Bagian 11(Pregnant)

15.1K 1.2K 160
                                    

            Aku tak pernah merasa jauh lebih seperti sekarang ini, semenjak hari itu, hari dimana aku bertukar cincin dengan Julian. Aku takkan pernah bisa melupakan setiap detiknya juga kejadiannya, hari dimana aku terbangun dan melihat Julian berbaring di sampingku, dia masih memejamkan matanya, satu tangannya memeluk pinggangku, lalu saat aku tak sengaja bergerak dia terbangun, membuka mata, melihatku, aku tahu hari itu waktu itu, dia berusaha keras untuk menahan diri. Meskipun akhirnya dia gagal untuk tidak menyentuhku kembali. Dan entah mengapa, meskipun itu membuatku lelah, tapi aku menyukainya. Serius.

Apakah aku sudah gila? Mungkin saja!

Ini mungkin sudah lebih dari dua puluh hari semenjak Julian membawaku menuju rumah pohonnya. Semakin kesini, aku semakin banyak mengerti tentang Bixon, bahkan ada beberapa hal yang secara otomatis kuketahui dengan sendirinya. Aku juga akhirnya tahu bahwa ternyata Sang Raja meninggal karena sakit saat Julian dan Igneras masih sangat kecil, itu pasti sudah sangat lama, aku berfikir tentang Ratu Lavina yang begitu kuat hidup sendirian membesarkan anak-anaknya selama ratusan tahun. Lalu aku juga berfikir tentang Julian yang tak besar tanpa mendapat banyak kasih sayang dari seorang ayah, itu mungkin yang menjadi penyebab mengapa dia begitu dingin dan agak kaku.

Belakangan ini, aku banyak berlatih bersama Lady Cara, dia membuatku merasa cukup nyaman dengannya, meskipun terkadang Lady Cara bisa berubah menjadi sosok yang tegas. Aku tak jarang bercerita tentang suasana hatiku saat kami latihan, Lady Cara memang tak banyak komentar, tapi harus kuakui dia pendengar yang baik dan juga sabar.

"Kurasa sudah cukup, setelah ini kau sudah bisa berlatih sendiri," ucap Lady Cara di belakangku.

Aku sedikit mendesah kecewa, dan akhirnya menurunkan kedua tanganku yang semua terulur ke depan, perlahan memandu beberapa gumpalan daun, mengendalikan mereka seperti angin yang mengendalikan gerak layang-layang. Saat aku menurunkan kedua tanganku, saat itu pula gumpalan daun itu berterbangan, pergi mencari tangkai mereka masing-masing lagi.

"Apa maksud kalimat tadi?" tanyaku saat aku berbalik menatap Lady Cara. Dia begitu tegap, anggun, rambutnya coklatnya di kepang ke samping, membuat penampilanya terlihat begitu berkelas.

"Tugasku sudah selesai, kau berlatih cukup baik, selebihnya adalah tentang bagaimana kendali emosimu sendiri." ucapnya tersenyum tipis, lalu dia berjalan duluan menuju gedung utama istana.

Aku mengikutinya, menyamai langkahnya, "jadi, itu artinya kau sudah tidak kesini lagi untuk mengajariku, Lady?" tanyaku sedikit kecewa. Aku pasti akan sangat merindukannya. Dia itu guru yang keren.

"Aku juga punya kepentingan lain, Sychelles. Tapi, tentu aku akan sering berkunjung kemari untuk mengunjungimu, " dia menoleh melemparkan senyum khasnya. Aku tak pernah tahu apa arti dari senyum itu, senyumnya begitu berbeda dari kebanyakan senyum orang lain.

Aku membalas senyumnya. "Aku tak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Lady Cara," ucapku tulus. Aku menunduk, menatap beberapa tanaman sejenis rumput yang menari-nari menggeletitik ujung gaunku, mereka seolah menyapaku dan aku membalasnya dalam hati. Aku merasa seperti terhubung dengan segala jenis tanaman yang kulewati.

Saat kami hampir memasuki gedung istana, Lady Cara berhenti, aku juga spontan berhenti. Dia berbalik padaku dan menatapku lurus, "kau tak perlu melakukan apapun untuk berterima kasih, Sychelles. Ini sudah tugasku," ucapnya dengan aksen kebangsawanannya. Satu tangannya terulur menyentuh bahuku, dan dia sempat memberiku senyum khasnya lagi, sebelum akhirnya berjalan ke arah lain, seperti menuju ke bagian barat istana, mungkin dia ada keperluan lain di sana, aku dengar Lady Cara cara juga tergabung untuk melatih para prajurit melatih kemampuan mereka, itu artinya ia pasti sering bertemu Julian.

The Last SaverWo Geschichten leben. Entdecke jetzt