalanya." Caden bersedekap dada, menggelengkan kepala heran.

Esmira memasang wajah stoic, lalu menyeruput tehnya. "Seseorang disebelahku tentu saja."

Raut wajah Caden berubah datar. "Aku tidak merasa." balasnya, yang di respon dengan cibiran oleh Esmira.

"Selamat pagi~" Diego datang dengan sapaan ringan seperti biasa. Dilihat dari raut wajahnya , Esmira sudah bisa menebak jika suasana hati sang cucu sedang dalam keadaan baik.

"Selamat pagi tampan." balas Esmira dengan nada menggoda. Menaikkan sudut bibir sekilas, kekesalan nenek dari Diego menghilang ketika mendapati Diego dengan wajah cerianya di pagi hari.

Diego berdehem sombong. "Of course, aku yang paling tampan disini." Menarik kursi lalu duduk di tempatnya. Sedikit bangga ketika Esmira menyebut dirinya tampan.

"Dimana Ayah-mu?" tanya Caden, melirik sekilas kearah pintu masuk ruang makan. Tidak peduli aja celetukan Diego.

Diego berdecak pelan, kakeknya selalu saja menjadi penghancur suasana. "Kakek memang tidak bisa menyenangi cucu, " ujarnya mengerucutkan bibir. Namun Diego tetap menjawab pertanyaan Caden. "Aku sudah memanggil ayah. Mungkin sebentar lagi dia datang dengan abang."

"Selamat pagi."

Baru juga dibicarakan, Andreas datang dengan wajah kusut. Esmira menggeleng pelan. Berbanding balik dengan cucunya, putranya itu memiliki mood buruk dipagi hari. Oh ayolah, sangat lucu ketika mengetahui jika anak bungsunya tetap marah perihal kemarin.

"Pagi sayang/ayah." Esmira menjawab bersama dengan Diego.

Mendengar jawaban keduanya, dia menarik kurva. Melirik sebentar ke arah Caden kemudian membuang muka. Dia duduk dan bersedekap dada. Kekesalan pada Caden bertambah ketika pria itu tak menjawab sapaannya.

Caden menaikkan alis. "Eas, kau masih marah?"

Andreas segera menoleh kearah Caden dan menatapnya sengit. "Ayah sungguh bertanya seperti itu?!" jawabnya sewot.

"Jangan berteriak dipagi hari ayah, " sahut Gabriel sudah stay di tempatnya.

"Kau siapa? Jangan mengajakku berbicara." sinis Andreas, melirik sekilas Gabriel.

"Ayah." balas Gabriel lirih, mau sampai kapan sang Ayah terus memusuhinya.

"Sudah, sudah." Esmira menengahi. Dengan cekatan, ia meletakkan segelas susu hangat kehadapan Andreas. Mencoba mengalihkan perhatian si bungsu agar tak terus menyebarkan aura permusuhan.

"Mom mencoba menyogok-ku ya?" curiga Andreas, namun tangannya tetap bergerak meraih segelas susu putih dihadapannya.

Sembari mengambilkan nasi juga lauk favorit Andreas, Esmira memasang wajah gemas. "Iya, ini masih pagi tidak baik bertengkar terus."

Andreas yang mulai meminum susu, melirik bergantian Caden dan Gabriel yang tengah menatapnya. "Mereka duluan yang mulai." gerutunya dalam hati.

Tetapi Andreas lebih memilih menjawab dengan ucapan lain. "Memangnya siapa yang bertengkar. Tidak ada yang bermusuhan disni!" ujarnya sembari memasukkan sesuap nasi dengan sesekali melirik sinis Caden dan Gabriel.

"Yah, sudah pasti bertengkar dengan bayi kita tidak akan pernah menang." Caden berseru. Tak mengidahkan tatapan yang dilayangkan Andreas. Juga, bukannya membujuk, pria tua itu memilih memprovokasi lebih lanjut.

"Aku setuju kakek... Ingin marah nanti yang bersangkutan malah nangis, " tambah Gabriel mengiyakan ucapan Caden.

Dengan wajah memerah, tangan Andreas mengepal meremat sendok ditangannya. "Jangan harap aku mau berbicara pada kalian lagi!" serunya menghentak lantai.

Gabriel sedikit tersentak. Namun Caden tetap tenang menatap bungsunya santai. Tanpa mau repot mengomel lagu, Andreas langsung menyuap makanannya dengan kasar.

"A-Ayah." gumam Diego meringis. Ini tidak adil, bagaimana jika nanti ia juga akan terkena imbasnya? Mana mau dia diperlakukan seperti abang dan kakeknya.

"Apa!" Seru Andreas dan memelototi Diego. Moodnya jelek tambah jelek karena kedua orang itu.

"Sayang, jangan marah-marah. Ini masih pagi, lihat.. Wajahmu berkerut, " ucap Esmira. Dia beranjak menghampiri putranya itu.

Andreas memandang Esmira dengan bibir melengkung. "Habisnya mereka ngejek aku mom." Dia langsung saja memeluk pinggang Esmira ketika wanita itu berdiri disampingnya.

Esmira sontak mengelus rambut tebal putranya. Matanya menatap kedua orang yang menjadi penyebab mood sang putra buruk. "Diamkan saja. Tidak perlu berbicara dengan mereka." datarnya.

Melirik sekilas Caden dan Gabriel yang langsung tegang setelah mendengar ucapan Esmira, Andreas menganggukkan kepala tegas. "Iya Mom."

"Tidak boleh, Ayah!" ujar Gabriel sedikit panik.

Andreas abai. Melepas pelukan dari sang Mommy, ia lebih memilih untuk melanjutkan acara sarapannya tanpa menoleh pada Gabriel sedikitpun.

「 Treated like a child 」

"Dad, nanti tambahin mangga, mayan kalo gede bisa dijual nanti, " Pinta Andreas. Senyumnya mengembang sembari mengelus pohon jambu yang juga sudah ditanam di sekitar taman belakang mansion.

Caden sangat pintar, sebab itu dia tenang meski putranya tengah merajuk. Lihat, rencananya berhasil. Dengan menyogok, sang putra telah luluh.

Dia memang sedikit ingat, bahwa putranya menyukai pohon yang berbuah. Bahkan di taman belakang ini, banyak pohon buah-buahan yang ditanam dan siap dipanen.

"Apapun yang anak Daddy inginkan." balas Caden ringan. Ia mendekat, mengusap sekilas rambut halus Andreas.

"Oh ya, aku juga rencananya hari ini mau keluar, bolehkan?" Dirasa ada kesempatan, Andreas langsung memanfaatkannya untuk meminta izin keluar dari Mansion.

"Hm." Caden menarik tangannya, memberi anggukan kecil pada si bungsu yang langsung berbinar.

"Terimakasih dad!!"

Caden menyeringai kecil, dia melihat Gabriel yang mengintip dari jendela atas. Memandang cucunya itu penuh kemenangan. Untuk kali ini, dia yang lebih dulu memenangkan hati putranya.




Tbc.

(˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵)

Treated like a child ( Slow Up ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang