Part 16: Sang Mawar Putih (Nisrina Saufa)

5.9K 313 38
                                    

mataku nanar melihat noda merah kental itu, kutegakkan wajahku hendak menyeru Dira agar lekas tancap gas, tapi yang kudapati adalah Nizam yang lekat menatap telapak tanganku yang kian banjir oleh darah yang mengalir dari telinga ibunya.

kutarik segera tanganku, dia menolehku lalu kuberikan senyuman setipis mungkin. datar...dia kembali menoleh kedepan sambil meraih kepala Nailah kepundaknya. aku merasa bersalah atas tindakanku yang panik sehingga darah itu terlihat olehnya. aku membeku menatap lurus kedepan, pada jurang-jurang dalam yang harus dilalui dua manusia yang masih lugu memandang dunia. ah, bisa saja aku yang terlalu naif memandang mereka, sedang apa yang mereka lalui jauh diluar batas yang dapat kubayangkan.

kami tiba dipelataran rumah sakit, Dira lekas keluar dan memanggil beberapa perawat yang kemudian membawa brancard. sejurus kemudian membawa tubuh lunglai Kak Rina masuk keruang IGD. Jantungku berdebar tak karuan, rasanya akan meloncat keluar. ku dekapkan kedua tanganku diwajahku, mengacak-ngacak wajahku dengan frustasi. apa...apa yang harus kulakukan.

Nizam tampak menelpon seseorang dengan handphone ibunya, sementara Nailah pulas dipangkuan kakakku. Saat seperti ini aku tak bisa terus begini aku harus menguasai keadaan, demi Nizam dan Nailah. aku tak bisa terus panik yang tak menimbulkan keuntungan sama sekali. tak membantu apa-apa.

Jariku mendial sebuah nomor telpon seseorang yang harus kuhubungi, seseorang yang bisa menenangkan jiwaku yang amburadul, porak poranda atau apalah namanya.

"Assalamu'alaikum Mira" suara Fatih diseberang sana segera menenangkanku.

"Walaikumsalam" jawabku gemetaran

"kamu kenapa Mira?" dia mulai panik.

"Fatih, temani aku dirumah sakit" rengekku.

"Rumah Sakit? kamu sakit Mir?" Fatih lebih panik lagi.

"bu...bukan,, bukan aku Fatih tapi Kak Rina?"

"Kak Rina siapa Mir?"

"ah, kamu mau nemenin atau gak sih? kok malah kayak wartawan banyak tanya"

"eh maaf...iya iya, sms alamatnya yah, aku kesana sekarang, Assalamu'alaikum"

"walaikumsalam"

aku segera mengirim alamatnya, lalu hatiku tiba-tiba kembali risau bagaimana bila Fatih salah paham lagi padaku, aku tak ingin ada yang merusak kebahagiaanku dengan Fatih.

***

setengah jam berlalu, dokter tak juga keluar, hanya seorang suster saja yang keluar memintaku mengurus administrasi. Nizam mulai lelap dipangkuanku, keringat mengucur didahinya. sungguh aku menyayangi anak ini, mengagumi sikap dan sifatnya.

Aku bahkan tak yakin apakah dia benar-benar terlelap atau hanya sekedar bersembunyi sementara. Dahinya berkerut seperti terus berfikir keras, dan segera membuka mata saat ada langkah kaki yang mendekat. kuelus ubun-ubunnya berharap dapat memberikan sedikit saja ketenangan dibatinnya.

"Assalamu'alaikum...."

"Walaikumsalam.." dua suara itu bersahutan, dua suara yang sangat kuhafal.

"Papa..." Nizam terjaga dan menghambur kepelukan Mas Fandy.

aku berpaling pada sosok lain yang tampak sedikit terkejut.

"Fatih...emhh..." gumamku salah tingkah.

eh...mengapa aku salah tingkah...aku bukan penjahat yang kepergok melakukan kejahatan. Tapi entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah disini, Mas Fandy, ya...ada nya Mas Fandy diantara kami, itulah yang salah.

Bersemayam dalam Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang