20. Dosa Masa Lalu

4.1K 412 17
                                    

Yusuf Erlandigo Syarief

Tapak Tuan, Aceh

"Kenapa celingak-celinguk, Go? Nyari Sisi?" tembak Bang Din tepat sasaran. Aku tersenyum kikuk.

"Sisi masih di RS, Go. Kena dinas pagi dia, paling sebentar lagi pulang. Kita ketemu Abi sama Ummi dulu yuk!"

Aku mengekor Bang Din ke arah halaman belakang rumah. Terlihat di sana seorang lelaki sibuk menyembelih ayam dan perempuan memetik sayuran di kebun kecil mereka.

"Bi, Mi, tamu istimewanya udah dateng nih!" teriak Bang Din.

"Ajak istirahat dulu, Din. Abi lagi bersihin ayam buat dimasak Ummi."

"Bang, gue ga enak deh jadinya. Masa demi gue Abi lo harus potong ayamnya?"

Bang Din terkikik. "Emang gitu adatnya, masak ayam tangkap mah tangkap sendiri, Go. Udah ah jangan gegayaan ga enak kayak sama siapa aja deh. Istirahat dulu lo. Jakarta-Aceh bukan kayak gerbang Monas sama monumennya."

"Deket, Bang, kalau dijalaninnya pakai hati." kelakarku asal.

"Baik-baik bahas hati, nanti kena sendiri ..."

***

Ya Tuhanku! Hampir saja aku tertelan ceker ayam tangkap saat perempuan mata biruku tiba di meja makan. Matanya menatap kaget ke arahku.

"Uda Yusuf?" pekiknya refleks.

Aku tersenyum menyembunyikan kegugupan.

"Ah, Bi, Mi, Din lupa menceritakan. Digo ini urang awak, nama lengkapnya Yusuf Erlandigo Syarief. Sisi aja sih yang manggil Uda Yusuf tau tuh biar kayak sejoli Nabi Yusuf sama Zulaikha kali ...."

"Bang Din!" geram Sisi bersemu merah.

"Minangnya di mana, Nak Yusuf eh Digo?" tanya Abi gelagapan.

"Panggil mana yang Abi enak aja saya ga apa-apa." sahutku. Beliau mengangguk. "Ayah saya asalnya dari Bukittinggi, Bi. Merantau ke Jakarta jadi fotografer."

"Sama seperti Nak Digo ya? Ummi dengar dari Din kamu juga kerja sebagai fotografer majalah ternama. Oh ya, beberapa foto kamu, Din, dan Sisi juga ada Ummi liat di kamar Sisi. Kata Sisi sebagian hasil jepretan Nak Digo. Bagus sekali ...."

Aku menunduk malu dipuji berlebihan begitu. Sedangkan Sisi dia hanya mengalihkan pandangan, seolah tak sudi bertatapan denganku. Aku paham, ada kecewa tak terbayar yang pernah kutinggalkan di hatinya.

"Si, habis ini temani Uda Yusufmu ke situs Tapak Tuan Tapa ya? Abang harus balik ke kantor dan jemput Kak Nur." perintah Bang Din tanpa memberi kesempatan Sisi membantah.

Aku ikut menghela napas. Apa boleh buat, mungkin di perjalanan nanti sekalian kami bicara.

***

"Si, masih tak sudi rupanya kamu menatap wajahku. Sebegitu menjijikankah aku sampai kamu berpaling sejak tadi?" keluhku lirih. Sisi mendongak. Matanya yang tadi di buang memandang laut lepas dari atas karang yang membentuk telapak kaki raksasa itu akhirnya mau menatapku.

"Untuk apa Uda Yusuf ke sini?"

"Awalnya untuk memenuhi tugas liputan. Tetapi lebih dari itu, aku ingin meraih maafmu, Si. My blue eyes."

"Apa tidak ada penyesalan di hati Uda selama ini sampai baru menemui Sisi sekarang?"

Aku menghirup napas berat. Kesalahan itu terlalu fatal. Aku merenggut apa yang bukan hakku pada diri Sisi. Kupikir itu sesuatu yang biasa jika kita bicara kehidupan metropolitan, tetapi ternyata bagi Sisi ini perkara tak termaafkan.

"Andai kamu tahu, Si, penyesalan dan rasa berdosa itu abadi hingga detik ini selama kamu belum memaafkanku. Ampuni aku yang pernah merenggut itu darimu padahal aku tidak berhak. Aku pikir dengan begitu kamu akan percaya bahwa aku mencintaimu. Tetapi bodohnya, aku baru paham bahwa cinta yang sebenarnya adalah menjaga bukan merenggut sebelum waktunya."

"Sisi maafkan Uda Yusuf kalau begitu." ucap gadis bermata biruku melegakan. "Apa pertanyaan Uda dulu masih perlu jawaban?"

Belum sempat kutimpali, handphone yang kusimpan dalam saku berdering. Dari Sisi. Segera kuangkat sebelum ia curiga macam-macam.

"Udah nyampe Tapak Tuan, Yang?" tanyanya lembut. Aku sedikit kaget, tumben ia tak mencecar.

"Udah, Lol. Tadi siang handphone-ku lowbatt jadi ga bisa langsung kabarin kamu. Masih di RS?"

"Ga, ini lagi di kafe bareng temen-temen angkatan pada ngajakin ngumpul."

"Bareng Dokter Ben kamu?" selidikku.

Sisi terkikik di seberang sana. Dasar menyebalkan!

"Hehehe iya, Cup. Ga apa-apa kan? Tadi kebetulan kita kelar shiff bareng. Lagian aku sama Ben kan emang temen satu blok dari kuliah dulu." kilahnya. Aku mendengus.

"Terserah deh ya, susah mau ngelabrak juga aku jauh gini."

"Ih ya Tuhan, posesifnya! Cuma hangout, sayaaang ... Rame-rame pula. Udah dulu ya, kamu buruan kelarin liputannya biar cepet pulang. Inget! Jangan selingkuh kalau ga mau nyampe Jakarta aku sunat ulang!" ancam Sisi yang justru membuatku tertawa. Dasar dokter dodol!

Tepat ketika hp kembali kumasukkan ke dalam saku celana, Sisi mata biruku telah menatap dengan penuh tanya. Hatiku berdesir sekaligus sesak. Bagaimana ini? Tegakah aku membuatnya kembali terluka? Perasaan itu masih ada. Rasa ingin melindungi dan selalu membuatnya bahagia. Tetapi di bagian lain, ada hati perempuan lain yang harus kujaga agar tak tergores apalagi sampai retak. Sisi lollipopku yang manis, manja, dan terkadang menyebalkan itu.

"Maafkan Uda, Si ..." ucapku lirih. Mata birunya memandang nanar seakan menjelma tikaman di ulu hatiku.

"Sisi yang terlambat menjawab pernyataan Uda Yusuf atau kesabaran Uda telah gugur di ambang batas?"

"Si, perasaan itu masih ada. Keinginan untuk melindungi dan membuatmu bahagia. Tetapi di pihak lain ada hati yang harus Uda jaga. Dia adalah kamu dalam versi berbeda, Si."

Kening Sisi mengernyit. Kusodorkan handphone-ku padanya. Wallpaper di sana adalah fotoku dan si Lollipop saat kami liburan di Bali. Sisi membelalak, matanya menatap tak percaya.

"In ... ini?" Jemari Sisi menunjuk foto di layar ponselku. Kerudungnya melambai diterpa angin senja.

Aku mengangguk. "Ya. Namanya Sisi. Princessa Lollia Halim, dia yang barusan menelpon Uda. Padanya Uda belajar melebur rasa bersalah karena merenggut apa yang kelak menjadi hak suamimu. Walau Uda sadar mustahil mengubur rasa bersalah itu, karena setelah pertemuan di Yogya kamu sama sekali menghindari Uda. Tak terhitung email dan usaha Uda mengontakmu, sedangkan kontak Bang Din juga baru Uda dapatkan dari teman komunitas sesaat sebelum ke sini. Si, haruskah Uda melukai dia untuk menebus kesalahan padamu?"

---

Edisi galau semuuaaaaa ...

Sandiwara Hati, si Ali nyawanya gantung

The Conversation, si Prilly terluka

Behind The Gun, si Ali patah hati dan Prilly bimbang

Hmmm ...

Travel LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora