Bab 4: Di Ambang Dilema

37 12 0
                                    

Bab 4:

Tiga minggu telah berlalu sejak Nathan memutuskan untuk mengambil jarak dari Jenna. Selama waktu itu, Nathan merasakan kehampaan yang cukup mendalam, namun dia juga merasa waktu itu memberinya kesempatan untuk berpikir lebih jernih. Begitu pula dengan Jenna, yang mulai merindukan obrolan dan kebersamaan mereka. Namun, meski keduanya saling merindukan, ada perasaan tak nyaman yang menggantung di antara mereka.

Nathan akhirnya memutuskan untuk menghubungi Jenna lagi, mengajak ketemuan di tempat biasa mereka, kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Ketika Jenna setuju, Nathan merasa lega, tetapi juga sedikit gugup. Ada perasaan yang bercampur aduk, seperti ada yang belum selesai antara mereka.

Saat mereka duduk berhadapan di kafe, suasana canggung sempat terasa. Nathan akhirnya membuka percakapan. "Gimana kabar lu selama tiga minggu ini, Jen?"

Jenna tersenyum tipis, meski sedikit gugup. "Baik sih, Nath. Tapi, gua gak bisa bohong, gua kangen ngobrol sama lu. Tiga minggu tuh lama banget."

Nathan nyengir kecil, merasa sedikit lega mendengar itu. "Gua juga kangen, Jen. Gua mikir kalau kita perlu waktu buat diri masing-masing, tapi jujur aja, itu berat buat gua."

Jenna mengangguk. "Iya, gua paham. Tapi mungkin kita emang butuh waktu buat ngertiin perasaan kita masing-masing. Tapi yang jelas, gua gak mau kita jadi asing."

Mereka kembali ngobrol dengan lebih santai, mengingat momen-momen menyenangkan yang pernah mereka lalui. Namun, seiring percakapan mengalir, ada satu topik yang tiba-tiba muncul dan memicu ketegangan di antara mereka.

"Ada satu hal yang mau gua tanya, Jen," Nathan memulai dengan nada serius. "Lu masih sering kepikiran soal mantan HTS lu dulu?"

Pertanyaan itu bikin Jenna sedikit tersentak. Dia gak nyangka Nathan bakal ngungkit soal mantan hts.

Pertanyaan Nathan seketika membuat suasana yang tadinya hangat berubah. Jenna menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, mencoba tetap tenang. "Kenapa tiba-tiba lu nanya soal itu, Nath?"

Nathan, yang sebenarnya sudah memendam pertanyaan ini sejak lama, akhirnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Gua cuma penasaran aja, Jen. Soalnya kadang gua ngerasa lu masih kepikiran soal dia, dan gua gak tau gimana harus ngerespon."

Jenna menatap Nathan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Mantan HTS gua udah masa lalu, Nath. Emang, gua dulu sempet deket banget sama dia, tapi sekarang itu udah beda. Yang ada di pikiran gua sekarang cuma lu."

Tapi jawaban Jenna malah bikin Nathan makin galau. "Kalau cuma gua yang ada di pikiran lu, kenapa lu belakangan ini kayak menjauh? Lu sering slow respon, bahkan chat kita gak seramai dulu. Lu tau kan, gua ngejaga api kita biar tetap nyala, tapi gua ngerasa lu mulai nggak peduli."

Jenna menunduk, merasa bersalah. "Gua gak bermaksud buat ngejauh, Nath. Gua cuma lagi banyak pikiran. Mungkin gua gak sadar kalau itu bikin lu ngerasa kayak gitu."

Nathan mendesah, ada perasaan yang susah dijelaskan. "Gua ngerasa kayak gua nggak cukup penting buat lu, Jen. Gua cemburu sama masa lalu lu, tapi gua gak tau harus ngomong apa. Apa gua cuma jadi pengganti dari apa yang lu pernah punya?"

Jenna menggeleng kuat, mencoba meyakinkan Nathan. "Enggak, Nath. Lu bukan pengganti siapa-siapa. Gua nggak mau lu mikir kayak gitu. Gua sayang sama lu, gua peduli sama lu, tapi gua juga takut. Takut kita jadi asing, takut hubungan kita berubah."

Nathan diam, memikirkan kata-kata Jenna. "Gua juga sayang sama lu, Jen. Tapi mungkin perasaan gua ini terlalu besar sampai gua nggak bisa ngontrol rasa cemburu gua. Gua gak mau kita jadi asing juga, tapi kalau kita terus kayak gini, gua takut itu bakal kejadian."

Jenna mendekatkan dirinya ke Nathan, matanya berkaca-kaca. "Nath, gua gak mau kehilangan lu. Kita udah sejauh ini, dan gua gak bisa bayangin kalau kita jadi asing. Gua janji bakal lebih terbuka sama lu, tapi tolong jangan ajak gua buat menjauh."

Nathan memandang Jenna dalam-dalam, hatinya berat. "Gua juga gak mau jauh dari lu, Jen. Tapi, gua gak tau apakah kita bisa balik kayak dulu. Kalau terus kayak gini, gua gak tau gimana kita bakal lanjut."

Jenna menggenggam tangan Nathan erat. "Nath, kita bisa coba perbaiki ini. Gua gak mau kita berakhir kayak gini. Kita belum pacaran, tapi perasaan kita udah terlalu kuat buat diabaikan."

Tapi meski Jenna berusaha keras untuk meyakinkan Nathan, dia bisa lihat keraguan di mata Nathan. Nathan merasa semua ini terlalu rumit, dan dia gak mau kalau akhirnya mereka malah saling menyakiti.

"Jen, mungkin ini cuma cara gua buat ngelindungin diri gua sendiri. Mungkin gua butuh waktu lagi buat berpikir. Gua gak mau terburu-buru dan malah nyakitin lu atau diri gua sendiri."

Jenna merasa perasaan hancur saat mendengar itu. "Jadi, lu mau ngejauh lagi? Lu bener-bener mau kita jadi asing?"

Nathan menarik tangannya dari genggaman Jenna, perlahan berdiri. "Gua gak tau, Jen. Gua cuma mau kita berdua punya waktu buat mikir, tanpa perasaan yang terlalu mendesak kita buat ngambil keputusan. Kalau kita bener-bener sayang sama satu sama lain, kita bakal tau jalannya nanti."

Jenna menatap Nathan dengan air mata yang mulai mengalir. "Gua gak bisa nahan lu, Nath. Kalau lu beneran butuh waktu, gua bakal kasih. Tapi gua takut kalau kita gak bakal bisa balik lagi kayak dulu."

Nathan menunduk, merasa berat buat ninggalin Jenna. "Gua juga takut, Jen. Tapi lebih baik kita ambil waktu ini daripada kita terjebak dalam perasaan yang nggak jelas."

Dengan hati yang berat, Nathan berjalan menjauh, meninggalkan Jenna di kafe itu. Jenna merasa seluruh dunianya runtuh. Meskipun mereka nggak secara resmi pacaran, perasaan mereka sudah terlalu dalam. Dan sekarang, Jenna merasa dia benar-benar kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Selama tiga minggu ke depan, Nathan benar-benar nggak menghubungi Jenna sama sekali. Setiap kali Jenna membuka ponselnya, berharap ada pesan dari Nathan, yang dia temukan hanyalah keheningan.

Namun, meski perasaan mereka semakin kuat, ada keraguan yang terus menghantui. Perasaan sayang yang mereka miliki terasa seperti pedang bermata dua-di satu sisi, itu adalah sesuatu yang indah, tapi di sisi lain, itu juga bisa menjadi sesuatu yang menghancurkan jika tidak ditangani dengan hati-hati.

Waktu terus berjalan, dan baik Nathan maupun Jenna merasa semakin terjebak dalam dilema yang sulit. Mereka tahu bahwa keputusan mereka akan menentukan apakah mereka akan melanjutkan hubungan ini atau mengakhirinya. Di tengah perasaan itu, pertanyaan terbesar yang muncul di benak mereka adalah: apakah mereka siap mengambil risiko untuk saling menyakiti, atau mereka akan memilih untuk menghindari rasa sakit dengan mengakhiri semuanya?

Di balik semua keraguan itu, ada satu hal yang pasti-perasaan mereka satu sama lain tidak bisa diabaikan. Tapi apakah itu cukup untuk menjaga mereka tetap bersama, atau justru akan menjadi alasan mereka untuk berpisah? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Di Antara Rahasia dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang