Part 17

1.3K 187 10
                                    

Taylor berulang kali memutar posisi berbaringnya namun, dia tak kunjung dapat tertidur. Taylor menghela nafas dan memaksakan dirinya untuk tertidur, sampai suara decitan pintu terdengar. Taylor yang berbaring miring memunggungi pintu diam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mendengar suara langkah seseorang.

Tanpa banyak berpikir, Taylor bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk di ranjang. Kemudian, barulah Taylor tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam kamarnya-kamar Harry maksudnya. Taylor diam sejenak. Yang masuk adalah Harry, sang pemilik kamar.

"Hei, maaf membuatmu bangun. Aku..aku ingin mengambil charger. Ponselku mati." Harry beralasan, merasa bersalah karena Taylor terbangun. Harry mengira jika dia terlalu berisik sehingga mengganggu tidur Taylor padahal, Taylor belum tidur.

"Kau belum tidur, Harry?" tanya Taylor, tanpa menghiraukan alasan Harry tadi. Harry diam sebelum menggeleng. "Belum. Aku tak bisa tidur." Jawab Harry pada akhirnya, setelah meraih charger ponselnya yang ada di atas meja di samping ranjang. Taylor menghela nafas. "Aku juga tidak bisa tidur. Padahal, besok aku harus berangkat ke sekolah."

Harry menghela nafas dan duduk di sisi ranjangnya. "Maaf membuatmu kurang nyaman berada di sini. Aku selalu merepotkanmu." Taylor menggeleng dan tersenyum tipis. "Tidak, Harry. Bukan karenamu sama sekali. Akhir-akhir ini, insomnia-ku memang semakin parah. Aku sulit tidur, di manapun itu."

"Benarkah?" tanya Harry, mengangkat satu alisnya. Taylor mengangguk, berusaha meyakinkan. "Ya. Aku jarang tidur akhir-akhir ini."

Harry mengangkat satu alisnya. "Kau harus tidur yang cukup, Taylor. Kau bisa sakit jika membiasakan diri seperti itu. Insomnia-mu muncul pasti karena sebuah alasan." Harry menautkan alisnya. Taylor diam sejenak sebelum berkata, "Akhir-akhir ini, banyak yang mengganggu pikiranku. Kau tahu sendiri aku sensitif. Masalah sekecil apapun yang menurut orang tidak begitu penting, itu penting menurutku."

Harry menundukkan kepala sesaat. "Soal Brian juga, kah? Aku tahu dia pasti menyita pikiranmu juga. Maafkan putraku."

Taylor menggeleng. "Tidak masalah. Ya, salah satunya Brian. Lagipula, bukan salahnya ataupun salah siapapun. Memang aku saja yang terlalu menganggap serius apapun yang terjadi." Taylor terkekeh. Harry tersenyum tipis.

Sesaat kemudian, senyuman Harry lenyap. Harry menatap lekat ke arah Taylor. "Tay, tentang ucapanmu di mobil tadi..." Harry menggigit bibir bawahnya, berusaha menimbang apakah dia harus bertanya seperti itu atau tidak. Taylor menghela nafas dan menyandarkan punggungnya. "Kau tahu? Akhir-akhir ini, aku mulai merasa ragu tentang hubunganku dan Zayn."

Harry menggigit bagian dalam pipinya. Taylor menatap lurus ke depan, senyuman tipis tampak menghiasi wajah cantiknya. Taylor mengedikkan bahunya. "Sejak Zayn membuka galeri di London, entah kenapa, aku merasa, perlahan namun pasti, dia melangkah menjauhiku." Taylor menundukkan kepala dan terkekeh. Tapi, Harry tahu, gadis itu pasti tengah mati-matian menahan tangis.

"Sekarang, aku tengah menyiapkan mentalku dengan baik, supaya saat dia benar-benar meninggalkanku, aku sudah siap dan tidak akan menangis." Taylor menambahkan dengan nada bergetar. Harry menundukkan kepala. Harry tak tahu kenapa, rasanya dia ikut merasakan apa yang Taylor rasakan. Menyakitkan.

Harry menegakkan kembali kepalanya dan tersenyum kepada Taylor. "Zayn tidak akan meninggalkanmu, percayalah. Aku bersahabat dengannya sejak lama dan aku tahu bagaimana sifatnya. Dia setia. Dia tidak akan berkhianat. Dia paling tidak bisa melihat orang di sekelilingnya bersedih. Dia sensitif, sama sepertimu. Jadi, percayalah padanya." Harry berusaha meyakinkan Taylor. Harry tahu betul sifat dan sikap sahabat karibnya itu. Harry yakin, Zayn tidak akan pernah menyakiti Taylor.

"Jika dia benar-benar menyakitimu, kau...kau bisa menghubungiku, Taylor. Aku akan memastikan jika aku adalah orang pertama yang memukul dan menyadarkannya nanti." Harry tersenyum lembut kepada Taylor. Taylor terkekeh geli. "Apa kau lupa jika Zayn pemegang sabuk cokelat di karate? Masih berani menghadapinya?" goda Taylor.

StarlightWhere stories live. Discover now