Berteduh

249 14 0
                                    

Ketika memutuskan untuk berteduh di salah satu toko yang sedang tutup, aku tidak sendirian di situ. Sudah ada seorang laki-laki yang juga berteduh di situ. Ada motor yang diparkir tidak jauh di depannya, mungkin motornya. Kedatanganku membuatnya bergerak menjauh beberapa senti, memberiku ruang. Kemudian dia melanjutkan memandangi langit hujan dengan tatapan kosong. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kulitnya.

Aku sendiri hampir gusar karena hujan ini datang tanpa memberikan tanda-tanda. Sebisa mungkin kulindungi beberapa lembar fotokopi dokumen ini agar tidak basah. Kantung plastik sudah cukup melindunginya, tapi aku harus tetap berhati-hati. Ini dokumen penting!

"Rapatnya nanti dimulai jam berapa, Mbak?" laki-laki itu tiba-tiba memecah keheningan. Kalau bukan karena suaranya, mungkin aku tidak akan menyadari kalau laki-laki itu adalah rekan kerjaku. "Walaupun jarak kantornya sudah dekat, kalau hujannya sederas ini, bisa basah kuyup kita!"

Aku menyetujuinya. Hujan sederas ini biasanya tidak lama. Jadi berteduh adalah keputusan yang lebih baik daripada memaksakan diri berlari menembusnya.

"A-awas, Mbak!" pekik laki-laki itu yang serta merta berdiri di depanku. Kedua tangannya memegang kuat pundakku. Kemudian cipratan genangan air mengenai kami berdua. Kami hanya bisa memandangi punggung mobil yang terus melaju meninggalkan kami berdua. Dia penyebabnya.

Laki-laki itu menggumam karena bagian belakang celananya yang basah dan kotor. Dia kecewa, tapi tak lama kemudian dia tertawa kikuk di depanku, mengatai dirinya sendiri sedang ngompol. Aku ikut tertawa, meskipun harusnya aku ikut sedih karena celananya yang kotor. Aku ikut tertawa, meskipun harusnya aku ikut marah pada mobil yang lewat seenaknya tadi. Aku ikut tertawa, meskipun aku tak mengenal nama laki-laki itu. Dan kami berdua hanya bisa menunggu kembali sampai hujan ini menjadi cukup aman untuk ditembus.

[Kumpulan Flash Fiction] Sepotong Adegan: HujanWhere stories live. Discover now