Alysa - Gembel Glamour

50K 2.7K 50
                                    

Happy Reading & Enjoy All

Dengan riang aku menuruni tangga yang mengarah ke ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makan sekaligus dapur. Samar-samar aku mendengar Mama bersenandung.

Oke, Alysa Prameswara, saatnya berpamitan. Lo harus berpamitan dengan baik dan benar. Walaupun lo durhaka, setidaknya lo masih inget etika? Eh, bener nggak sih? Aih, entahlah...

"Mamaaaaa..." kataku semanja mungkin yang sebenarnya terdengar sangat memuakkan. Aku memeluk Mama dari belakang. Memeluknya untuk terakhir kali sebelum aku kabur. Mungkin terdengar lebay, tapi kaburku kan nggak terbatas waktu. Bisa saja Cuma dua minggu, sebulan, dua bulan, atau bahkan setengah tahun. Eh, tapi kayakna nggak mungkin deh sampe setengah tahun. Udah jadi gembel beneran aku kalau sampai setengah tahun kabur.

"Kamu ngapa manggil-manggil Mama kayak gitu? Kamu sehat?"

Nah, kan. Anaknya sopan dan manis, dikira nggak sehat. Anaknya pecicilan, dikiranya masih kayak anak kecil.

"Kan aku mau pamit, Ma." Karena aku anak yang baik, nih aku kasih kode. Tinggal nunggu kepekaannya aja.

"Pamit kayak apa aja sih, Al. Biasanya juga kamu nyelonong pergi sana-pergi sini dalam sekejap. Palingan juga mau ke tempat balet kan?" cerocos Mama dengan terus menambahkan aneka bumbu ke wajannya.

"Ih, kok Mama bisa tahu sih..." Jawabku dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Memang selama ini aktivitasku tidak pernah aneh-aneh. Paling hanya kuliah, ketemu Salsa, dan latihan balet.

Yup, latihan balet. Nggak usah kaget ya. Mama bilang aku nggak bisa diandelin dalam hal suara tapi kemampuanku dalam menari patut diacungi jempol. Makanya Mama masukin aku ke les balet sejak umur lima tahun. Kalo dulu sih gerakaku masih patah-patah nggak jelas, tapi sekarang, mau masuk olimpiade aja kecilll.

Kecil banget buat lolos, maksudnya.

"Jadi boleh nggak nih?" Tanyaku lagi. Mama mematikan kompor dan menatapku.

"Ya udah sana. Mau balet aja kayak mau ke Arab pake izin-izin segala. Sana pergi. Mama mau ngelanjutin masak lagi, Hush... Hush!"

Hash hush... Memangnya aku kucing apa? Oh, belum tahu ini rasanya ditinggal kabur anaknya yang cantik... tunggu aja. Palingan abis ini nangis-nangis, dengan jahatnya aku malah tertawa dalam hati.

***

Aku berjalan keluar rumah dengan bersenandung kecil. Bahkan ketika aku masuk mobil dan melihat koperku masih aman sentosa di bawah jok, aku masih bersenandung kecil. Orang yang melihat aku seperti ini pasti tidak akan mengira kalau aku berencana kabur.

Tentu saja, dengan perlengkapan kabur yang komplit, kemudian dengan bayangan perjodohan ini akan batal, jelas sekali kalau aku harus senang. Ini tujuanku. Walau sedikit merepotkan, tapi kan memang harus begitu. Ingat pepatah: bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian. Persis aku banget.

Keseriusanku untuk kabur memang tak main-main. Bahkan aku mengepak beberapa tas branded yang kumiliki. Tentu saja ini bukan karena aku tetap pengen gaya-gayaan setelah kabur, tapi lebih untuk menyokong perekonomianku setelah uang cash-ku habis. Aku tidak mau kepepet narik di ATM yang berakhir keberadaanku berhasil dilacak oleh keluarga. Bahkan ponselku pun akan kumatikan. Pokoknya semua benda yang bisa dilacak, akan aku nonaktifkan sementara waktu.

"Ngapain beli tas beginian, Al. Kayak gini tu nggak ada gunanya. Yang ada Cuma ngabis-ngabisin duit, tau."

Aku ingat sekali dulu Papa sering ngomong kayak begini ke aku. Tapi see, sekarang aku bisa dengan gagahnya mengatakan Papa salah besar. Tas branded jelas berguna, apalagi untuk orang yang berencana kabur seperti aku. Begitu dijual, aku dapet duit banyak.

RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang