Chapter 16 : Full Of Jokes.

326 43 3
                                    


----

Harry's POV.

"Aku pamit." Ucapku lalu berjalan kearah pintu. Aku berhenti sejenak.

"Kau kenapa? Kau aneh, manis sekali padaku." Dia menatapku aneh.

"Ah, kau bisa saja." Aku mengedipkan mataku.

"Hentikan Mr. Harry. Aku jijik mendengarnya." Kini ia benar-benar jijik
-_- , memangnya ini kelewatan?

"Hey, panggil aku Harry."

Gadis itu mengangguk.

"Okay, aku pulang."

"Lagi pula siapa yang menginginkan kau lebih lama disini."

"Sial,"

Kami tertawa.

Lalu aku pergi ke ujung lorong diantara kamar-kamar apartemen itu dan masuk ke dalam lift.

Ah, sayang sekali aku tidak dapat mengorek informasi lebih dalam. Tapi ini awal yang baik. Batinku menyemangati.

Aku langsung menjalankan mobilku menjauhi apartemen gadis itu. Hatiku sedikit baik, tapi pikiranku sedikit sibuk.

Niat awalku adalah lansung pulang ke apartemenku, tapi aku pasti akan bosan disana sendirian, jadi aku memutar balik ke arah yang berlawanan, ke panti asuhan.

***

"Hey," Sapaku pada seorang gadis seumuranku. Gadis itu harus menggunakan kursi roda, kondisinya tidak baik setelah beberapa hari lalu para suster menemukannya sedang pingsan di lantai kamar mandi.

Ia membalas dengan senyum dengan sungguh manis."Kapan kau tiba? Kau lama tidak kemari aku merindukanmu."

"Aku juga, makanya aku datang kemari."

"Jadi, apa kabar?,"

"Baik, lalu bagaimana dengamu?," Tanyaku kembali.

"Yah... begini saja." Wajahnya berpaling.

Aku iba melihatnya. Gadis itu seumuran denganku, ia sakit. Leukimia menggerogoti kesehatannya, sejak dua tahun lalu. Dokter pernah memvonis bahwa hidupnya tidak lebih dari delapan bulan. Hey! Dokter itu pikir ia Tuhan?! Lihat sekarang, sudah dua tahun kanker akut itu menemani dan mendampingi hidupnya. Dua tahun sangat jauh dengan delapan bulan.

"Hey, kau tahu kau bisa sembuh bukan?,"

"Tidak Harry. Kau selalu menyuruhku menghindari kenyataan. Kau berdosa." Tawanya terdengar menyedihkan.

"Tidak! Bukan seperti itu. Kau harus yakin, Tuhan punya kuasa." Aku berlutut dihadapannya, menggenggam erat tangannya.

Airmata jatuh dipunggung tanganku. Aku menunduk. Lagi, aku membiarkan airmatanya jatuh. Aku gagal menahan air menyedihkan itu. Aku benci melihatnya seperti ini, merasa tidak diinginkan. Dasar bodoh!.

"Jangan menangis, kumohon."

Zee melepas genggaman tanganku lalu mengusap kedua pipi cekungnya. Lalu tersenyum, senyum yang sangat dipaksakan. Aku tersenyum melihatnya.

"Sudah kan?,"

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mendorong kursi roda itu, membawanya merasakan angin. Agar perasaamu yang kacau hilang.

"Kau jarang kemari. Apa kau sibuk?," Tanya Zee padaku.

"Ya, sedikit. Aku harus menyelesaikan tugas sebagai kelulusanku."

"Tugas seperti apa?,"

Kau tidak ingin tahu, Zee. Kau tidak akan suka jika ku katakan bahwa tugasku adalah mengetahui masa lalu buruk milik orang lain, seperti milikmu.

The Angel Without WingsWhere stories live. Discover now