BAB 2 - A

14.1K 679 21
                                    


BAB 2 - A


Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, mobil Pak Woles akhirnya sampai juga di rumah yang dituju setelah melewati dua buah belokan jalan raya, yaitu belok kiri dan kanan.

RUMAH INI DIKONTRAKKAN.

Sebuah tulisan berhuruf arial black tergurat di atas papan triplek kecil berbentuk persegi dengan bingkai bunga yang terpampang jelas menggantung di depan pagar rumah yang hendak dikontrakkan.

Besar bangunannya hampir sama dan bertingkat pula. Hanya saja rumah ini memiliki halaman sedikit lebih luas dari rumah yang berdekatan dengan area pemakaman tadi.

Semua penumpang yang berada di dalam mobil kemudian turun untuk melihat-lihat dari luar. Hanya Tarso saja yang merasa ogah-ogahan buat turun dari mobil setelah melihat rumah yang dimaksud Pak Woles.

Bu Woles memperhatikan isi dalam pekarangan dari luar pagar. Ada sebuah pohon mangga yang rimbun sehingga membuat teduh dikala matahari terik, hanya saja daun-daun yang berguguran dari dahannya tampak berserakan dibiarkan begitu saja rebahan di tanah.

"Ayah, sayang banget ya. Daunnya banyak yang berjatuhan."

"Loh memangnya kenapa, Bu?"

"Coba kalau buah mangganya yang berjatuhan, kan lumayan bisa kita pulungin buat rujak."

"Ah, Ibu larinya ke makanan melulu. Tapi kira-kira bagaimana, Ibu suka nggak?"

"Kayaknya Ibu bakal suka deh, teduh kelihatannya. Coba Ayah tanya Kang Tarso tahu nggak soal rumah ini?"

Tarso yang sedari tadi turun dari mobil, hanya berdiri saja bersandar di samping mobil tidak mendekat. Wajahnya memperlihatkan raut ketidaksenangannya terhadap rumah tersebut.

"Kang Tarso sini, kenapa diam di sana!" panggil Pak Woles menggerakkan tangannya.

Dengan ogah-ogahan Tarso menghampiri Pak Woles. Semilir angin mulai berhembus meniup tengkuk leher yang membuatnya bergidik.

"Iya nih, Kang Tarso kenapa sih kok sekarang mendadak jadi pendiam. Kang Tarso tahu soal rumah ini, tidak?" tanya Bu Woles.

"Maaf, Bapak–Ibu. Kalau bisa kita cari rumah yang lain saja, jangan yang ini," kata Tarso.

Pak Woles mengernyitkan dahinya seraya berkata, "Memangnya kenapa? Kang Tarso tidak tahu soal kontrakan rumah ini ya?"

"Rumah yang mau dijual dan dikontrakan di wilayah ini semuanya saya tahu, Pak!"

Tarso menyeka wajahnya yang tampak berkeringat. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak.

"Wah hebat bisa tau semua!" puji Pak Woles.

"Iyalah, tau. Soalnya daerah sini masuk rute jualan keliling saya juga," jawab Tarso.

"Lalu mengapa Kang Tarso tidak menawarkan rumah ini? Tempat ini sepertinya enak. Apa karena sewa kontraknya mahal yah sehingga tidak ditawarkan ke kita?" ucap Bu Woles.

"Justru biaya sewa kontrakan rumah ini lebih murah, Bu."

"Loh kalau murah kenapa tidak ditawarkan ke kami?"

Tarso lalu membalikkan tubuhnya membelakangi sepasang suami-istri itu. Wajahnya menoleh sedikit ke samping.

"Saya sengaja tidak menawarkan rumah ini karena isunya di dalam rumah tersebut ada jurignya-- ada setannya loh!"

Langit mendadak gelap dengan suara gemuruh petir yang membahana, "JELEGUUR..."

"Hah setaan?!"

"Tuhkan, Ibu juga takut," kata Tarso membalikkan kembali tubuhnya dengan intonasi meledek.

"Siapa juga yang takut, ini ekspresi...! Ekspresi loh, Kang Tarso."

"Beuuh, kalau bukan takut, lalu kenapa Ibu tidak mau tinggal di rumah yang dekat kuburan tadi?"

"Kang, bukannya nggak mau. Tapi nggak enak aja kalau pas menatap pemandangan sekitar ada kuburan, mendingan dekat mall bisa langsung shoping. Begitu..."

Langit kembali cerah setelah kumpulan awan hitam yang menghalangi mentari menyingkir.

Tarso lalu mengalihkan pandangannya kepada Pak Woles, "Jadi intinya seperti itu, Pak. Rumah ini ada setannya, setiap orang yang mengontrak di rumah ini tidak pernah ada yang sampai tamat satu tahun penuh. Soalnya suka diganggu sama jurig-jurig yang ada di sini!"

"Masa sih ada setannya? Padahal tempatnya sudah enak, istri saya juga suka dengan suasananya," ungkap Pak Woles.

Disaat mereka bertiga sedang serius membicarakan soal rumah yang akan dikontraknya, ada satu hal yang membuat mereka sampai terlupakan. Keberadaan Meikel-- anak Pak Woles yang paling kecil tidak ada di antara mereka.


***


TUNGGU LANJUTANNYA...

#Jangan lupa komentarnya ya

@andhikawandana


KONJUR ( Kontrakan Jurig )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang