7. Prilly : Biawak atau Marmut?

5.7K 801 16
                                    

Prilly Shafira Kayyandra

Hi, terima kasih untuk yang sudah baca, vote, dan komen ya. Itu tiket perjalanan cinta kami selanjutnya.

Sampai jumpa di bab Travel Love berikutnya jika ada vote dan komen dari kalian pembaca terkeren :)

Salam,

Prilly & Ali

"Prill, diem aja sih. Mulut lo abis digigit biawak ya?"

"Au sadis!" teriak Ali sambil mengusap lengannya yang kugigit.
"Tuh rasain digigik biawak!"

Kontan Ali malah tertawa cekikikan mirip bang Jali satpam kantor abis dapat hadiah lomba joget.

"Kok lo malah ketawa sih, Li?"

Mata indah Ali berair. Setelah mampu meredakan tawanya, Ali tersenyum jail kepadaku.

"Barusan lo ngakuin kalau lo biawaknya,"

"Jahat!" dengusku kesal. "Gue biawak terus cewek yang tadi marmut gitu maksud lo?"

"Cup cup jangan ngambek dong." bujuk Ali menyebalkan dengan gaya sok imut. Sangat tidak cocok dengan tubuh atletis dewa Yunani dia.

"Gue bukan ucup, Aliii ...."

"Ya udah nanti anak kita aja yang namanya Yusuf biar lo dipanggil Mommy Ucup di komplek." godanya jail.

"Aaa gue serius, Ali! Lo mah jahat! Gue disamain biawak nah si Tante Petasan itu malah marmut!"

"Ngaco! Kapan gue bilang dia marmut? Ya ampun, Prill, susah amat sih bikin lo percaya kalau gue sama Aura yang tanpa kasih itu cuma sebatas partner waktu masih di Jawa Post. Ga lebih. Soal candaan dia buat jadi bapak tiri anaknya, coba otak lo yang cumlaude itu dilogikain deh. Ada cewek cantik, single, walaupun galak dan bawel skala akut di samping gue ngapain gue milih petasan banting? Sekalipun yang di samping gue sekarang ga kalah sama meriam bambu sih."

"Siapa tuh cewek, Li?"

"Mommy anak gue yang sempat ditahan petugas bandara!" Kerlingnya jahil. Kontan kupukul pelan lengannya. Ali tertawa keras disusul mas Suryo di kemudinya.

Aku hanya mampu mengulum senyum. Malu dengan Mas Suryo juga malu mengingat kejadian saat perempuan masa lalu Ali tadi terang-terangan meminta lelaki di sampingku ini menjadi ayah tiri anaknya.

"Mas, sudah sampai." ucap Mas Suryo menyadarkan kami dari pikiran masing-masing.

Tepat ketika pintu rumah dibuka Amma, terdengar suara aneh dari perut Ali.

"Perut kamu kenapa, Li?" tanya Amma bingung.

Ali malah nyengir tak karuan. "Laper, Ma. Tadi batal makan siang gara-gara mantu Amma ngambek nih." jawabnya asal sambil melirikku.

"Lagian tadi pakai acara kejebak masa lalu dulu." protesku.

"Ya Tuhan, Prilly! Hih! Dibilangin gak ada apa-apa, masih aja dibahas. Tau ah susah ngomong sama mantan mantu menteri, ngajak adu argument mulu." sindir Ali sambil berlalu meninggalkanku dan Amma di depan pintu.

"Udah gak usah dipikirin, Nak. Ali emang gitu kalau laper. Nanti juga baikan sendiri. Masuk yuk." nasihat Amma menenangkan. Aku mengangguk.

***

Ali masih diam ketika kami menyantap masakan Amma di menja makan. Bergaya sok sibuk dengan ayam goreng di piringnya. Menyebalkan. Belakangan aku baru mengenal sisi lain Ali yang posesif usai "lamaran" terselubung dari Amma saat kami di kebun apel waktu itu.

Handphone milikku berdering. Ali menghentikan suapannya. Menatap tajam saat aku akan beranjak dari kursi.

"Siapa?" tanyanya begitu datar dan dingin.

"Orang kantor." jawabku singkat ketika melihat ID call adalah Widhi.
"Kalau orang kantor kenapa ngangkatnya harus menjauh?Di sini kan bisa."

Aku menghela nafas. Ali benar-benar menyebalkan hari ini.

"Gue telepon balik abis kita makan siang daripada lo curigain begini." putusku akhirnya.

Ali tak menjawab, ia justru kembali sibuk dengan makanan di piringnya. Hanya aku dan Amma yang mengobrol sembari sesekali berbagi cerita.

***

"Udah selesai nostalgianya?"

Suara Ali tiba-tiba di belakangku. Tadi Widhi kembali menelepon usai makan siang dan kupilih untuk mengangkatnya di teras rumah panggung Amma yang mirip balkon ini.

"Siapa yang nostalgia sih, Li? Widhi cuma ngasih tau akan ada tahlilan mengenang kakeknya di rumah. Ngundang kalau bisa datang karena Mama mau ngobrol udah lama ga ketemu. Itu aja."

"Yakin gak ada yang lain?" Ali menatapku curiga.

"Gak! Lo kenapa sih, Li? Curigaan bener kayak gue ini pengedar batu akik curian aja!"

"Gue cuma gak yakin Widhi bisa melepas lo secepat ini, Prill." lirih Ali sambil menyandarkan tubuhnya di pagar teras.

Mustahil kukatakan pada Ali yang sebenarnya. Bisa makin runyam suasana hati lelaki galau ini.

Ampun deh Ali, gara-gara sistem kerja random begini mood dia ikut kacau. Susah ditebak dan rada sensitif.

"Gue belum bisa ikat lo dengan status pacar, Prill. Bagi gue komitmen pacaran itu terlalu rapuh kalau tanpa kepastian kapan disahkan. Kita udah sama-sama dewasa, hubungan juga harus jelas destinasinya. Ada perasaan keluarga yang juga harus dijaga. Sekarang gue cuma berusaha segel hati sampai lo sendiri siap untuk sepenuhnya memulai kisah baru bareng gue di depan ayah lo." tegas Ali melegakan.

Aku mengangguk. Kami sepakat tak ada status pacaran. As you know, aku baru selesai dengan Widhi. Ini bukan masalah ga bisa move on, tapi menetralkan hati dari orang yang bertahun-tahun jadi bagian hidup kita itu jelas ga mudah. Belum lagi kedekatanku dan keluarga Widhi membuat interaksi kami cukup intens dan tentu saja ada kenangan juga di sana. Aku memahami Ali dengan prinsip yang dia pegang teguh. Ali pun begitu.

Terlepas apa pun hubungan kami berdua, komitmen aku dan Ali tetap jelas. Hati kami sama-sama disegel sampai saatnya siap mengucap janji atas nama Tuhan. Aku tahu dia laki-laki sebaik Papa, memperlakukan dan menjagaku dengan segala mampunya.

"Prill,"

"Hmmm ...."

"Someday, enak kali ya kalau kita tinggal di Batu?"

"Ogah! Lo pikir gue Patrick yang tinggal di batu? Dan lo tinggal di rumah nanas gitu, Li?"

"Haih oneng lo kok kumat sih? Dasar otak kartun! Maksud gue tinggal di kota Batu Malang, nyonya!" sungutnya tak sabar. Aku tersenyum berhasil mencandai Ali.
"Ya salah lo sendiri ngomong gak lengkap. Kan jadi ambigu maknanya, Li."

"Tau ah! Susah debat sama reporter semuanya kudu lengkap."

"Cup cup ngambek aja sih, Daddy?" godaku iseng sambil mengusap lengan Ali.

"Ucupnya masih di surga, Mommy. Belum bisa diselundupin kalau kita belum halalan toyibah." kelakar Ali sambil tertawa.

Perlahan matahari mulai meluruh di balik perbukitan. Ali merengkuh kepalaku ke atas pundaknya. Ada yang kami pikirkan bersama. Tentang permintaan Amma juga kemungkinan kejujuranku pada keluarga Nurcahyo Halim nantinya. Betapa perjalanan mampu mengubah banyak hal ternyata, termasuk takdir hati kami berdua. Aku dan Ali tentu saja.

"Kita hadapin bareng-bareng. Karena perjalanan bukan cuma tentang ke mana pergi, tapi juga dengan siapa? Gitu juga sama perjalanan hati kita, Prill." ucap Ali menguatkan seraya membelai rambutku. Mengecupnya sebentar. Hangat dan menenangkan.

Travel LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang