Prologue

118K 643 18
                                    

Aku menghirup udara Jakarta dari gerbang terminal dua, Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ahhh leganyaaa bisa kembali ke tanah airku tercinta, kembali ke Indonesia, kembali ke Jakarta. Aku sekali lagi menarik napas panjang, menghirup kota tercintaku. Uhk uhk! Sialan, ternyata Jakarta makin parah aja, polusi bertebaran kemana-kemana.

“Aaaah... sampe juga.”

Aku menoleh mencari sumber suara yang cukup keras itu, ternyata tidak jauh dariku ada orang asing yang berdiri dengan menggunakan trench coat, menarik sebuah koper sedang, dan dia menggunakan kaca mata hitam.

Sesaat, aku merasa kalau pria itu lumayan tampan. Dan tanpa sadar aku jadi mengamatinya. Dari penampilannya sepertinya dia habis dari ke luar negri yang cuacanya lumayan dingin. Dilihat dari kopernya, dia sepertinya tidak bepergian lama sekali – karena kopernya sangat berbeda dengan koperku yang sangat besar – mungkin dia cuma bepergian untuk beberapa hari. Aku amati kembali wajahnya. Kini, ketika kupandangi baik-baik, bukan hanya lumayan tampan, tapi sangat tampan!

Mendadak dia menoleh dan menatapku – sebenarnya aku tidak tahu karena ia menggunakan kacamata, tapi kelihatannya sih begitu – sehingga membuatku tersadar karena sudah terlalu mengamatinya. Aku langsung memalingkan muka. Ehi, cosa c'è di sbagliato in me? [1]

Aku pura-pura melakukan sesuatu untuk menghilangi kegugupanku, karena dia tetap mengamatiku – Aku bisa merasakan itu! – maka aku pura-pura mengeluarkan smarthphone-ku dari crossbody bag dan memeriksanya. Tidak ada apa-apa, ya jelaslah! Nomornya kan masih nomor Italia, duh!

Ketika aku meliriknya sedikit, mau tahu apa pria itu masih menatapku, ternyata dia sudah tidak menatapku lagi. Aku menarik napas lega. Mungkin dia sudah memutuskan untuk tidak memedulikanku.

Mana sih taksi? Oh, itu dia.

“Taksi! Taksi!” panggilku kepada sopir taksi yang tidak jauh berhenti dekat aku berdiri.

Taksi itu kemudian berjalan mendekatiku. Tapi, ada seseorang yang mencegatnya. Lho lho lho??

Tanpa pikir panjang aku langsung menyeret koperku, mendekati taksi itu berhenti yang sudah di cegat oleh pria tadi!

“Eh itu taksi gue!” kataku kepada pria itu.

“Sorry, tapi gue yang udah masukin koper gue ke bagasi taksi. Jadi, ini taksi gue.”

“Apa?”

Dia menoleh menatapku, kemudian membuka kaca mata hitamnya.

Ya, Tuhan!

Dia tampan sekali. Hidungnya yang lancip, wajahnya yang putih dan lembut, dan bibirnya yang merekah indah!

Tapi tiba-tiba sorot matanya menyorotiku dengan tajam dari atas hingga ke bawah. Tatapannya seperti sinar laser yang menembusi tubuhku.

Dia tersenyum mengejek padaku. Dan aku kembali tersadar, bahwa aku sedang memprebutkan taksiku!

“Maaf yah Nona, tapi saya sedang buru-buru.”

Tanpa mengatakan apapun lagi – aku yang masih terpaku – dia langsung masuk ke dalam taksi dan taksi melesat dengan kecepatan tinggi, meninggalkanku yang tercengo-cengo di gerbang terminal 2.

“Arrggg dasar cowok nggak tahu sopan santun! Dasar cowok nyebelin!”

Aku menghembuskan napas panjang, kemudian menggiit bibir bawahku. Ternyata wajah tampan itu tidak pernah menjamin sikapnya yang gentle juga. Aku kan seorang gadis, harusnya dia ngalah dong, ladies first, right? Lagipula, aku kan yang memanggil taksi itu dulaaaan.

Moodku jatuh ketika harus memikirkan pria itu, duh aku itu kenapa sih, sudahlah, mungkin itu hanya kesialan kecil di Jakarta gara-gara pria yang tidak pernah mengenal kata ladies first.

Aku memanggil taksi kembali, kali ini bisa aku pastikan bahwa tidak ada lagi seorang pun yang mencegatnya.

***

[1] – Hey, aku tuh kenapa sih?

L'amore è Dolce, Fuzelle!Where stories live. Discover now