final sequel

2.4K 231 148
                                        




[ bagian ini mengandung rating dewasa muda, harap bijak ]



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Virella

Gue nggak tahu pasti kapan tepatnya perasaan yang udah—gue rasa—mati ini tumbuh lagi buat dia. Apa itu sejak gue mulai menginjakkan kaki di Jakarta. Atau sejak gue nemuin arsip kenangan kita di komputernya.

Atau mungkin sejak kita sama-sama kembali ke Jogja dalam rangka ngerjain projek film yang mana mengharuskan kita buat ketemu nyaris dua puluh empat per tujuh setiap harinya.

Yang paling gue inget itu waktu jumat siang, gue duduk sendirian di dapur rumah yang jadi basecamp selama syuting. Lagi ngobatin luka akibat nyusruk bareng Ikram pas mau beli bubur ayam.

Di tengah kegiatan itu, fokus gue teralihkan pas denger suara tirai dapur disibak pelan. Muncul dia yang wajahnya keliatan seger, rambutnya klimis mampus, dan wanginya minta ampun. Lengkap dengan sarung dan kemeja koko hitam lengan panjang yang kontras banget sama kulit cerahnya.

Di situlah gue mendadak bernostalgia ke saat di mana kita pertama kali berjumpa, bertegur sapa, dan duduk berdua di depan sanggar teater. Kalau dulu, gue tebak dia yang keluar dari mushola itu habis menunaikan sholat ashar, sekarang gue tebak dia pasti habis sholat jumat di masjid terdekat.

Ada snack box di tangannya yang kemudian dia taruh di atas meja makan deket gue. Dia ngambil minum dari dispenser sambil bilang, "Udah makan siang, Rel?"

Gue yang lagi ngolesin betadine ke lutut gue ini nengok, "Udah—eh belum."

Dia nengok jam di tangannya setelah minum, "Jatah makan siang kru biasanya dianter jam berapa?"

"Jam sebelas, sih, biasanya. Tapi, hari ini katanya agak telat."

Gue balik lagi fokus ke kegiatan gue. Ngelirik dia dikit, gue liat dia sekarang berdiri sambil mindahin isi snack box ke piring kecil yang dia ambil, kemudian ngegeser itu ke gue.

"Ambil yang kamu suka!" suruhnya, bikin gue auto ngedongak dan jujur, ngeliat dia sedekat ini, gue jadi deg-degan sampai lupa buat segera ngerespon.

Harus dikode dulu lagi sama dia pake gerakan alis sama dagu, baru gue bisa ngulurin tangan. Udah gitu, tangan gue pake berhenti, kayak kebingungan mau ambil yang mana. Kue lapis, dadar gulung, nagasari, risol, pastel, jeruk, atau ...

... tangannya.

Tau ah! Ambil yang mana aja, asal bukan tangannya. 

Gue ambil dadar gulung. "Makasih, Mas."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 02, 2024 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FRIENDLY [END]Where stories live. Discover now