05

624 98 2
                                    

Malam itu, Shani dan Gracio berbaring bersebelahan di tempat tidur, menikmati momen tenang setelah hari yang cukup panjang. Kedua putri mereka, Zeevanya dan Angelica, sudah tidur di kamar masing-masing. Saat suasana sudah hening, Gracio dan Shani memutuskan untuk melakukan *pillow talk*, membahas keputusan besar yang ada di depan mata—apakah mereka akan pindah ke rumah baru atau tetap di apartemen yang telah lama mereka tinggali.

Gracio menggeser posisinya sedikit lebih dekat ke Shani, menatapnya dengan lembut. “Gimana menurut kamu, Sayang? Setelah lihat rumah tadi, kamu ngerasa cocok nggak?” tanyanya pelan, membuka percakapan.

Shani menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak. “Aku suka tempatnya, suasananya tenang, dan anak-anak kayaknya juga suka. Halamannya luas, jadi mereka bisa lebih bebas main. Tapi, yang aku pikirin... pindah itu pasti nggak gampang. Kita harus adaptasi lagi, Zee dan Angel juga harus terbiasa di lingkungan baru.”

Gracio mengangguk, memahami kekhawatiran Shani. “Iya, aku juga mikir soal itu. Tapi apartemen kita udah mulai terasa sempit. Anak-anak makin besar, mereka butuh ruang buat berkembang. Lagi pula, rumah baru itu lebih dekat ke sekolah mereka, jadi bakal lebih praktis buat kita semua.”

Shani terdiam sejenak, mempertimbangkan semua aspek yang disebutkan Gracio. “Aku setuju soal ruang lebih besar. Aku juga suka dengan aksesnya yang lebih dekat ke sekolah dan tempat kerja kita. Tapi, kita harus melibatkan anak-anak dalam keputusan ini, terutama Zee, dia anaknya sensitif soal perubahan.”

Gracio tersenyum. “Ya, aku setuju. Kita tanya pendapat mereka, terutama Zee, karena Angel biasanya lebih gampang adaptasi.” Gracio tertawa kecil, mengetahui bahwa Angel biasanya lebih fleksibel dibandingkan kakaknya.

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, suara ketukan kecil terdengar dari pintu kamar mereka. Gracio dan Shani saling berpandangan dengan senyum lelah, sudah bisa menebak siapa yang datang.

“Angel...” gumam Shani pelan.

Pintu terbuka perlahan, dan benar saja, Angel muncul di ambang pintu, menggosok-gosok matanya dengan tangannya yang mungil. Wajahnya tampak lelah dan sedikit merengek.

“Mami, Papa... Aku nggak bisa tidur...” rengek Angel pelan sambil berjalan ke arah tempat tidur mereka.

Gracio mengulurkan tangannya, lalu menggendong Angel dengan lembut. “Sini, Sayang. Papa gendong dulu, ya. Kita tidur bareng dulu,” ucapnya lembut.

Sambil menggendong Angel di lengannya, Gracio berjalan mondar-mandir di kamar untuk menenangkan si bungsu. Dalam upaya menenangkan, Gracio memutuskan untuk bertanya pada Angel tentang topik yang mereka bahas tadi.

“Angel, gimana kalau kita pindah rumah? Kamu mau, nggak?” tanya Gracio sambil menatap wajah Angel yang masih mengantuk.

Angel, meski setengah tertidur, mendengus pelan dan menjawab, “Aku mau pindah... asal di sana banyak temannya kayak di sekolah.”

Shani yang duduk di tempat tidur tak bisa menahan tawa kecil. “Angel, asal bisa main sama teman-teman, ya?” godanya sambil menepuk pelan pantat Angel untuk membantu menidurkannya.

Gracio terkekeh mendengar jawaban putri kecil mereka. “Ya udah, nanti kita pindah ke tempat yang banyak temannya, ya. Sekarang tidur dulu,” bisiknya lembut.

Akhirnya, setelah beberapa menit, Angel tertidur lagi di pelukan Gracio. Gracio meletakkannya perlahan di tempat tidur mereka, memastikan ia nyaman. Shani dan Gracio saling bertukar senyum sebelum mereka memutuskan untuk tidur juga.

---

Keesokan paginya, Shani sibuk memakaikan baju untuk Zee dan Angel di kamar mereka. Matahari pagi sudah mulai menyorot masuk, dan suasana pagi di apartemen terasa hangat dan penuh dengan rutinitas yang biasa. Zee duduk di atas tempat tidur, sementara Shani membantu Angel mengenakan baju.

The JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang