Part XVIII

154 25 7
                                    

                  

Mataku terbuka dimana jarum jam menunjukkan angka 9. Aku tidak perduli, ini hari minggu, kan? Lagipula aku baru saja melakukan perjalanan yang cukup panjang. Oke, tolong katakan perjalanan dari Irlandia ke London cukup untuk dikatakan perjalanan yang panjang.

Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, aku keluar dari kamarku dan langsung menuju dapur. Saat itu juga aku melihat pria yang semalam mencium keningku sedang berkutik di salah satu kabinet. Jangan katakan kalau Niall sedang memasak!

"Hei, apa yang sedang kau lakukan, pirang?" Sambarku membuat Niall sedikit kaget.

"Sam, kau mengagetkanku." Benar, kan?

Aku terkekeh, "Kau memasak?"

"Mm-hmm."

"Kau bisa memasak?"

Niall tidak menjawab melainkan membalikkan badannya dan menghampiriku yang sudah duduk manis di bangku meja makan dengan membawa dua piring yang  berisikan roti bakar. "Ya. Aku mohon jangan protes dan nikmati saja sarapanmu ini."

Melihat apa yang ada di dalam piring, kemudian aku tertawa kecil, "Astaga, jadi pagi ini aku sarapan dari hasil masakanmu? Serius, ini namanya roti gosong, bukan roti bakar." Kataku lalu tertawa lagi.

"Kubilang jangan protes atau kubuang jatahmu itu."

"Ugh, aku takut."

"Berhenti bertingkah menyebalkan, roti ini gosong juga akibat kau yang bangun terlalu siang. Aku sudah tidak bisa menahan lapar, kau tahu!" Niall menggerutu lalu menggigit roti buatannya, namun sedetik kemudian ia mengernyit, "Tidak enak!" Lanjutnya membuatku tertawa.

"Oke, oke. Maafkan aku karena sudah terlambat membuatkanmu sarapan pagi ini, bagaimana jika kita sarapan dengan oatmeal saja?" Tawarku membuat Niall mengebangkan senyum di wajahnya.

"Ide bagus." Mendengar jawabannya, kemudian aku beranjak dari duduk dan mulai membuat sarapan untuknya.

***

Pukul 12 siang dan kini aku sudah duduk manis di mobil Niall. Ingat bahwa hari ini Niall harus membicarakan soal konsernya dan ia ingin aku ikut menemaninya? Sebenarnya aku malas, tapi tidak kupungkiri bahwa aku juga merindukan suasana kantorku.

Akhirnya kami sampai di gedung yang sudah beberapa hari ini tidak kudatangi, aku dan Niall turun dan segera menuju lantai dimana aku biasa bekerja.

"Samantha!" Tepat saat aku keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan Jeremy, seseorang memanggilku.

"Oh my god, Charlie!" Sahutku pada Charlie yang sedang duduk manis di meja kerjanya. "Niall, kurasa aku tidak akan ikut ke dalam, bagaimana jika aku menunggu disini saja?" Kataku pada Niall.

"Terserah." Jawabnya sambil berlalu meninggalkanku yang langsung memutar mata. Oh, sisi gilanya kembali lagi.

"Hei, apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kini kau berada di rumah dan menikmati hari minggumu bersama keluarga?" Tanyaku pada Charlie yang sedang mengutak ngatik laptop di hadapannya.

"Ya, itu harapanku. Tapi jika aku melakukan itu, siapa yang akan mengatur kegiatan Jeremy? Yang perlu kau tahu, semenjak kau tidak masuk kerja, aku yang menghandle pekerjaanmu."

Aku membelalakkan mataku mendengar ucapan Charlie, "Astaga, benarkah?! Ya tuhan, aku benar-benar tidak enak padamu, Charlie. Maafkan aku!" Kataku membuat Charlie terkekeh.

"Hei, tidak perlu kaku seperti itu. Aku menikmati pekerjaan ini, walau terkadang sulit." Jawabnya membuatku ikut terkekeh.

"Kau memang terbaik!" Kataku lagi sambil menepuk pundak Charlie.

Escape The FateWhere stories live. Discover now