Bunuh hayati bang

911 62 26
                                    

Dengan cepat, Ara menyambar cardigan pinknya yang menggantung dibalik pintu kamarnya. Dia keluar dari kamar sambil memakai cardigannya.

Ara seperti orang kesurupan. Dia menuruni tangga rumahnya dengan langkah terburu - buru hingga bunyi sendal rumahnya terdengar begitu jelas dirumah itu.

Hap

Nyaris.

Jantung Ara berdetak kencang ketika dirinya nyaris jatuh dari tangga rumahnya sendiri. Untung ada tangan yang memegang kedua bahunya dengan cengkraman yang kuat.

"Lo mau mati hah?"

Ara berbalik menghadapan belakang. Dan mendongak keatas. Kak chintya...

Dia menatap Ara dari atas sampai kaki, lalu pandangannya menyipit. "Mau kemana lo?" tanyanya mengintrograsi Ara.

Ara memandang kakaknya itu seolah -olah ingin memakannya. Dia buru - buru. Akhirnya Ara berbalik untuk kembali menuruni tangga namun lengannya dicekal oleh Chintya.

"Heh ditanyain juga!" bentak Chintya. Ara membalikkan badannya menghadap Chintya.

"Pokoknya ntar kalau mama sama papa udah pulang dari kondangan, bilang aja gue pergi sama temen bentar."

"Temen siapa?"

Deg

Ara mendadak diam, lalu menundukkan wajahnya. "Kak Putra yang depan rumah."

Chintya tertawa sinis. "Jangan bilang dia yang bikin lo nangis tadi sore."

Jleb

"Eng-engga kak."jawab Ara tersendat - sendah dan dengan volume yang begitu pelan.

"Jangan boong. Udah sana balik kekamar, gue gak ngizinin."

Ara berbalik memunggungi Chintya. "Gue bukan anak kecil lagi. Jangan larang - larang gue."

"Ohhh gitu. Yaudah. Tapi kalau dia bikin lo nangis lagi, suruh dia kesini."

Remuk Kak Putra sama Kak Chintya.

Ara ketar -ketir. Kakaknya memegang sabuk hitam dalam karate. Nyari mati kalau sampe Putra berhadapan dengan Chintya.

"Gak usah ikut campur kak. Gue bisa jaga diri gue sendiri."

Gue... bisa.

Gue... bisa.

Gue... bisa.

Ara berulang kali berkata seperti itu dalam hati.

Memanas, hati Chintya memanas mendengar perkataan adik satu - satunya. Padahal ia hanya ingin menjaga adik yang sangat ia sayang. Tapi... Ara semakin lama, semakin... tidak perlu segala perlindungannya.

Hening.

Akhirnya Ara menuruni tangga tanpa menengok sedikit pun ke arah Chintya dan langsung membuka pintu rumahnya. Hawa dingin menerpa kulit wajah Ara. Sunyi, hanya ada suara jangkrik yang menjadi teman saat Ara berjalan menuju lokasi. Langkahnya tergesa. Yang terpenting dia sampai disana dengan cepat. Tanpa berpikir bagaimana hatinya nanti.

☆☆☆

Cup.

Jantung Ara berdegup kencang, keringat dingin membanjiri tubuhnya.

"Aku mau kok kak jadi pacar kakak."

Ia tak percaya.

Apa yang dilihatnya membuat Ara nyaris jatuh ke tanah. Ia mencengkram pagar taman dengan kuat. Meminta pertahanan agar ia mampu berdiri tegak.

DinaraWhere stories live. Discover now